A.
Definisi
Definisi ‘hikmah’
menurut ahli filsafat adalah
seperti yang didefinisikan oleh Ibnu
Sina dalam ‘Risalah
at-Tabi’iyyah’:
“Hikmah
ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan
membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut
kadar kemampuan manusia.”
Rumusan
tersebut mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan mempunyai tiga
unsur utama, yakni: 1). masalah, 2). fakta dan data, dan 3). analisis ilmuwan
sesuai dengan teori. Hikmah dipahami pula sebagai “paham yang mendalam tentang agama”. Hikmah dalam berdakwah
sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam surat
an-Nahl (16): 125, berarti keterangan
(burhan) yang kuat yang dapat
menimbulkan keyakinan. Sedangkan definisi yang diberikan al-Manar yaitu ilmu yang shahih yang
akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena padanya
terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia
persoalan.
Sedangkan
para fuqaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi ‘asrar al-ahkam’ (rahasia-rahasia hukum).
Karenanya, kebanyakan kita sekarang apabila disebutkan falsafah hukum Islam
langsung terbayang hikmah shalat, hikmah puasa, dan sebagainya (tidak terbayang
sedikit pun bahwa usulul-ahkam dan
qawa’id al-ahkam adalah falsafah yang murni Islam yang dihasilkan oleh daya
pikir para filosof hukum/ mujtahid). Para
fuqaha mendefinisikan hikmah dengan:
“illat-illat (hikmah-hikmah)
yang ditetapkan akal yang berpadanan/ yang sesuai dengan hukum”[1]
Adapun
kata ‘Tasyri’ adalah lafal
yang diambil dari kata “Syari’ah”,
yang di antara maknanya adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah
syari’atkan buat hamba-Nya untuk diikuti dengan penuh keimanan, baik yang
berkaitan dengan perbuatan, aqidah, maupun dengan akhlaq. Sehingga “tasyri’” berarti menciptakan
undang-undang dan membuat kaidah-kaidahnya, baik undang-undang itu datang dari
agama (tasyri’ samawi) maupun
dari perbuatan dan pikiran manusia (tasyri’
wadh’i).
Dengan
demikian “Hikmah at-Tasyri’”
adalah hikmah diciptakan, dibuat, dan ditetapkannya hukum Islam.
B. Materi Pembahasan
1.
Membangun Budaya dan Norma Anti Korupsi: Mulai dari mana?
Perspektif
sosiologis melihat masalah ini dengan konsep kekuasaan feodal yang nyata hidup
di tengah masyarakat. Dalam kasus feodal memang tidak ada ‘korupsi’, karena
kekuasaan dipercaya datang dari langit dan merupakan hak istimewa bagi
seseorang. Maka, seorang penguasa feodal merasa memiliki hak mutlak untuk
menggunakan kekuasaannya, termasuk mengeruk segala sumber yang berada di tengah
wewenangnya. Dengan demikian seorang penguasa feodal mulai dari tinggat RT
sampai Istana Negara tidak merasa telah melakukan tindakan korupsi, meskipun
dalam kenyataannya mereka telah menilep uang rakyat begitu banyak. Maka, sepanjang
kekuasaan feodal masih hadir di tanah air ini, boleh dibilang mustahil korupsi
bisa ditiadakan.
Korupsi baru dianggap
sebagai kejahatan dalam tatanan nilai demokratis di mana kekuasaan dijalankan
sebagai amanat yang diberikan oleh rakyat. Dalam tatanan ini penguasa mendapat
kontrol yang efektif, baik melalui sarana hukum maupun norma sosial, sehingga
penggunaan kekuasaan yang tidak sah dalam bentuk apapun bisa diminimalisasi.
Sayangnya, kondisi demokratis seperti diharapkan ini, entah kapan datang. Yang
terjadi, para pemegang kekuasaaan, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif,
militer, maupun polisi bersama-sama mengumbar kekuasaan dan salah satu eksesnya
adalah korupsi kian merajalela[2].
