Cari Blog Ini

Minggu, 15 Januari 2012

MENGENAL SUKUK : INSTRUMEN INVESTASI DAN PEMBIAYAAN BERBASIS SYARIAH



Latar Belakang
Konsep keuangan berbasis syariah Islam (Islamic finance) dewasa ini telah tumbuh secara pesat, diterima secara universal dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah saja, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkannya berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu, juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam dan standar instrumen keuangan Islam, serta didirikannya lembaga rating Islam. Beberapa prinsip pokok dalam transaksi keuangan sesuai syariah antara lain berupa penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran atas sistem bagi hasil atau profit sharing, serta larangan terhadap riba, gharar, dan maysir.


Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah sukuk. Di beberapa negara, sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan anggaran negara yang penting. Pada saat ini, beberapa negara telah menjadi regular issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam, Uni Emirate Arab, Qatar, Pakistan, dan State of Saxony Anhalt – Jerman. Penerbitan sovereign sukuk biasanya ditujukan untuk keperluan pembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu, misalnya pembangunan bendungan, unit pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain itu, sukuk juga dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismatch, yaitu dengan menggunakan sukuk dengan jangka waktu pendek (Islamic Treasury Bills) yang juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang.
Apa itu sukuk?
Istilah sukuk berasal dari bentuk jamak dari bahasa Arab ‘sak’ atau sertifikat. Secara singkat The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu asset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu. Sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya aqad atau penjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Tujuan Penerbitan Sukuk Negara (SBSN)
• memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara;
• mendorong pengembangan pasar keuangan syariah;
• menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah;
• diversifikasi basis investor;
• mengembangkan alternatif instrumen investasi;
• mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara; dan
• memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh
• sistem perbankan konvensional
Karakteristik Sukuk
• merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title);
• pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis aqad yang digunakan;
• terbebas dari unsur riba, gharar dan maysir;
• penerbitannya melalui special purpose vehicle (SPV);
• memerlukan underlying asset.
• penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah.
Kelebihan berinvestasi dalam Sukuk Negara, khususnya untuk struktur Ijarah.
• Memberikan penghasilan berupa Imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif dibandingkan dengan instrumen keuangan lain.
• Pembayaran Imbalan dan Nilai Nominal sampai dengan sukuk
• jatuh tempo dijamin oleh Pemerintah.
• Dapat diperjual-belikan di pasar sekunder.
• Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital gain).
• Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), danmaysir (gambling).
• Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan syariah.
Jenis-Jenis Sukuk
Berbagai jenis struktur sukuk yang dikenal secara internasional dan telah mendapatkan endorsement dari The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) antara lain:
• Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk Ijarah dibedakan menjadi Ijarah Al Muntahiya Bittamliek(Sale and Lease Back) dan Ijarah Headlease and Sublease.
• Sukuk Mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
• Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.
• Istisna’, yaitu Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Istisna’ di mana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
Di dalam negeri sendiri, pasar keuangan syariah, termasuk pasar sukuk juga tumbuh secara cepat, meskipun proporsinya dibandingkan pasar konvensional masih relatif sangat kecil. Untuk keperluan pengembangan basis sumber pembiayaan anggaran negara dan dalam rangka pengembangan pasar keuangan syariah dalam negeri, Pemerintah telah menyusun RUU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). UU SBSN tersebut akan menjadi legal basis bagi penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN.
Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang – Depkeu
http://pengelolaankeuangan.wordpress.com/2008/12/08/mengenal-sukuk-instrumen-investasi-dan-pembiayaan-berbasis-syariah/

SISTEM PEMBIAYAAN MUDHARABAH (BAGI HASIL) ANTARA PERBANKAN SYARI’AH DENGAN LITERATUR FIQH MUAMALAH

1
I. PENDAHULUAN
Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbanklan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Mereka berpendapat bahwa Bank Islam akan menyediakan sumber-sumber pembiayaan yang luas kepada para peminjam dengan prinsip berbagi-risiko, tidak seperti pembiayaan
berbasis bunga dimana peminjamnya menanggung semua risiko.
Namun dalam praktiknya, bank-bank Islam umumnya telah menyadari bahwa PLS, seperti yang dibayangkan para teoritisi, tidak dapat digunakan secara luas dalam Perbankan Islam dikarenakan risiko-risiko yang ditanggungkan kepada Bank. Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni pada Perbankan Islam dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.

II.  POKOK-POKOK MASALAH
  1. Apa definisi dari mudharabah?
  2. Bagaimana perpektif fiqh mengenai mudhrabah?
  3. Bagaimana perspektif perbankan syariah mengenai mudharabah?
III. ANALISIS
A. Mudharabah dalam literatur fiqih
1.  Pengertian
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha[1].
Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan[2] : “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.
Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor[3].
2.  Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.
Secara eksplisit dalam al-Qur’an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali[4], namun ayat-ayat Qur’an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang[5]. Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus[6]. Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :
…وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
Artinya : “….dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah….”.
(Al-muzammil : 20)

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُم
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perdagangan) dari Tuhanmu….”. (al-Baqarah : 198).
Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya : “Tuan kami ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani).

3.  Rukun dan Syarat Mudharabah
Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah[7] memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah.
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :
1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
2. Mengenai modal disyaratkan : a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.
Keterangan :
a.  Modal
Seperti dijelaskan di atas, bahwa modal harus berbentuk uang. Untuk menghindari bentuk perselisihan, kontrak mudharabah harus jelas jumlah modalnya. Modal mudharabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjam mudharib pada saat dilanjutkan kontrak mudharabah. Karena dalam kontrak semacam ini si investor dapat dengan mudah menggunakan mudharabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekalian mengambil untung darinya. Mengambil untung dari suatu hutang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam. Dari sekian empat Madzhab Fiqh tak satupun yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutang calon mudharib kepada investor[8].
Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib agar kontrak ini menjadi sah[9]. Mudharib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batasbatas klausul kontrak mudharabah yang secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya.
b.  Manajemen
Sebagai mudharib yang menjalankan mudharabah untuk kongsi, hendaknya harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri bentuk barang-barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga, melibatkan diri dalam suatu kerjasama (musyarakah) dengan pihak-pihak lain tanpa ditentukan oleh investor. Sehingga mempeoleh hasil dan keuntungan yang maksimal. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan antara investor dengan mudharib, Ulama Fiqh membagi mudharabah kepada dua jenis : Mudharabah muthlaqah (tak terbatas untuk menyerahkan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan Mudharabah muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan modal dengan syarat dan batasan tertetu). [10].
c.  Jangka Waktu
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak mudharabah tidak boleh menentukan syarat adanya jangka waktu tertentu bagi kongsi. Menurutnya hal demikian dapat membuat kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhab Hanafi dan Hambali membolehkan klausul demikian. [11]
d.  Jaminan
Mengingat hubungan antara investor dengan mudharib adalah hubungan yang bersifat ‘gadai’ dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi’i[12].
e.  Pembagian Laba dan Rugi
Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasarkan kedua komponen tersebut. Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudharib adalah tidak mendapatkan atas kerja dan usahanya.
B. Mudharabah dalam Perbankan Islam
Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh dunia, terutama di Timur Tengah.
Perbankan Islam telah menjadi istilah yang sudah tidak asing baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah.
Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus.
Kontrak-kontrak tersebut yang ada seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini[13]. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank Islam. Mudharib (nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari
barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.
a.  Modal
Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan jumlah modal yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib. Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk tujuan pengelolaan mudharabah. Karena umumnya mudharabah untuk
tujuan pembelian barang-barang tertentu, maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam penanganan mudharib dan ia tidak dapat menggunakannya untuk tujuan lain.
Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan dalam kontrak mudharabah mereka bahwa mudharib tidak boleh menggunakan dana yang diberikan kepadanya untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak[14], sebuah kalusul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktik.
b.  Manajemen
Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur pembelian, penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus mengelola mudharabah. Mudharib harus memastikan bahwa deskripsi yang benar tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan pendanaan. Ia pribadi bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan menanggung segala kerugian semacam ini. Ia harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudharib harus mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya ditentukan oleh bank.
c.  Jangka Waktu
Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah umumnya ditetapkan oleh bank Islam, karena kontrak mudharabah juga umumnya digunakan untuk tujuan dagang jangka pendek. Kontrak mudharabah dalam bank Islam hendaknya mengklirkan (liquidated) dan modal bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam kontrak, karena ada batas laba dari dana bank dihitung dengan mempertimbangkan jatuh tempo
kontrak.
d.  Jaminan
Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari mudharib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan. Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudharib sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bankbank Islam tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak[15].
e.  Pembagian Laba dan Rugi
Dalam pembagian laba dan rugi, secara teori, bank menanggung secara risiko, tetapi dalam praktik, dikarenakan sifat mudharabah bank Islam dan syarat-syarat yang ada di dalamnya, kerugian semacam ini mungkin akan jarang sekali terjadi.
Bank Islam sepakat dengan nasabah mudharabahnya tentang rasio laba yang ditetapkan dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya tawar si nasabah, prakiraan laba, suku bunga pasar, karakter pribadi nasabah dan daya jual barang, maupun jangka waktu kontrak.
Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si mudharib tidak akan mendapatkan sedikitpun upah atas kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian sepanjang tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank. Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminan yang terkait dengan tanggung jawab nasabah harus diberikan kepada bank.
Pihak bank untuk mengambil alih dalam risiko dari setiap kerugian tidak begitu saja terjadi. Ia melewati bermacam-macam cara untuk menghilangkan ketidakpastian yang mungkin terjadi dalam kongsi mudharabah murni. Risiko aktuarial dalam kongsi mudharabah seperti yang digunakan dalam perbankan Islam dapat diukur dan dapat dipastikan. Untuk alasan inilah, dapat dikatakan bahwa mudharabah bank Islam sedikit berbeda dengan penyelenggaraan investasi berisiko rendah maupun investasi bebas risiko manapun.
IV. KESIMPULAN.
1. mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang
2. Mudharabah seperti yang dikembangkan dalam literatur fiqih adalah suatu kontrak dimana seorang yang terampil bisa menggunakan keterampilannya dengan uang dari investor dalam rangka menghasilkan untung. Mudharabah tidak berdasarkan teks syari’ah yang eksplisit, tetapi dia telah dipraktikkan sejak periode awal sejarah Islam. Mudharabah yang dikembangkan dalam fiqih adalah suatu kontrak dimana mudharib memiliki kebebasan yang diperlukan untuk menjalankan mudharabah dalam rangka menghasilkan laba. Karena mudharib merupakan pihak yang lebih lemah didalam kontrak yang per definisi, memberikan keterampilannya sebagai modal pada mudharabah, para Fuqaha tidak membolehkan adanya tuntutan jaminan terhadap mudharib.
3.      Di bawah perbankan Islam, mudharabah kemudian digunakan dalam kongsi-kongsi dagang berjangka pendek, yang di situ tidak ada transfer dana kepada pihak mudharib. Tidak ada kebebasan bertindak, karena semua bagian-bagian yang terperinci tentang bagaimana mudharabah harus dijalankan sudah ditetapkan di dalam kontrak. Peran mudharib terbatas pada melaksanakan atas kontrak. Konsep umum mudharabah (yaitu suatu bentuk pembiayaan modal usaha atau penyaluran kredit kepada mereka yang kekurangan dana tetapi memiliki keterampilan untuk menjalankan dagang atau bisnis dengan suatu keuntungan tidak pasti yang mugkin dapat atau mungkin tidak dapat diwujudkan) tidak tampil menjadi sesuatu yang menonjol atau yang cukup tampak dalam mudharabah perbankan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah : Kritik atas Interpretasi Bunga Bank kaum Neo-Revivalis. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
  2. Abdul Majid, Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, (Bandung : IAIN SGD. 1986)
3.      Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV. Diponegoro. 2003.)
  1. M. Hasbi Ash Shiddiqie, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra 1997.)
5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. Studi Islam Jilid III Muamlah. (Jakarta : PT. Grafindo Persada. 1993.)
  1. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik, Prospek. (Jakarta : Serambi 2001).
  2. Muhammad Syafi’i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani 2001)
  3. Nana Masduki, Fiqh Muamalah, (Bandung : IAIN SGD. 1987)
  4. DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
  5. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2001)
  6. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)





[1] Muhammad Syafi’i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hal. 95. yang dikutip dari M. Rawas Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut:Darun-Nafs, 1985).
[2] As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Jilid 22. hal. 18. dikutip dari DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), hal. 175-176.
[3] Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103; Abd. Al-Qadir, Fiqh al- Mudharabah, hal. 8-9; Abu Saud, Money, Interest and Qiradh, hal. 66; El-asyker, The Islamic Bussines Enterprise, hal. 75. Dikutip dari Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah : Kritik atas Interpretasi Bunnga Bank kaum Neo-Revivalis, hal. 77.
[4] Al-Qur’an 2:273; 3:156; 4:101; 5:106; 73:20.
[5] Asad, The Message, hal. 92, 905.
[6] Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid II, hal. 178.
[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid IV, hal. 839.
[8] Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 73
[9] Ibid, hal. 29
[10] Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 26 dst.
[11] Ibnu Rusyd, Op. Cit, hal. 181
[12] Ibid, hal. 179
[13] FIBE, Contract of Mudharabah, Abdullah Saeed, Op. Cit, hal. 83
[14] JIB, Contract of Mudharabah; IIBD, Contract of Mudharabah.
[15] FIBS, Bank Faisal al-Islami al-Sudani.

PANDANGAN FIQH MUAMALAH DAN EKONOMI ISLAM TERHADAP RIBA DAN BUNGA BANK

1
PANDANGAN FIQH MUAMALAH DAN EKONOMI ISLAM
TERHADAP RIBA DAN BUNGA BANK

I.   LATAR BELAKANG
Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat. Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistim bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu, saya sebagai penulis mencoba menjelaskan apakah sama anatar riba dan bunga banak dalam pandangan fiqh muamalah dan ekonomi Islam. Oleh karena itu, untuk membuktikannya penulis mencoba meneliti dan memaprkannya dalam esai ini.
II.  PERUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa pokok masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah
1.      Bagaimana pengertian riba dan bunga bank?
2.      Apakah sama riba dan bunga bank dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?
3.      Bagaimana hukum riba dan bunga bank menurut pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?
4.      Serta apakah dampak dari riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia?
III.  ANALISIS
A.  Pengertian Riba dan Bunga Bank
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is “A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned“. (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).[1]
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut syara’ riba adalah akad yang terjai dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya.[2]
Istilah riba pertama kalinya di ketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah kenabian dimakkah kemungkinan besar pada tahun IV atau awal hijriah ini berdasarkan pada awal turunya ayat riba[3]. Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba disini adalah pemberian. Berdasarkan interpretasi ini, menurut Azhari (w. 370H/980 M) dan Ibnu Mansur (w. 711H/1331M) riba terdiri dari dua bentuk yaitu riba yang dilarang dan yang tidak dilarang[4]. Namun dalam kenyataannya istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas nilai pokok yang dipinjamkan[5].
Sedangkan dalam istilah al-Jurjani mendefinisikan riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi[6].
Ada beberapa pendapat diatas dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29). Dalam kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an (lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”[7]
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Merujuk dari penjelasan tentang pengertian riba dan bunga diatas, bahwa dapat disimpulkan bunga sama dengan riba.[8] Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai. Didalam Islam yang namanya konsep pinjam meminjam dikenal dengan namanya Qardh (Qardhul Hasan) merupakan pinjaman kebajikan. Dimana Allah SWT, berfirman :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Q. S Al-Baqarah : 245)
Pinjaman qardh tidak ada tambahan, jadi seberapa besar yang dipinjam maka dikembalikan sebesar itu juga. Namun, berbeda apabila akad atau transaksi tersebut mengandung jual beli, sewa maupun bagi hasil.
Jadi, Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam hal ini merupakan riba yang telah diharamkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai berikut :
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Q.S Al-Baqarah : 275 dan juga dalam Hadist Rasulullah bersabda : “Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,Mereka itu semuanya sama.” (H.R Muslim no. 2995 dalam kitab Al-Musaqqah)[9]
B. Hukum Riba dan Bunga Bank
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].[10]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].[11]
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)
Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”
Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global.
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[12]
ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,( 2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.[13]



C.  Dampak Riba Dan Bunga Bank
1.      Bagi jiwa manusia
hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain[14]
2.      Bagi masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat[15]
3.      Bagi roda pergerakan ekonomi
Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.
a)      Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an. 1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini.
b)      di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
c)      Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran.
d)     Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.
e)      Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.[16]
IV.   KESIMPULAN
Sudah jelaslah bagiamana riba itu dilarang dengan tahapan tahapan yang sama dengan pengharaman arak. Dari uraian diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa:
1)      Riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi sedangkan Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
2)      Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa antara riba dan bunga bank adalah sama. Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai.
3)      Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa hukum antara riba dan bunga bank adalah haram. Karena hukum asal riba adalah haram baik itu dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Seluruh ummat Islam wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya yakni dengan cara bertaqwa kepada Allah.
4)      Dampak akan bahayanya riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia; (1). Bagi jiwa manusia : hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. (2).Bagi masyarakat : Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. (3). Bagi roda pergerakan ekonomi : Dari segi ekonomi, hal ini akan menyebabkan manusia dalam dua golongan besar yaitu orang miskin sebagai pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, terj Cet 1. Pustaka pelajar. Jakarta 2003
2.      Departemen Agama RI..  Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung. CV. Diponegoro. 2003
3.      KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, det 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta 2000.
4.      Drs. H. Kahar Masyhur. Beberapa Pendapat Menegenai Riba. Cet 3, Kalam Mulia Jakarta 1999
5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
6.      Mudjab mahali. Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah-An Naas. Cet 1, Raja grafindo. Jakarta, 2002
7.      Muhammad Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet ke-4, PT. Bina ilmu. Surabaya,  2003
8.      Sulaiman Rasjid,  Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.
9.      http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan.html
10.  http//kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34
  1. http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html