Dan kondisi yang sudah berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan ini menyebabkan
munculnya kesadaran yang salah di tengah masyarakat, bahwa korupsi adalah hal
biasa dan lumrah. Atau lebih jauh lagi dengan munculnya kepercayaan bahwa
korupsi sudah menjadi kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga tidak mungkin
(atau tidak perlu?) dihilangkan dari kehidupan bangsa ini.
Agama telah Mandul?
Ketika Pancasila dan
segala bentuk peraturan resmi telah terbukti tidak mampu membentuk dan
mengembangkan norma serta budaya antikorupsi, maka pertanyaan akan dialihkan ke
arah agama. Apakah Agama (terutama yang penganutnya mayoritas, Islam) telah
mandul? Mengapa korupsi terus berbiak makin ganas, meskipun masjid-masjid terus
dibangun, ratusan ribu jamaah haji tiap tahun pergi ke tanah suci, dan
pengajian di mana-mana ramai? Mengapa kesalehan ritual yang terus meningkat
tidak dibarengi dengan tumbuhnya kesalehan sosial?
Pertanyaan ini dapat
dijawab: pertama, karena agama telah jatuh ke jurang formalisme. Kelima
rukun Islam misalnya, dijalankan hanya untuk memenuhi niat, syarat dan rukunnya,
sehingga menjadi amalan yang kering dan mekanis. Contohnya, perintah shalat
tidak dijalankan dengan mengutamakan tujuannya, yakni mencapai kemampuan
mencegah hal yang keji dan munkar. Sehingga, orang bisa rajin shalat, tapi juga
rajin korupsi, dsb.
Kedua, pengaruh
budaya materialistik yang melanda seluruh dunia yang telah mengubah kehidupan
bendawi dengan segala manifestasinya menjadi berhala, bahkan tuhan baru. Hanya
sebagian kecil umat Islam yang selamat dari gempuran budaya kebendaan ini.
Sehingga Agama, yang harus diterima atas dasar iman kepada hal-hal yang ghaib
dan menomorduakan kebendaan, jadi tersisih. Atau agama hanya dilaksanakan
secara resmi dan melupakan tujuan pokoknya, yaitu menyempurnakan akhlak
pemeluknya, baik dalam pengertian vertikal maupun horizontal.
Ketiga, jawaban
yang lebih spesifik, dalam rukun iman disebutkan satu hal yang wajib kita
yakini adalah kepastian adanya hari akhir. Kalimat “amanna billahi” amat
sering digandengkan dengan “wa bil-yaumil-akhir”. Penggandengan ini pasti
ada maksudnya, yakni pentingnya umat Islam menyakini adanya hari kemudian,
dimana perhitungan terakhir atas semua perilakunya di dunia akan dilaksanakan.
Mereka yang benar-benar percaya akan adanya pengadilan di Hari Akhir, tentu
tidak akan berani melakukan korupsi, karena resikonya di akhirat sungguh berat.
Di mata mereka, uang suap, uang pelicin, uang hasil mark up, segala
bentuk uang hasil rekayasa, akan tampak sebagai kobaran api, sehingga mereka
tak ingin menjamah apalagi memilikinya. Namun sebaliknya, bagi yang imannya
terhadap Hari Akhir cuma setengah-setengah, maka segala uang haram itu akan
menggoda hati, karena sudah tampak sebagai kenikmatan rumah bagus, makanan
lezat, mobil mewah, perempuan cantik atau peluang pelesir ke mancanegara.
Problem Kesadaran Beragama
Mircea Eliade, seorang
teolog Rumania,
pernah berujar; “Orang beragama adalah orang yang dapat membedakan mana yang
suci dan mana yang tidak suci. Dan dia cenderung melakukan yang suci”.
Pernyataan ini menunjukkan, orang yang memiliki kesadaran beragama sejati, akan
cenderung menjalankan agamanya, yang memang mencerminkan kesucian.