[1] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[2] Sulaiman Rasjid, , Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung , 2002, Hal 290.
[3]Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung , 2003, hal.326
[4] Maksud tidak dilarang disini adalah pemberian yang mengharapkan sesuatu yang lebih baik pada waktu mendatang (akherat)
[5] Abdullah saeed, Op.Cit, Hal 27. Lihat juga pada, Imaduddin Abil Fida Bin Katsir. Tafisr Qurani L Adhiim, hal 138
[6] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Op.Cit. hal 102
[7] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[8] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[9] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html
[10] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung , 2003, hal. 36
[11] Ibid hal. 37


[12] http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan.html
[13] http//kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34
[14] KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Cet 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta. hal 331
[15] Ibid, hal 332
[16] kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34

KONSEP GADAI SYARIAH (AR-RAHN) DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM DAN FIQH MUAMALAH

0
I.  LATAR BELKANG MASALAH
Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang asing lagi. Bahkan lembaga ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat (khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga mereka menjelang bulan syawal.
Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara dikampung dengan kerinduan yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab tersebut.
Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan motto “ mengatasi masalah tanpa masalah”-nya, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada syariat islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan uintuk membayar,maka di sinilah masalah letak permasalahan itu muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas ketidak syari’an atas praktek pegadaian saat ini.
II.  POKOK-POKOK PERMASALAHAN
Dengan melihat latar belakang di atas maka yang akan menjadi pokok-poko permasalahan yang akan dibahas dalamn esai ini adalah
1.      Apa definisi dari gadai menurut konvensional dan syari’at Islam?
2.      apa yang menjadi dasar hukum gadai konvensional dan syariah?
3.      Bagaimana pandangan syari’at Islam terhadap gadai?

III.  ANALISIS
A.  Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1.  Pengertian Gadai Konvensional
Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.[1]
2.  Pengertian Gadai Syariah
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[2] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[3]
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[4] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[5]
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.[6]
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. [7]
Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[8]
B.  Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1.  Landasan Hukum Gadai Konvensional
Pada awalnya lembaga pegadaian pertamakali didirikan pada tanggal 1 April 1901. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pegadaian beberapakali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bawah IBW (1928),Perusahaan Negara (1960),dan kembali ke perusahan jawatan 1969. baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai Perusahaan Umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep. Keuangan RI. hingga sekarang.Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa sifat usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan isi pasal 7,dijabarkan:(1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.[9]
2.  Landasan Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.[10]
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[11]
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn.[12] Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.[13]
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn.  Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.[14]
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
C.  Solusi Mekanisme Operasional Pegadaian dengan Penerapan berdasarkan Prinsip Syariah
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh merupakan suatu hal yang ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal ( pemerintah) tidak bisa memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga ( memungut bunga dari pinjman pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.
Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut bersifat kecil, namun jika uang yang dipinjamkan tersebut sangat besar jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi nasabah.Persoalan ini cukup kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat tidak adil.  Karena pihak penerima gadai yang saat ini bestatus lembaga pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam operasional usahanya tidak mendapay keuntungan yang akan menunjang kegiatan usahanya. Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga setiap 15 harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.
Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok dalam persoalan ini adalah penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas dilarang oleh syara’.Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap eksis dalam menjalankan mottonya “ mengatasi masalah tanpa masalah.”
1.  Kategori Barang Gadai
Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dab tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat:
(1)   Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
(2)   Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
(3)   Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.

2.  Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan barang gadai. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka oleh  maka biaya pemeliharaan jatuh pada murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin. Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).[15]Resiko Atas Kerusakan Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang tersebut rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau Pelunasan Hutang GadaiApabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan dikembalikan kepada rahin.Prosedur  Pelelangan GadaiJika ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:[16]
(1)   Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin
(2)   Dapat memeperpanjang tenggang waktu pemabayaran
(3)   Kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan izin rahin
(4)   Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin .

3.  Pembentukan Laba Pegadaian
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syariah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:
(1)  Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn
(2)  Melakukan transaksi gadai dengan  akad Bai’ al Muqoyyadah
(3)   Melakukan Akad al Mudharabah.
(4)  Melakukan dengan akad Qardhul Hasan
Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna mengeliminir praktek riba dalam pegadaian konvensional. Danjuga sebagai solusi atas persoalan yang terdapat dalampegadaian saat sekarang ini, sehingga diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.[17]

III. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan sekaligus penutup esai ini adalah:
1.      Pengertian gadai menurut konvensional adalah gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.sedangkan gadai menurut syariat adalah  menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
2.      yang menjadi dasar hukum gadai konvensional adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6 dan pasal 7, sedangkan dasar hukum gadai syariah adalah al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
3.      Dalam pandangan Islam bahwa pegadaian diperbolehkan oleh syariat. Dan tentunya harus sesuai dengan yang digariskan dalamAl-Qur’an dan As-Sunnah. Seterusnya, bukan tidak mungkin bahwa segala sesuatu yang bersifat konvensional yang ternyata banyak menyimpan persoalan dapat dijawab dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’ah. Bunga bukanlah satu-satunya jalan yang tepat untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi dengan memberdayakan akad-akad syariah pendapatan atau laba pun dapat diperoleh dan tentunya hasil yang didapatkan pun bersih dan halal.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdul Ghafur Ansori,. Gadai Sariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005.
2.      Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV. Diponegoro, 2003.
3.      Ghufran Sofiyanah, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI, 2005.
4.      Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991.
5.      Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.
6.      Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
7.      Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.
8.      Muhammad Syafi’i Antonio, Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1997.
9.      Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A..  Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.
10.  Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo, translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985.
11.  Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999.
12.  Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.


[1] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999. hal. 132
[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt,  hal. 187.
[3] Ibid., hal 187.
[4] Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999, hal. 347.
[5] Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996, hal.1480.
[6]Muhammad Sholikul Hadi. Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.
[7] Dr. Muhammad Firdaus NH, dkk. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI,  2005.
[8]Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI, 2005.
[9] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999. hal. 156
[10] Al-Qur’an surat al-Baqarah, ayat 283 yang dapat diartikan sebagai berikut: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
[11] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
[12] Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991, hal. 351.
[13] Sayyid Sabiq, op.cit., hal, 188.
[14] Ibn Rusdy, op.cit., hal, 351.
[15] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.17
[16] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.85
[17] Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

HARTA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM DAN FIQH MUAMALAH

0
I. LATAR BELAKANG
Harta adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia, tanpa harta hidup terasa hampa begitulah kata pepatah. Yah, harta memang mutlak diperlukan manusia karena dengan harta manusia akan dihormati, dengan harta manusia bisa makan dan memberi makan anak dan istri, dengan harta manusia bisa membeli dan memiliki apa saja yang ia inginkan di dunia. Dan tanpa harta manusia seringkali dilecehkan, dihinikan, bahkan sampai ada orang yang gila dan bunuh diri karena tidak mempunyai harta.
Tetapi apakah harta adalah segalanya. Ternyata tidak harta bukanlah segalanya karena harta tidak bisa membeli kebahagiaan dan keimanan. Dalam konteks ekonomi Islam harta yang kita miliki sebenarnya bukanlah miliki kita tetapi milik Allah swt. Dan kita hanya sekedar dititipi belaka. Dan harta yang Allah titipkan kepada kita itu di dalamnya terdapat hak-hak fakir, miskin, yatim, dll. Yang harus kita pedulikan. Sehingga di dalam ekonomi Islam harta itu mempunyai peran yang sangat besar baik peran dalam hal individu, sosial, maupun dengan lingkungan sekitar.
Oleh karena pentingnya harta itu, maka saya sebagai penulis ingin mencoba menganalisis bagaimana ekonomi Islam memandang harta, yang akan penulis jelaskan dalam esai ini.

II. POKOK-POKOK MASALAH
Beberapa pokok masalah yang akan penulis bahas dalam esai adalah sebagai berikut
1)      Apa pengertian dari harta?
2)      Bagaimana pandangan agama Islam terhadap harta yang dimiliki manusia?
3)      Bagaimana cara manusia mengelola harta yang diberikan Allah swt.?
4) Bagaimana harta dalam perspektif ekonomi Islam?
III. ANALISIS
A.  Pengertian
Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول ، ملت ، لت تموّ ، تمو
sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:” Sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh.” (Bukhari dan Muslim)[1]
Pengertian  harta secara Istilah Madzhab Hanafiyah[2]: Semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dua unsur menurut madzhab: 1. Dimiliki dan disimpan 2. Biasa dimanfaatkan dan menurut. Jumhur Fuqaha; Setiap yang berharga yang harus diganti apabila rusak, menurut Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat. Imam Syafii: barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Ibnu Abidin[3]: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. As Suyuti dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya.[4]

B.  Islam Memandang Harta
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu.
Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:[5]
1.    Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.
2.    Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.
3.    Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.

C.  Pengelolaan Harta Dalam Islam
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:[6]
1.    Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”
2.    Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
3.    ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).

Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.
(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qß™u‘ur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡•B ÏmŠÏù ( tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; ֍ô_r& ׎Î7x. ÇÐÈ
Artinya :”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S. Al Hadiid : 7)[7]
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat
Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.[8]
Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.[9]
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam:[10]
1.    harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);
2.    pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)
3.    penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual)
4.    penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi
5.    kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.

D.  Fungsi Harta
Fungfsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha ntuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh ulama.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain untuk :[11]
  1. Kesempurnaan ibadah mazhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menuup aurat.
  2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah set. Sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
  3. Meneruskan setafet kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah.
  4. Menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat.















III.   KESIMPULAN

1)      Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dandapat dimanfaatkan, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
2)      Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang
3)      pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu: (a).  Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”; (b). Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”; (c).  ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).
4)      Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu: (1).  Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.; (2). Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.; (3). Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

  1. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997.
  2. M. Hasbi Ash Shiddiqie,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
  3. Nana Masduki, Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987.
4.      M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.
5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi,. Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993.
  1. Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro, 2003.
  2. M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.
  3. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001.
9.      Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.
10.  Sulaiman Rasjid,  Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.
  1. http://darul-arafah.blogspot.com/
  2. http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html.




[1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997, hlm. 9
[2] M. Hasbi Ash Shiddiqie,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 139.
[3] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, Hlm. 355.
[4] Nana Masduki, Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987, hlm. 76


[5] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 192.
[6] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi,. Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993, hlm. 31

[7] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro. 2003, hlm. 429

[8] http://darul-arafah.blogspot.com/
[9] http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html
[10] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 202.
[11] Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001, hlm. 31.

HAK PILIH (KHIYAR) DALAM PERJANJIAN USAHA MENURUT EKONOMI ISLAM

0
I.   LATAR BELAKANG
Disadari ataupun tidak, kita sebagai umet muslim sering melakukan khiyar dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dalam proses jual-beli. Misalnya saja, ketika kita membeli baju untuk anak kita tetapi ketika baju itu dibawah kerumah baju itu tidak muat untuk anak kita / terdapat cacat di bajunya  sehingga kita mengembalikan dan menukarnya kepada pedagang karena ketika membeli kita sudah ada perjanjian dengannya pabila tidak muat boleh dikembalikan. Nah itu adalah salah satu contoh daripada khiyar. Tapi mungkin karena faktor ketidaktahuan dan malasnya kita belajar akan fiqh muamalah kitamenjadi tidak tahu apa itu khiyar?
Iya, Khiyar adalah pemilihan di dalam melakukan akad jual beli apakah mau meneruskan akad jual beli atau mengurungkan/ menarik kembali kehendak untuk melakukan jual beli. Dalam pertimbangan bisnis dan ekonomi khiyar ini menjadi penting karena dengan adanya khiyar orang yang melakukan transaksi bisnis yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari lantaran merasa tertipu.
Dalam hal ini penulis mencoba menganalisa bagaimana khiyar (hak pilih0 dalam perjanjian usaha menurut ekonomi Islam yang akan penulis jelasakan dalam penjelasan dibawah ini.

II. POKOK-POKOK MASALAH

Pokok-pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam esai ini adalah
1.      Apa definisi dari khiyar?
2.      Macam-macam khiyar dalam perjanjian usaha menurut ekonomi Islam?
3.      Bagaimana pandangan Islam mengenai khiyar?
4.      Bagaimana pandangan ekonomi Islam mengenai khiyar?
III.  ANALISIS
A.  Definisi Khiyar (Hak Pilih)
Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.[1]
Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurugkan (menarik kembali, tidak jadi dijula beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang tadi yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari lantaran merasa tertipu.[2]
Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara; melangsungkan atau membatalkan.[3]
Khiyar yaitu pemilihan di dalam melakukan akad jual beli apakah mau meneruskan akad jual beli atau mengurungkan/ menarik kembali kehendak untuk melakukan jual beli.[4]
Khiyar adalah memilih akan meneruskan jual beli atau akan membatalakannya.[5]
Khiyar ialah suatu perjanjian (perakadan) antara pembeli dan penjual untuk memilih kemungkinan jadi atau tidak jadinya jual beli dalam tempo tertentu (yang ditentukan kedua belah pihak).[6]

B.  Macam-Macam Khiyar (Hak Pilih)
Menurut ulama Hanafiyah jumlah khiyarada 17.[7]Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian yaitu khiyar al-taamul (melihat, meneliti) yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang) yakni apabila terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual.[8] Ulama syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua yakni khiyar al-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua adlah khiyar naqhisah yang disebabkan adanya perbeadaan dalam lafazh atau adanya kessalahan dalam pembuatan atau pergantian.[9]
Macam-macam khiyar dalam perjanjian Usaha menurut Islam :[10]
[1]. Hak Pilih Di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)
Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Penjual dan pembeli memiliki kebebasan memilih selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.?
Arti beranjak di sini adalah luas, dikembalikan kepada kebiasaan.
[2]. Hak Pilih Dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)
Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al Buyu'; bab: Penipuan yang dilarang dalam jualbeli, nomor 2117. Juga dalam kitab al Hiyal, nomor 4964. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al Buyu barang yang tertipu dalam jual beli, nomor:1533]]
Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat.
Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.
[3]. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah)
Maksudnya adalah hak orang yang terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).
Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat saat akad.
Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persyaratan itu mereka melarangnya.
[4]. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)

Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.
Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.
Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melakukan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksio-matik.
Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.

[5]. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha
Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk memilih dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian usaha yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut berhak memilihnya.
Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayoritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga ibarat menjual kucing dalam karung yang itu jelas meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak menyebabkan terjadinya pertikaian.
Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, membutuhkan tiga syarat:
1.    Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, jelas tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.
2.    Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan penjelasan harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara penjelasan harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menimbulkan perselisihan.
3.    Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan agar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sahabat beliau lebih memilih semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.
Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara memilih objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya memiliki kesempatan memilih atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan mayoritas dalam madzhab ini mereka memilih pendapat terakhir ini.

C.  Cacat Dalam Perjanjian Usaha[11]
Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.  Intimidasi
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.
Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1)      Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
2)      Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
3)      Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.
Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifahmembolehkannya.

2.  Kekeliruan.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibuat dari katun.
Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:
1.    Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.
2.    Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan fasilitas yang menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.

3.    Ghubn (Penyamaran Harga Barang)
Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga sesungguhnya barang tersebut.
Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.
1.    Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan.
2.    Penyamaran Berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.
Adapun dalam perjanjian-perjanjian usaha lain, masih diperselisihkan pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :
1.    Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian usaha yang dilakukan dan menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.
2.    Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.
3.    Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada pengaruh apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas. Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat adalah kebiasaan. Karena tidak ada batasan paten dalam persoalan ini.




D.  Fungsi Khiyar
Fungsi khiyar adalah supaya kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan lebih lanjut mengenai dampak positif atau negatifnya bagi mereka masing-masing. Dengan demikian diantara kedua belah pihak tidak akan terjadi penyesalan di belakang hari karena adanya penipuan, kesalahan, dan paksaan.[12]


III. KESIMPULAN
  1. Khiyar ialah suatu perjanjian (perakadan) antara pembeli dan penjual untuk memilih kemungkinan jadi atau tidak jadinya jual beli dalam tempo tertentu (yang ditentukan kedua belah pihak.
2.      Macam-macam khiyar dalam perjanjian Usaha menurut Islam [1]. Hak Pilih Di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis) ; [2]. Hak Pilih Dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth) ; [3]. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah); [4]. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib); [5]. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha.
3.      Islam memandang khiyar adalah sesuatu yang sangat pentin dalam hal jual beli karena agar kedua orang tadi yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudaian hari lantaran merasa tertipu.
4.      Dalam ekonomi Islam, khiyar menjadi absolut diperlukan ketika seorang pengusaha atau pelaku ekonomi ingin melakukan transaksi bisnis atau ekonomi karena dengan adanya khiyar berarti menjamin kemaslahatan kedua pihak sehingga dapat saling menguntungkan, serta tidak saling mendzalimi dan merugikan.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Penerbit Darul Haq, 2002.
2.      Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005.
3.      Kahar Mansyur. Ilmu Urkhul Fiqh. Muassasah al Risalah. Beirut. 1994.
4.      M. Hasbi Ash Shiddiqie. Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 1997.
5.      Mohammad Anwar. Mu’amalat, Munakahat Faraid, dan Janayat..  Dar al
kutub Al Arabiy. Kairo. 1990
6.      Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
7.      Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. PT. Al Ma’arif. Bandung. 1988.
8.      Sudarsono. Pokok – Pokok Hukum Islam.. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2001
9.      Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam.. Sinar Baru Algesindo. Bandung. 2002
10.  Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A..  Fiqih Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia. 2001
11.  http//jacksite.wordpress.com/2007/07/03/khiyar/#comment


[1] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989, Hlm. 250,
[2] Sulaiman Rasjid, fiqh Islam, 2002, hal. 286
[3] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 12, 1988, hal. 100
[4] Drs. Sudarsono, S.H, M.si, Pokok-Pokok Hukum Islam, 2001, hal. 406.
[5] Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 2005, hal . 83
[6] H. Moh. Anwar. Mu’amalat, Munakahat Faraid, dan Janayat, 2001, hal. 45
[7] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar, Juz IV,  hlm.250.
[8] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa a- Mutashid, Juz II, hlm. 96.
[9] Ibn Rusyd, hasyiyah li asy-Syarqawi, Juz II, hlm. 40 – 50.
[10] Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Penerbit Darul Haq, 2002, hlm. 23.