Konsekuensinya, orang yang mengaku beragama, tapi justeru mempraktikkan
perilaku tidak suci, semisal korupsi, tidak layak menyandang predikat “orang
beragama”. Sebab apalah artinya beragama, bila perilakunya menyimpang dari
semangat ajaran agama yang didewakannya. Ini tak ubahnya perilaku fasiq atau
fajir; yakni melakukan kejahatan kemanusiaan dengan berlindung di balik ajaran
suci agama. Tapi itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita,
masyarakat yang begitu membanggakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Sungguh ironis! Ini artinya, kita mempunyai dualisme karakter (dzul-wajhain);
karakter orang beragama sekaligus penjahat. Nabi bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya
seburuk-buruk manusia adalah dzul-wajhain (orang yang bermuka dua), yakni orang
yang datang pada komunitas tertentu dengan muka (yang satu) dan pada komunitas
yang lain dengan muka (yang lain lagi)”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Itulah paradoks dan ironisme keberagamaan kita, yang menyiratkan
kesadaran beragama kita masih dilematis, masih bermasalah, dan masih tercemari
unsur-unsur tidak suci. Apalagi jika kita merunut secara sadar, siapa yang
melakukan kejahatan korupsi, kita akan ternganga. Mayoritas penduduk Indonesia
adalah muslim. Pejabat-pejabat rolling group, baik eksekutif, yudikatif,
maupun legislatif, mayoritas muslim. Padahal, korupsi yang paling dahsyat,
menggelora di sana.
Apa artinya? Kaum muslimlah yang (diduga) paling rakus mengeruk uang rakyat
dengan cara tidak elegan dan tidak sah. Konsekuensinya, kaum muslimlah yang
paling bertanggungjawab atas runtuhnya berbagai tatanan pemerintahan yang ada.
Jelas ini, tamparan telak bagi Islam khususnya dan umat muslim umumnya. Karena
Islam mengajarkan untuk tidak menzalimi siapapun (apalagi rakyat banyak) dengan
cara apapun (kendati sekecil atom). Dan korupsi merupakan sebentuk penzaliman
luar biasa dan berdampak dahsyat. Lagi-lagi kenyataan ini menyiratkan banyak
kaum muslim telah melakukan “pengkhianatan” terhadap ajaran suci agamanya.
Dalam al-Qur’an
misalnya, Allah berfirman:
Dengan memahami satu
ayat ini dan mengamalkannya secara konsisten, seharusnya kita tidak terperosok
dalam perilaku al-fahsya’-keji (salah satunya korupsi). Jika tetap
nekad, berarti kesadaran kita terhadap ajaran yang diusung ayat ini begitu
memprihatinkan. Ini baru satu ayat, belum ayat yang lainnya, apalagi terhadap
Hadis.
Betapa kita telah banyak menerabas dan melabrak ajaran suci tersebut.
Kita hanya bisa melanggar, bukan mengamalkannya. Itulah kita sesungguhnya.
Kesadaran kitapun,
terkait fenomena korupsi itu, baru sebatas bagaimana mempertahankan hidup.
Apapun caranya, kelanggengan hidup kita harus kita jaga, kendati dengan
menabrak batas agama. Kendati dengan menzalimi dan atau merampas hak orang
lain. Inilah sebabnya, Nabi Saw mewanti-wanti umatnya 15 abad silam;
Artinya: “Akan
datang suatu masa, di mana orang tidak peduli dari mana ia mendapatkan sesuatu
(rezeki), baik dari jalan halal ataukah haram”. (HR. Bukhari).
Cara “tidak peduli
jalan” itulah yang ditempuh para koruptor. Oleh karena itu, ungkapan “koruptor
bermata kuda” sangat sahih dalam konteks ini. Mereka hanya melihat kepentingan
di depannya; diri, keluarga, kroni, dll, tanpa melirik (apalagi melihat)
kemaslahatan rakyat yang ada di sekitarnya. Dan saking akutnya budaya korupsi,
menemukan orang yang bersih dan steril, laksana mencari jarum di padang sahara, susah dan
sulit, bahkan seakan keajaiban. Ini sesuai dengan sabda Nabi Saw;
Artinya: “Akan
datang suatu masa, orang yang memegang teguh prinsip agamanya, laksana orang
yang menggenggam bara api”. (HR. Tirmidzi)[3]
Memahami Korupsi dengan Bahasa Agama
Korupsi adalah tindakan
yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan
dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi
diklaim sebagi kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan
mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya. Tidak ada satu ajaran agama
pun yang mentolerir, apalagi membenarkan korupsi. Bila ada ajaran agama yang
mentolerir, maka ajaran itu tidak layak disebut sebagai ajaran agama dan tidak
pantas diklaim sebagai ajaran kesucian.