[11] http//jacksite.wordpress.com/2007/07/03/khiyar/#comment
[12] Drs. Sudarsono, S.H, M.si, Pokok-Pokok Hukum Islam, 2001, hal. 407

BISNIS DAN PERBANKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

1
BISNIS DAN PERBANKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
I.  LATAR BELAKANG
Sudah cukup lama umat Islam secara umum dan tak lepas darinya. Indonesia mengalami suatu penyakit dualisme ekonomi-syariat yang cukup kronis. Dualisme ini muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan umat untuk menggabungkan dua disiplin ilmu ekonomi dan syariat yang seharusnya saling mengisi dan menyempurnakan. Di satu pihak kita mendapatkan para ekonom, bankir dan bussinesmen yang aktif dalam menggerakkan roda pembangunan ekonomi tetapi lupa membawa pelita agama karena tidak menguasai syariat terlebih lagi fiqh muamlah secara mendalam. Di pihak lain kita menemukan para Kiai dan Ulama yang menguasai secara mendalam konsep-konsep fiqh, ushul fiqh, ulumul qur’an dan disiplin ilmu lainnya tetapi mereka kurang menguasai dan memantau tentang fenomena ekonomi dan gejolak bisnis yang terjadi disekelilingnya. Akibatnya ada semacam tendensi da kulla umariddunya lil qaisar wa fawwidh kulla umuril akhirah lil baba (biarlah kami mengatur urusan akhirat dan mereka untuk urusan dunia; padahal Islam adalah risalah untuk dunia dan akherat.[1]
Akibat langsung dari hal tersebut di atas, Islam senantiasa menjadi penonton dalam segenap percaturan ekonomi dan bisnis yang terjadi. Hal ini wajar saja karena konsep-konsepnya hanya tersimpan dalam kitab-kitab sertta tidak ada proses pemulihan, ekonomi ini akan berlangsung lamban dengan tingkat pertumbuhan 2 %.
Pertumbuhan global 2% ini dimungkinkan karena kondisi perekonomian yang lebih baik di Eropa Timur dan bekas Uni Sovyet yakni minus 3,5 % . ini juga didukung oleh pertumbuhan 5% di negara-negara berkembang terutama Asia. Membaiknya pertumbuhan di negara-negara industri sekitar 6-7% juga akan membantu proses perbaikan meskipun tidak diimbangi penurunan tingkat pengangguran 7,3%.
Pada tahun 1992, perekonomian dunia secara global hanya tumbuh 0,4% ini merupakan kombinasi dari pertumbuhan 1,5% di negara-negara Industri,  4,5% di negara-negara berkembang serta minus 18,4% di negara-negara Eropa Timur dan republik-republik bekas Uni Sovyet yang kini tengah melakukan transisi ekonomi.[2]
Dari perkembangan ekonomi dunia yang sangat kecil inilah lalu lahir pemikiran-pemikiran mengenai konsep Islam dalam dunia bisnis dan perbankan. Yang akan menjadi bahasan penulis. Sehingga kita sebagai umat Islam tahu bahwa kita punya suatu sistem yang dinamakan sistem ekonomi Islam.

II. POKOK MASALAH
Setelah pemaparan dari latar belakang diatas maka pokok-pokok masalah yang akan penulis bahas dalam esai ini adalah
  1. Bagaimana pandangan Islam terhadap Bisnis dan Ekonomi?
  2. Bagaimana prinsip operasional dan produk perbankan Islam dalam jaman modern sekarang ini?
  3. Bagaimana perkembangan Bank Syariat pada masa sekarang?


III.  ANALISIS
A.  Lembaga Keuangan Islam; Dari Teori Ke Praktek
Kerangka kegiatan muamalat secara garis besar dapat dibagi dalam tiga bagian besar; politik, sosial, ekonomi.
Dari ekonomi dapat diambil tiga turunan lagi yaitu konsumsi, simpanan, dan investasi. Berbeda dengan sistem lainnya, Islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat, tidak berlebihan tidak juga keterlaluan. Lebih jauh, dengan lugas Al-Qur’an melarang terjadinya perbuatan tabdzir.[3]
Doktrin Al-Qur’an ini secara ekonomi dapat diartikan mendorong terpupuknya surplus konsumsi dalam bentuk simpanan, untuk dihimpun, kemudian dipergunakan dalam membiayai investasi, baik untuk perdagangan, produk dan jasa.
Dalam konteks inilah kehadiran lembaga keuangan mutlak adanya (dharurah), karena ia bertindak sebagai intermediate antara unit supply dengan unit demand.[4]

B.  Operasional Sistem Syariat, Dalam Sebuah Lembaga Keuangan.
Tampaklah jelas bahwa keberadaan lembaga keuangan dalamIslam adalah vital karena kegiatan bisnis dari roda ekonomi tidak akan berjalan tanpanya.
Untuk mendapatkan persepsi yang jelas tentang konsep Islam alam Lembaga Keuangan, khususnya Bank, berikut ini adalah uraian tentang prinsip operasional dan produk perbankan Islam.

Prinsip Operasional
Bank Islam dalam menjalankan usahanya minimal mempunyai 5 prisip operasioanl yang terdiri dari (1) sistem simpanan, (2) bagi hasi, (3) margin keuangan, (4) sewa, (5) fee.[5]

1.  Prinsip Simpanan Murni
Prinsip Simpanan Murni merupakan fasilitas yang diberikanoleh Bank Islam untuk memberikan kesempatab kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al Wadi’ah. Fasilitas al Wadiah biasa diberikan untuk tujuan keamanan dan pemindahbukuan dan bukan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan konvensional al Wadiah identik dengan giro.

2.  Bagi Hasil
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelolaan dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk berdsarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah. Lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar, baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, manakala musyarakah hanya untuk pembiayaan.

3.  Prinsip Jula Beli dan Margin Keuntungan
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tat cara jualbeli, dimana bank akan membeli erlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebgai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah dengan keuntungan (margin/ mark-up).
4.  Prinsip Sewa
Prisip ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis;
  • Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alatalat lainnya (operating lease).
  • Bai al Takjiri, sewa beli, di mana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finance lease).


5.  Prinsip Fee (Jasa)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan nonpembiayaan yang diberikan bank. Bentuk prosuk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer dan lain-lain.

Produk Bank Syariat dan BPR Syariat
Pada sistem operasi Bank Syariat, pemilim dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya sebagai modal usaha), dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.

1.  Produk Pengerahan Dana[6]
a.  Giro Wadi’ah
dana nasabah yang dititipkan di bank. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bank. Besarnya bonus tidak ditetapkan dimuka tetapi benar-benar merupakan kebijaksanaan bank. Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk senantiasa kompetitif.
b.  Tabungan Mudharabah
dana yang disimpan nasabah akan dikelola bank, untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam produk ini dapat dilakukan mutasi, sehingga perlu perhitungan saldo rata-rata.
c.  Deposito Investasi Mudharabah
dana yang disimpan nasabah hanya bisa ditarik berdasarkan  jangka waktu yang telah ditentukan, dengan bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama.
d.  Tabungan haji Mudharabah
simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan ibadah haji, atau pada kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan perjanjian nasabah. Merupakan simpanan dengan memperoleh imbalan bagi hasil. (Mudharabah).
e.  Tabungan Kurban
simpanan pihak ketiga yang dihimpun untuk ibadah kurban dengan penarikan dilakukan pada saat nasabah akan melaksanakan ibadah Kuraban atau atas kesepakatan antara pihak bank dan nasabah. Juga merupakan simpanan yang akan memperoleh imbalan bagi hasil (Mudharabah).
2.  Produk Penyaluran Dana
a.  Mudharabah
bank dapat menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja, hingga 100%, sedangkan nasabah menyediakan usaha dan manajemennya. Bagi hasil keuntungan melalui perjanjian yang sesuai dengan proporsinya.
b.  Murabahah
pembiayaan pemeblian barang lokal maupun internasional. Pembiayaan ini mirip dengan kredit modal kerja dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu tahun. Bank medapat keuntungan dari haraga barang yang dinaikan.
c.  Bai Bitsaman ’Ajil
pembiayaan pembelia barang dengan cicilan. Pembiayaan ini dicicil mirip dengan kredit investasi daribank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dan harga barang yang dinaikkan.
d.  Al Qardhul Hasan
pinjaman lunak bagi pengusaha yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada bank, tetapi hanya membayar biaya administrasi saja.

C.  Pengembangan Bank Syariat di Tanah Air
Salah satu batasan Bank Indonesia bagi bank-bank yang baru berdiri adalah tidak dapat membuka cabang selama dua tahun pertama. Jika setelah dua tahun, bank dalam keadaan sehat barulah dapat diizinkan membuka cabang.[7]
Batasan ini pula berlaku bagi bank syariat, padahal konsep bank syariat ini harus secepatnya dimasyarakatkan, disamping masyarakat sendiri menantinya. Salah satu cara mengatasinya adalah denganmendirikan BPR-BPR Syariat.
Inilah satu peran penting Bank Syariat menjadikan masyarakat Indonesia lebih bank minded atau tepatnya lebih Islamic Bank Minded. Pada tahap praoperasi, Bank Muamalat dalam memberikan bantuan teknis berupa legalitas usaha, sistem operasi, pelatihan, organisasi, dan saran. Pada tahap operasi, Bank Syariat dapat memberikan bantuan teknis berupa adanya Bank Syariat Desk yang berfungsi sebagai Liason Officer, pendamping manajemen BPR Syariat, dan pelaksana harian impelmentasi sistem operasi BPR Syariat, pengelolaan dan pengawas portofolio Bank Syariat, advisory on business planning and control untuk Bank Syariat, melakukan penelitian dan pengembangan usaha pada daerahyang bersangkutan untuk kepentingan BPR Syariat dan Bank Syariat.[8]
Perjanjian kerja sama pembiayaan juga dapat dilakukan antara lain[9]
a.  handling dan disbursing agent yang berfungsi antara lain :
1)      agen penyalur dana
2)      administrasi pembiayaan
3)      monitoring hubungan pembiayaan dengan nasabah
b.  cofinancing / sindikasi
c.  Bai al dayn ( reciprocal)
d. mudharabah placement (reciprocal)

Perjanjian kerja sama korespondensi bank dapat dilakukan antara lain[10]
  1. paying bank
  2. collecting bank
  3. agen penjualan saham
  4. pusat informasi trade finance

Dengan jaringan kerja ini terciptalah sinergi usaha (business sinergism), baik produk pendanaan (tabungan bersama bank syariat), maupun pembiayaannya.



III.  KESIMPULAN
1.      Berbicara mengenai bisnis dan ekonomi dalam Islam, Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah swt. Kepada manusia sebagai khalifah di bumi ini, untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini Allah tidak meninggalkan manusia sendirian tetapi diberikan petunjuknya melalui para Rasul-Nya. Dalam petunjuk ini Allah berikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik akidah ahlak  maupun syariat. Dua komponen yang pertama akidah dan ahlak sifatnya konstan dan tak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Adapun komponen yang terakhir syariat senantiasa diubah sesuai kebutuhan dan taraf peradaban umat, dimana seorabg Rasul diutus. Melihat kenyataan ini syariat Islam sebagai suatu syariat yang dibaw oleh Rasul terakhir punya keunikan tersendiri, ia bukan saja komprehensif tetapi juga universal. Komprehensif berarti ia merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Universal bermakna ia dpat diterpkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir nanti Sifat-sifat istimewa ini mutlak diperlukan sebab tidak ada syariat lain yang datang untuk menyempurnakannya.
2.      Bank Islam dalam menjalankan usahanya minimal mempunyai 5 prisip operasioanl yang terdiri dari (1) sistem simpanan, (2) bagi hasi, (3) margin keuangan, (4) sewa, (5) fee.  produk perbankan Islam dalam jaman modern sekarang ini terbagi menjadi dua yakni
1.        Produk Pengerahan Dana : a.  Giro Wadi’ah; b.  Tabungan Mudharabah; c.  Deposito Investasi Mudharabah; d.  Tabungan haji Mudharabah; e.  Tabungan Kurban
2. Produk Penyaluran Dana : a.  Mudharabah; b.  Murabahah; c.  Bai Bitsaman ’Ajil; d.  Al Qardhul Hasan
3.      Perkembangan Bank Syariat pada masa sekarang belum berkembang pesat karena masih terdapat beberapa kendala yakni orang Islam yang masih lebih suka menabung di bank konvensional daripada bank Islam, masalah sulitnya perijinan pendirian Bank Syariat  oleh Bank Indonesia, dll.
DAFTAR PUSTAKA
1) Ali Fikri, 1997. Hakekat Islam : Suatu Perbandingan Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
2)      Ali Fikri. 1997. Karakteristik-Karakteristik Umum Ajaran Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
3)      Muhammad Anis Matta. 1997. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
4)      Ali Fikri. 1997. Prinsip-Prinsip Dasar Ekonomi Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
5)      Ahmad Muflih Saefuddin. 1997. Deskripsi Ekonomi Ribawi dan Islami Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
6)      Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Potensi dan Pesanan Sistem Ekonomi Islam Dalam Upaya Pembangunan Umat Nasional dan Global Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
7)      Ahmad Muflih Saefuddin. 1997.  Sosialisasi dan Inestitusionalisasi Ekonomi Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
8)      Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
9)      Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Perbankan Syariat Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
10)  Ali Fikri. 1997. Tinjauan Tentang Konsep Baitul mal Dalam Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.


[1] Ali Fikri. Hakekat Islam : Suatu Perbandingan Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi.( Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. 1997). Hlm.42

[2] Ahmad Muflih Saefuddin. 1997. Deskripsi Ekonomi Ribawi dan Islami Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

[3] Muhammad Anis Matta.. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. 1997). Hlm. 105.
[4] Ahmad Muflih Saefuddin. 1997.  Sosialisasi dan Inestitusionalisasi Ekonomi Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

[5] Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

[6] Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Perbankan Syariat Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

[7] Ali Fikri. 1997. Karakteristik-Karakteristik Umum Ajaran Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

[8] Ali Fikri. 1997. Prinsip-Prinsip Dasar Ekonomi Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
[9] Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Potensi dan Pesanan Sistem Ekonomi Islam Dalam Upaya Pembangunan Umat Nasional dan Global Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
[10] Ali Fikri. 1997. Tinjauan Tentang Konsep Baitul mal Dalam Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

AKAD DALAM PERSPEKTIF BISNIS

0
I.   LATAR BELAKANG
Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji (akad), serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah  Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Oleh karena pentingnya kewajiban menghormati serta memenuhi semua akad (kontrak) dalam kehidupan berbisnis. Maka dari itu saya sebagai penulis mencoba memaparkan bagaimana aplikasi akad dalam bisnis. Yang penjelasannya akan dismapaikan dalam isi esai berikut ini.


II.  POKOK MASALAH
Berikut adalah pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam esai ini :
a.       Apa definisi dari akad?
b.      Bagaimana pandangan Islam terhadap akad?
c.       Bagaimana aplikasi dari akad syariah dalam kehidupan ekonomi ?

III.  ANALISIS
A. Pengertian
Secara etimilogi, akad antara  lain berarti:[1] “ikatan antara dua perkara, baik secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hamper sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah yaitu:[2] segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
Pengertian akad secara khususyang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara lain:
Menurut Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.[3]
Menurut Al Kamal Ibn Human, Akad adalah pengaitan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[4]
B.  Dasar Hukum Akad[5]

#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%߉|¹ \’s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿ‹ÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
Artinya : ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa  : 4)[6]

#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurø—r& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4’s1ø—r& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 232)[7]
C.  Rukun Akad
Menurut pendapat ulama rukun akad ada 3 yaitu [8]
1.      Orang-orang yang akad (”aqid), contoh : Penjual dan Pembeli.
2.      Sesuatu yang diakadkan 9Maqud ”Alaih), contoh : Harga atau yang dihargakan.
3.      Shighat, yaitu Ijab dan qabul

D.  Aplikasi Akad Syariah Dalam Bisnis
Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok.Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.[9]
Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua transaksi, yakni:[10]
1.      Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melakukan transaksi;
2.      Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3.      Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4.      Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)
Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat  luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah  Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen.  Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi Syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Berbagai macam bentuk akad muamalah terdapat dalam Ekonomi Syariah guna membangun sebuah usaha, yakni antara lain sebagaimana yang dipaparkan secara singkat berikut ini.[11]
1.  Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)
Al Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai  dengan kesepakatan.
Al Musyarakah dalam aplikasi lembaga keuangan Syariah dapat berbentuk:
1.      Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
2.      Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.
2.  Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)
Al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Aplikasi Al Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah adalah berbentuk:
  1. Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
  2. Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”, adalah pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang digunakan untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).
3.  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)
Al Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (margin) sebagai tambahannya
Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
2.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan;
3.      Kontrak harus bebas dari riba;
4.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli jika terjadi cacat atas barang setelah pembelian;
5.      Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Aplikasi Al Murabahah pada Lembaga Keuangan Syariah adalah untuk pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah adalah kontrak untuk sekali akad (one short deal), sehingga kurang tepat jika digunakan untuk pembiayaan modal kerja.
4.  Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.
5.  Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
Transaksi Bai’ al Istishna  merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”

6.  Al Ijarah (Sewa/ Leasing)
Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (Ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al Ijarah dapat pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan istilah “sewa-beli” yang artinya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang oleh si penyewa pada akhir periode penyewaan.
Dalam aplikasi, Al Ijarah dapat dioperasikan dalam bentuk operating lease maupun financial lease, namun pada umumnya Lembaga Keuangan biasanya menggunakan Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli karena lebih sederhana dari sisi pembukuan, dan Lembaga Keuangan tidak direpotkan untuk pemeliharaan asset, baik saat leasing ataupun sesudahnya.

7.  Qard Al  Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Qard adalah akad yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang terukur dan dapat ditagih kembali serta merupakan akad saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi bisnis secara komersial.
Salah satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah adalah ikut serta dalam kegiatan sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah.
Qard al Hasan adalah produk perbankan syariah untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan dapat dikembalikan sekaligus atau diangsur tanpa tambahan atas dana yang dipinjam.
Dengan demikian, dapat kita lihat, bahwa dalam sistem ekonomi syariah mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Lembaga Keuangan yang berdasarkan ekonomi Konvensional, karena semata-mata hanya menggunakan akad pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.