Sedangkan klaim korupsi
sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu,
masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan kesengsaraan. Sebab,
uang negara yang seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak
mencapai sasaran. Uang itu ditelan para koruptor. Ini berarti, mereka telah
merampas atau merampok kesejahteraan rakyat. Itulah kejahatan sekaligus tragedi
kemanusiaan yang luar biasa dahsyat.
Memang, telah banyak
sanksi yang dialamatkan bagi para koruptor, tapi sepertinya tidak mempan,
sehingga yang terpenting bukan pemberian sanksi itu, melainkan bagaimana
mengembalikan basik kesadaran otentik beragama mereka. Sebab, perilaku korupsi
itu berakar dari kesadaran beragama yang sangat payah. Hanya masalahnya,
mengembalikan kesadaran beragama yang telah tercerabut itu, bukan pekerjaan
mudah. Tapi toh masih ada kesempatan untuk melakukannya. Caranya dengan
berpijak pada dua model penyadaran; penyadaran teologis dan penyadaran sosial.
Pertama,
penyadaran teologis. Maksudnya secara teologis, kita harus sadar bahwa segala
tindak-tanduk kita dipantau oleh Allah dan akan mendapat imbalan yang setimpal.
Perkuat keimanan kita terhadap Allah dan Hari Akhir. Nabi bersabda;
Artinya: “Sesungguhnya
tidak akan masuk surga, daging yang tumbuh dari hasil perbuatan haram”.
(HR. ad-Darimi).
Secara teologis, sabda
Nabi itu selayaknya kita jadikan pijakan dalam mengais rezeki. Korupsi termasuk
cara ‘menumbuhkan daging dengan perbuatan haram’ yang diancam siksa berat.
Dengan demikian, bila kesadaran teologis ini telah dibangun, perilaku jahat
yang merugikan orang lain pun dapat dihindari atau minimal direduksi.
Kedua,
penyadaran sosial. Dalam al-Qur’an dan Hadis, banyak ditemukan ajaran yang
mengatur hubungan antar sesama. Misalnya, hubungan itu (dalam hal apapun) tidak
boleh dibangun atas dasar saling menzalimi dan menjahati. Allah Swt berfirman;
Artinya: “Dan
janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara batil dan janganlah kamu
membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari
harta benda orang lain itu (dengan jalan) dosa, padahal kalian mengetahui”.
Dalam ayat lain Allah
berfirman;
Artinya: “Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya”.
Nabi Saw juga acapkali
mewanti-wanti untuk tidak menimbulkan kebahayaan dan merugikan siapapun.
Sabdanya;
Artinya: “Tidak
boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh menimbulkan kebahayaan (bagi
orang lain).” (HR. Ibnu Majah).
Dan sekali lagi, korupsi termasuk perbuatan memakan harta
dengan jalan batil, menimbulkan kebahayaan, dan menganiaya kesejahteraan serta
hak pihak lain. Karenanya, bila hubungan antarsesama (terutama hubungan
penguasa dengan rakyat) dilandasi prinsip tidak saling merugikan, maka
kehidupan yang bersahaja akan terbangun. Orang tidak akan berfikir untuk
menzalimi orang lain. Sebab, korupsi berarti mengingkari prinsip hubungan
saling menguntungkan itu dan berarti juga menerabas ajaran agama yang mengatur
hubungan antarsesama. Dan terbukti, korupsi itulah penyebab runtuhnya tatanan
kehidupan yang bersahaja. Ini sesuai firman Allah dalam ar-Rum; 41 yang
menyatakan, ulah manusialah penyebab kehancuran dunia. Namun demikian, masih
ada harapan untuk melakukan perbaikan. Harapan itu, seperti tertuang dalam
ar-Ra’d; 11, sepenuhnya berada dalam genggaman kita. Semua tergantung I’tikad
kita. Semoga! Marilah kita kembalikan kepada diri kita; betulkah kita haqqul-yaqin
terhadap Hari Akhir? Kalau ya, mengapa kita doyan korup? Apa kita sesungguhnya
masuk golongan para munafik? Semoga tidak. Wallahu A’lam.