IV.  KESIMPULAN
Setelah memaparkan isi dari esai di atas maka saya sebagai penulis dapat menyimpulkan :
1.      Akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
2.      Islam memandang akad sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa akad yang benar dan shahih sebuah transaksi bisnis tidak menjadi sah dan halal dalam mata agama, karena pentingnya maka akad dijelaskan di dalam Al Qur’an seperti tertuang di dalam surat Al Baqarah 232, An Nisa, dll. Yangf menjadi dasar hukum dari akad itu sendiri di dalam agama Islam.
3.      Aplikasi dari akad syariah dalam bisnis adalah akad dalam bentuk Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha), Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi),  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh), Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka), Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan), Al  Ijarah (Sewa/ Leasing), Qard Al Hasan (Pinjaman Kebajikan).
DAFTAR PUSTAKA
1.      Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A. 2001.  Fiqih Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
2.      Abdul Majid. 1986. Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam. Bandung : IAIN SGD.
3.      Hendi Suhendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press.
4.      M. Hasbi Ash Shiddiqie. 1997.  Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
5.      Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
6.      Sayyid Sabiq. 1973. Fiqhus Sunnah. Beirut : Dar Al-Kitab Al-Arabiah.
7.      Sulaiman Rasjid. 1994. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
8.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. 1993. Studi Islam Jilid III Muamlah. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
9.      Departemen Agama RI. 2003.  Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : CV. Diponegoro.
10.  Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
11.  http://kasei-unri.org/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1
12.  http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-akad.html

[1] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989, Hlm. 80
[2] Ibnu Taimiyah, Nazhariyah Al Aqdi, hlm. 18-21, 78.
[3] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, Hlm. 355.
[4] Al-Kamal Ibn Human, Fath Al-Qadir, Juz V, Hlm. 74
[5] Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A,  Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001. Hlm. 76

[6] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung . 2003, Hlm. 61
[7] Ibid, hlm. 29
[8] M. Hasbi Ash Shiddiqie.  Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 1997. hlm. 132.

[9] Hendi Suhendi.. Fiqh Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press. 1997. hlm. 57

[10] http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-akad.html

[11] http://kasei-unri.org/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1

Al-Istihsan

Posted: 24/01/2011 by muhamad mujahidin in Ushul Fiqh
Tag:ushul fiqh, sumber hukum islam, al-istihsan
0
I. PENDAHULUAN
Secara umum sumber hukum Islam ada dua. Sumber hukum yang muttafaq yang bersifat primer (Al Qur’an dan As Sunnah) dan sumber hukum yang yang mukhtalaf yang  bersifat sekunder. Diantara sumber hukum yang mukhtalaf adalah Al Istihsan. Ada dua aliran dalam mensikapi Istihsan, antara penduduk Hijaz dan Iraq. Kubu Hijaz tokoh sentralnya adalah Imam Malik (sekalipun beliau juga mendukung penggunaan Istihsan sebagai sumber hukum) dan Imam Syafi’i yang dikenal dengan sebutan ahli hadits. Mereka menolak keberadaan Istihsan sebagai sumber hukum Islam. Kecuali Imam Malik beliau pernah mengatakan bahwa pemakaian Istihsan merambah 9/10 dari seluruh ilmu fiqh.[1] Sedangkan kubu Iraq tokoh sentralnya adalah Imam Abu Hanifah yang dekenal dengan sebutan ahli ra’yi, yang menjadikan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sekalipun ada sebagian muridnya tidak sepandapat dengannya dalam hal ini. Dan masing-masing memiliki argumentasi.














BAB II. AL ISTIHSAN
A.  Defenisi dan Pengertian Istihsan
Secara bahasa Ishtisan berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti Menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nialai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk.[2] Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan.
Berikut ini beberapa definisi Istihsan
1. Istihsan adalah ngkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/
ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.[3]
2. Istihsan adalah: Meninggalkan/ mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya.[4]
3. Istihsan adalah: Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.[5]
4. Istihsan adalah Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.[6]
5. Istihsan adalah Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.[7]
6. Istihsan adalah Qiyas yang tersembunyi[8]
7. Istihsan adalah: Ungkapan tentang pengkhususan qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya [9]
8. Istihsan adalah: Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya
bertentangan. [Ibnul Arobi][10]
9. Istihsan adalah Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya[11]
Dari beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam mendefinikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti hubungan istihsan dengan qiyas. Istihsan yang memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya makna istihsan itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan disepakati dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya.
Definisi yang sahih adalah Mentarjih (memilah) dalil atas/ dengan dalil Atau mengamalkan/ mefungsikan dalil yang lebih kuat dan baik Atau Beralih dalam menghukum suatu masalah dari yang memiliki kemiripankemiripannya karena ada dalil khusus dari Al Qur’an atau sunnah Sedangkan definisi yang batal adalah definisi terakhir yaitu: Artinya: Sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasrkan akalnya. Karena tidak ada seorang ulamapun yang menjadikan istihsan sebagaai sumber hukum yang berdapat seperti itu. Karena mereka yang menggunakan istihsan selalu menyadandarkannya kepada dalail yang diakui oleh para ulama.


B.  Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai sumber hukum Islam.[12] Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya. Seperti Imam Syafi’I.
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini
1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik (sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain,
1.1. Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang berbunyi
Artinya:
”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.[13]
1.2. Sabda Rasul saw
Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah”
1.3. Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.

2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz.[14] Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”[15]
Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan.[16] Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan.[17] Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum,[18] antara lain:

2.1. Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
2.2. Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam Annisa ayat 59

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<’ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù’s? ÇÎÒÈ
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[19]
2.3. Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya.[20] Dan contoh lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.
2.4. Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di ucapkan di saat
2.5. Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bisa dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias. Namun demikian, sesungguhnya antara dua kubu tersebut di atas tidak ada perbedaan yang mendasar. Kareana Abu Hanifah yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum dalam artian mendahulukan nash atas qiyas. Bahkan beliau juga menolak penggunaan istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan akal dan mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas Zufar (salah seorang muridnya). Karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harom.
Dengan kata lain tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum berpendapat hanya berdasarkan akal semata, semua memiliki sandaran.[21]
Begitu juga Imam Syafii, beliau menolak istihsan semata-mata berdasarkan akal. Namun apabila tidak semata-mata karena akal, beliau dapat menerimanya bahkan beliau menggunakannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Imam Syafii sangant menolak Istihsan namum pada beberapa kasus beliau menggunakan Istihsan. Diantaranya beliau mengganggap baik, bahwa mut’ah bagi orang kaya adalah seorang pembantu, orang miskin muqniah, sedangkan bagi orang yang sedang (tidak kaya juga tidak miskin) 30 dirham”.[22] Begitu pula dengan Imam Ahmad yang kadang menolak istihsan, juga menggunakan Istihsan. Beliau berkata: “Aku menganggap baik untuk bertayamum setiap kali sholat. Padahal secara qiyas tayamum sama dengan berwudlu.[23]

C.  Macam-macam Istihsan
1. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan
Ada tiga contoh dalam kasus ini.
1.1. Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/ mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertanian tersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/ mendatangkan manfaat apabila tidak diairi.
1.2. Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/ kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” [HR. Ahmad ][24] . Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya”[25] [HR. Bukhori]
1.3. Mengalihkan/ mengabaikan hukum kulli mengambil hukum istitsna’i (pengkecualiaan)
Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw : “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.[26]
2. Istihsan dilihat dari sanad/ sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ pengabaian. Ada beberapa bentuk dalam hal ini, [27]diantaranya adalah:
2.1. Istihsan yang sanad/ sandaranya berupa quwwatul atsar/ riwayat yang kuat. Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu samasama hewan yang dagingnya haram dimakan.
Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
2.2. Istihsan yang sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan.
Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.
2.3. Istihsan yang sandarannya berupa ijma
Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.
2.4. Istihsan yang sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir (memudahkan).
2.5. Istihsan yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
2.6. Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” [28]. Namun berdasarkan ’urf , ikan itu berbeda dengan daging.