2. Dimensi Kesehatan Jiwa dalam Rukun Iman dan Rukun
Islam
Iman kepada Allah Swt
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tenteram”.
Iman atau percaya bahwa Allah SWT itu ada, pencipta alam
semesta, Tuhan yang Maha segalanya, merupakan keimanan yang besar pengaruhnya
bagi kesehatan jiwa manusia. Karena salah satu kebutuhan utama dan mendasar
manusia adalah kebutuhan akan rasa aman dan terlindung (security feeling). Rasa ini tumbuh dan dirasakan sebagai suatu
kekuatan spiritual dengan mendekatkan diri pada Allah. Dengan beriman
kepada-Nya, berarti; orang akan menjauhi segala larangan-Nya dan melaksanakan
apa yang diperintahkan, selalu ingat kepada-Nya, merasa aman, tenang, dan
terlindung, tidak takut kepada siapa pun (kecuali kepada Allah), malu berbuat
sesuatu yang tidak baik/ munkar meski tiada satu orang pun yang melihatnya,
karena keimanannya berubah menjadi waskat (pengawasan melekat) dalam arti yang
sesungguhnya, sehingga keimanan kepada Allah kalau benar-benar dihayati dan
diamalkan, akan sangat bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan rasa sejahtera (well being) akan dirasakan tidak hanya
bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga dirasakan bagi keluarga,
masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan.
Iman Kepada Malaikat
Artinya: ”Ketika dua
orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri”.
Artinya: “Padahal sesungguhnya
bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia dan
yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu), mereka mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia;
dan perilaku manusia itu merupakan manifestasi dari alam pikir dan alam
perasaannya. Perilaku manusia ini dalam perjalanan hidupnya seringkali melanggar
“rambu-rambu”, moral, dan etika dalam hubungannya dengan sesama manusia, yang
dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Siapa yang dapat mengontrol dan
mengawasi perbuatan baik-buruk manusia? Kalau yang dimaksud itu adalah sesama
manusia, bukankah manusia juga dapat diajak kolusi? Di sinilah letak pentingnya
keimanan kepada Malaikat-- makhluq Allah yang tidak dapat diajak kolusi, selalu
mendampingi kita dan tidak ada istilah tidur atau lalai. Semua catatannya harus
kita pertanggungjawabkan kelak di Hari Akhir.
Nah orang yang sehat
jiwanya adalah orang yang pikirannya, perasaan serta perilakunya baik, tidak
melanggar hukum, norma, moral, dan etika kehidupan serta tidak merugikan orang
lain. Mereka selalu berpedoman kepada amar ma’ruf nahi munkar dan
berlomba-lomba dalam kebajikan dan amal saleh.
Iman Kepada Para Nabi
Artinya: “Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak
menyebut Allah”.
Allah Swt mengutus para Nabi adalah untuk memperbaiki
akhlaq manusia, dan Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang teruji
keteladanannya. Kepemimpinannya telah diakui oleh dunia sebagaimana dituliskan
oleh Michael H. Hart (non muslim)
dalam bukunya “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” dengan
menempatkan Nabi sebagai tokoh nomor 1 dari 100 tokoh dalam buku tersebut.
Para Nabi adalah
panutan dan teladan masyarakatnya masing-masing di zamannya. Salah satu ajaran
Nabi Muhammad adalah pengendalian diri, bahkan menurut sabdanya ‘sesungguhnya
peperangan terbesar di muka bumi ini adalah peperangan melawan hawa nafsu
dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan salah satu azas kesehatan jiwa, yaitu
bahwa orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu mengendalikan diri (self control) terhadap segala
rangsangan, baik yang timbul dari lingkungannya (dunia luar) maupun yang datang
dari dirinya sendiri (dunia dalam).
Agama Islam yang dibawa
Nabi bukan sekedar agama ritual, tapi merupakan agama yang memberikan tuntunan
bagi tatanan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengalaman di
negara-negara maju (masyarakat modern dan industri) yang terjadi adalah
ketidakpastian fundamental di bidang hukum, norma, nilai, dan etika kehidupan;
yang pada gilirannya banyak anggota masyarakat yang stress. Kondisi masyarakat
dunia dewasa ini adalah tatanan masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian,
terlebih lagi menghadapi masa depan. Maka wajar jika ada pakar yang berpendapat
bahwa kepastian di masa datang adalah ketidakpastian itu sendiri. Keteladanan
Nabi Muhammad merupakan jawaban terhadap kerisauan manusia terhadap serba
ketidakpastian itu. “Berpeganglah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka
engkau tidak akan sesat selama-lamanya”.
Iman Terhadap Kitab-Kitab
Kitab-Kitab Allah
(terutama al-Qur’an) merupakan buku petunjuk bagi umat
manusia agar dalam kehidupan ini serasi, selaras, dan seimbang dalam
hubungannya dengan Tuhannya (vertikal), dengan sesama manusia dan lingkungan
alam sekitarnya (horizontal). Dan al-Qur’an merupakan penyempurna dari
kitab-kitab sebelumnya. Ibarat buku, ia merupakan edisi terakhir dan terlengkap
serta tersempurna. Di samping itu, karena isinya merupakan wahyu ilahi, bukan
karya manusia, tiada seorang pun yang mencampurinya dan selalu dijaga kesucian
oleh Allah.
Orang yang sehat
jiwanya adalah orang yang dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram,
hak-batil, baik-buruk, boleh-tidak, manfaat-mudarat, dll. Semua dimensi
kehidupan manusia yang menyangkut aspek hukum, norma, nilai, dan etika
kehidupan termaktub dalam kitab suci al-Qur’an; sedang petunjuk pelaksanaannya
(juklak) terdapat dalam Hadis sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Bila para dokter selalu
menbaca ‘textbook’ kedokteran guna menambah ilmunya untuk diamalkan
bagi kesehatan pasien, maka sesungguhnya al-Qur’an merupakan ‘textbook’
kesehatan jiwa terlengkap dan tersempurna di dunia. Bagi mereka yang
mengerti, menghayati, dan mengamalkannya akan beroleh manfaat serta kesejahteraan
lahir dan batin, selamat di dunia dan akhirat.
Iman Terhadap Hari Kiamat
Iman kepada hari akhir
mempunyai makna penting bagi orang-orang yang beriman, karena pada hari itu
setiap diri manusia akan menjalani proses ‘pengadilan’ Allah yang sangat adil;
tidak ada istilah ‘lolos’ dari hukum bagi mereka yang memang bersalah.
Pengadilan Allah tidak pandang bulu, karena Allah tidak memendang hamba-Nya
dari pangkat, kekayaan, kekuasaan, serta atribut-atribut keduniawian lainnya,
melainkan yang dilihat adalah hati mereka, iman dan takwa serta amal kebajikan
selama hidup di dunia. Oki bagi orang yang beriman tidak perlu merasa stress
apabila diperlakukan tidak adil oleh sesama manusia selama hidup di dunia, dan
dengan keimanan terhadap hari akhir, seseorang harusnya dapat mengendalikan
diri untuk tidak terjerumus kepada kemaksiyatan dan kemunkaran.