III.  KESIMPULAN
1. Lafaz Istihsan adalah lafaz yang bersifat mujmalah (umum, memiliki makna lebih dari satu). Sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah atau batal berdasarkan istihsan dalam artian umum (bahasa).
2. Sebuah konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau sumber hukum yang dipersamakan dengan qiyas dan dengan sandaran yang kuat
3. Penggunaan istihsan dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber hukum hanya dalam arti yang benar.
4. Pengingkaran dan penolakan istihsan sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama yang menolaknya adalah dalam arti/ makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal semata.
5. Penggunaan Istihsan hanya pada masalah-masalah juziyah saja agar tidak terjadi pemakain kaidah –yang tidak lain adalah qiyas- secara berlebihan sehingga meninggalkan ruh dan makna yang terkandung dalam syariat.
6. Pada prinsipnya Istihsan bersandar kepada dalil nash, ijma’ dan qiyas juga kepada kaidah yang berbunyi ”Ad dhorurat tubihul Mahzhurot”.
7. Esensi istihsan adalah menghindarkan kesulitan demi kemudahan.
8. Esensi istihsan menurut mazhab Hanafi adalah juga qiyas
9. Mengamalkan hukum yang berdasarkan istihsan dalam arti yang benar adalah sesuatu yang disepakati, tidak ada perselisihan dalam pengamalannya, yang diperselisihkan adalah penamaannya.
IV.  PENUTUP

Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Ilmu yang dimiliki manusia adalah sangat terbatas. Oleh karena itu makalah yang sederhana ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Saran, kritik dan masukan sangat diharapkan. Demikianlah uraian singkat Istihsan ini semoga dapat memberikan manfaat. Kebenaran hanya milik Allah. Wallahu a’lam bis showab. Wal hamdulillah robbil ’alamin.
10




















DAFTAR PUSTAKA
1. Al Qur’an Al Karim
2. Abdurrahman, Abdul Aziz bin Ali, Adilah At Tasyri’, tanpa penerbit, tahun
1406 H
3. Abu Zahroh, Muhammad, Ushul Fiqh, terbitan Dar Al Fikri Al ’Arobi,
tanpa tahun
4. Al Bukhori, Abdul Aziz bin Ahmad, Kasyfu Al Asror An Ushul Fakhr Al
Islam Al Bazdawi, terbitan Dar Al Kitab Al Arobi, Bairut, cetakan ke 2,
tahun 1414 H/ 1994
5. Al Fayruz Abadi, Muhammad bin Ya’qub, Al Qomus Al Muhit, terbitan
Muassah Ar Risalah, cetakan ke 6, tahun 1419 H/ 1998
6. Al Jayzani, Muhammad bin Husain bin Hasan, Ma’alim Ushul Al Fiqh ’Inda
Ahli As Sunnah Wa Al Jama’ah, terbitan Dar Ibn Al Jauzi, Arab Sa’udi,
cetakan ke 2, tahun 1419 H/ 1998
7. Al Maqdisi, Abdullah bin Ahmad bin Quddamah, Raudhotu An Nazhir,
terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, cetakan 1, tahun 1401 H/ 1981
8. Al Amidi, Abul Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad, Al Ihkam Fi Ushul Al
Ahkam, terbitan Dar Al Kutub Al ilmiyah, Bairut, tahun 1400 H/ 1980
9. Al Mur’asyili, Yusuf bin Abdurrahman, Fihris Al Umm, terbitan Dar Al
Ma’rifah, cetakan 1, tahun 1408 H
10. Al Qorofi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman, Nafais Al Ushul Fi Syarh Al
Mahshul, terbitan Maktabah Nazzar Musthofa Al Baz, Arab Sa’udi, cetaka
ke , tahun 1418 H/ 1998
11. Al Yasin, Jasim bin Muhammad bin Muhalhil, Al Jadawil Al Jami’ah Fi Al
Ulum Al Nafi’ah, terbitan Muassasah Al Kalimah, Al Kuait, cetakan ke 4,
tanpa tahun
12. An Naisaburi, Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, terbitan Dar Al Fikri,
Bairut, cetakan ke 1, tahun 1408 H/ 1988
13. As Sarokhsi, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahal, Ushul Fiqh,
terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut, tanpa tahun
14. As Shobuni, Muhammad Ali, Mukhtashor Tafsir Ibn Katsir, terbitan Dar Al
Qur’an, Bairut, cetakan ke 7, tahun 1402 H/1981
15. As Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al Umm, terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut,
cetakan ke 2, tahun 1393 H/1973
16. ____________, Ar Risalah, terbitan Maktabah Dar Ats Tsaqofah, cetakan ke
2, tahun 1403 H/ 1983
17. As Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, terbitan Maktabah
Mushthofa Al Babi Al Halabi, Mesir, cetakan akhir, tanpa tahun
18. As Syatibi, Abu Ishaq, Al Muwafaqot Fi Ushul As Syari’ah, terbitan Al
Maktabah At Tijariyah Al Kubro, tanpa tahun
19. As Syinqiti, Muhammad Al Amin bin Al Mukhtar, Muzakkiroh Ushul Al
Fiqh, terbitan Al Maktabah As Salafiyah, Al Madinah Al Munawwaroh,
tanpa tahun
20. Az Zubaidi, Ahmad bin Abdu Al Lathif, Mukhtashor Sohih Al Bukhori,
terbitan Dar An Nafais, Bairut, cetakan ke 5, tahun 1412 H/ 1992
21. Az Zuhaili, Wahbah, Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, terbitan Dar Al
Fikri, Damaskus, cetakan ke 3, tahun 1409 H/ 1989
22. Ibnu Al Arobi, Al Qhodi Abu Bakar, Al Mahshul Fi Ushul Al Fiqh, terbitan
Dar Al Bayariq, Yordan, cetakan 1, tahun 1408 H
23. Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdulhalim, Qo’idah Fi Al Istihsan, editor
Muhammad Aziz Syis, terbitan Dar ’Alam Al Fawaid, Arab Sa’udi, cetakan
1, tahun 1419 H
24. Ibn Quddamah, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al Mughni, terbitan
Dar Al Kitab Al Arobi, cetakan tahun 1403 H/ 1983


[1] Abu Zahroh, Ushul Fiqh, hal. 244
[2] Al Fairuz Abadi, Al Qomus Al Muhith, hal 1189
[3] Ibnul Quddamah, Raudhotun Nazhir, hal 86
[4] Jasim Muhalhil, Al Jadawil, hal. 55
[5] Asy Syatiby, Al Muwafaqot 4/205
[6]Al Jayzani, Ma’alim Ushul Al Fiqh, hal 236, Abu Zahroh, hal 245, Beliau mengatakan bahwa definisi tersebut adalah definisi Hanafiyah.
[7] 7 Al Qorofi, Nafais Al Ushul, 9/4216
[8] Al Bukhori, Kasyful Asror, 4/3
[9] Al Amidi, Al Ihkam fi Ushulil Ahkam, 4/57
[10] Asy Syatiby, Al Muwafaqot, 4/208
[11] As Syinqiti, Muzakiroh Ushul Fiqh, hal 167
[12] Lihat Ibnu Taimiyah, Qi’idah fil Istihsan, hal. 48-52
[13] QS. Azzumar, ayat 18
[14] As Syafi’I, Ar Risalah , hal 219
[15] Al Ghozali, Al Mustashfa, hal 29
[16] As Syafi’I, Al Umm, bab Ibtholul Istihsan 7/298
[17] Ibnul Arobi, Al Mahshul, hal. 131
[18] Lihat Abu Zahroh, hal. 252-253, As Syafi’i, Al Umm 7/ 294-304
[19] QS. Annisa ayat 59
[20] Lihat Ashobuni, Mukhtashor Ibnu Katsir, 4/459
[21] Al Majmu’ 4/48
[22] Badai’u Al Fawaid, 4/32
[23] Ibu Al Quddamah, Al Mughni, 1/266
[24] Asy Syaukani, Nailul Author 2/225
[25] Azubaidi, Mukhtashor Sohih Bukhori, hal 226
[26] HR. Muslim, Sahih Muslim 1/415
[27] Lihat Abu Zahroh, hal. 249-250, Ibnul Arobi, hal. 131, Adillah Tasyri, hal 163-173
[28] QS Al Fathir ayat 12

Istihsan (2)

Posted: 24/01/2011 by muhamad mujahidin in Ushul Fiqh
Tag:ushul fiqh, istihsan, sumber hukum islam
0
A.  PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan). Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat al-Istihsan tersebut, bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya.

B. ISTIHSAN
Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”
1. Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan ‘illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan ‘illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

2. Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.

3. Macam-macam istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
1.    Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
2.    Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.
Contoh istihsan macam pertama:
1.    Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
2.    Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua
1.    Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
2.    Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).
Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:
1.    Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
2.    Istihsan dengan sandaran nash;
3.    Istihsan dengan sandaran ‘urf; dan
4.    Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.


C.  KESIMPULAN
1.      Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya
2.      dalil hukum istihsan menurut Madzhab Hanafi, istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.
3.      Istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
a)      Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
b)      Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.







DAFTAR PUSTAKA

1.      Al Qur’anul Karim
2.      Al-Musawa, Nabiel Fuad. 2005. Qa’idah al-Istinbath. Beirut: Dar al-Fikr
3.      Dasuki, Hafizh dkk.. Ensiklopedi Hukum Islam. 1977. Jakarta: P.T. Intermasa
4.      Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, T.Th
5.      Khallaf, Abdul Wahab. 1977. Ilmu Ushul Fiqih. Kuwait : An-Nashie
6.      Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.
7.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta.

2 komentar:

  1. Di Indonesia sendiri sistem syariah mulaii banyak digemari oleh para pelaku bisnis.
    Alasannya karena sistem syarih lebih aman dari ancaman krisis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang jika dijalankan alias tidak hanya di gemari maka indonesia akan menjadi negara yang kemungkinan banyak warga negaranya bertendensi pada syari'ah, tetapi dalam khalayak umum sistem syari'ah yang menjalankan adalah mereka yang non muslim padahal kita tau sistem yang ada tapi kita malu untuk menjalankanya

      Hapus