Iman Terhadap Takdir
Dengan iman pada
takdir, orang tidak akan mengalami frustasi dan stress. Manusia boleh dan harus
berusaha, tetapi Allah SWT yang menentukan. Bagi yang beriman, kegagalan itu
dipandang sebgai takdir, bahwa Allah berkehendak lain. Orang yang beriman yakin
bahwa tidak semua apa yang dipandangnya baik, di mata Allah pun baik pula;
begitu pula sebaliknya. Oki bagi mereka, kegagalan yang dialaminya itu dianggap
sebagai musibah yang pasti ada hikmahnya. Mereka akan bersabar dan berserah
diri pada Allah, mohon kekuatan lahir dan batin terhadap ‘cobaan’ yang
dialaminya; disertai doa ‘Ya Allah, janganlah Engkau beri hamba beban serta
cobaan yang hamba tidak mampu memikul dan mengatasinya’.
RUKUN ISLAM
Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat
Sebagai pertanda bahwa
seseorang itu beragama Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan syarat
mutlak. Apa relevansinya?
Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya,
amat penting untuk membedakan apakah seseorang itu beragama Islam atau bukan.
Banyak orang berpendapat bahwa semua agama itu sama, demikian pula Tuhannya pun
sama; sehingga orang tidak peduli terhadap agama apa yang dipeluknya, toh semua
itu sama. Bahkan ada sementara orang yang beranggapan bahwa ‘aliran
kepercayaan’ pun sama dengan agama. Islam tidaklah demikian halnya. Bagi muslim
sejati, dirinya yakin bahwa Islam adalah agama yang terbaik, terbenar, dan
tersempurna dibandingkan dengan agama-agama atau aliran kepercayaan lainnya.
Islam adalah agama yang diakui dan diridhai Allah agar manusia memperoleh
keselamatan di dunia dan akhirat. Tuhan bagi pemeluk Islam adalah Allah SWT
Yang Maha Esa, tidak sama pengertian dan keberadaannya dengan Tuhan dari agama
atau aliran kepercayaan lainnya.
Kesaksian bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan-Nya dan
Nabi terakhir, pengertian, keberadaan serta kedudukannya pun berbeda dengan
Nabi-Nabi atau Rasul-Rasul dari agama atau aliran kepercayaan lain. Jadi,
secara esensial Islam berbeda dengan agama atau aliran kepercayaan yang ada di
dunia ini. Kesaksian dan keyakinan ini penting agar pemeluk Islam tidak ragu
dan bimbang serta tidak mendua hati. Adapun dimensi kesehatan jiwa dari ucapan
kedua kalimat syahadat di atas dapat merujuk uraian dalam rukun Iman.
Meskipun demikian Islam
menghargai agama atau kepercayaan orang lain serta toleran terhadap mereka,
sepanjang mereka tidak mengusik atau menghujat keyakinan dan akidah Islamiyyah;
Islam adalah agama perdamaian.
Mendirikan Shalat
Bagi mereka yang dapat
menjalankan shalat dengan khusyu’, artinya menghayati serta mengerti
apa yang diucapkan, akan banyak memperoleh manfaat; ketenangan hati, perasaan
aman dan terlindung serta berperilaku shaleh. Pada saat seseorang sedang
shalat, maka seluruh alam pikiran dan perasaannya terlepas dari semua urusan
dunia yang membuat dirinya stress. Sesaat jiwanya tenang, ada kedamaian dalam
hatinya (peace in mind).[4]
Orang Islam dengan shalat lima
waktu telah menenangkan diri sehari selama lima kali, dan dengan ketenangan hati yang
diperolehnya setiap hari berarti kekebalan dirinya terhadap berbagai stress
kehidupan semakin meningkat.
Banyak orang Islam yang
tidak menjalankan perintah shalat dengan pelbagai
alasan; sibuk, tidak sempat, dan tidak ada waktu, serta tidak praktis
karena harus shalat lima
kali. Mereka sibuk mencari harta dunia, bahkan bagi mereka waktu 24 jam juga
dirasakan masih kurang. Apakah mereka yang super sibuk itu bekerja terus
menerus, non stop, tidak pernah ada ‘coffee break’, ‘tea break’ dan ‘lunch
break’?. Ternyata mereka menyempatkan diri untuk itu semua, lalu mengapa tidak
ada waktu untuk ‘pray break’, yaitu waktu istirahat untuk shalat?[5].
shalat adalah salah satu cara bersyukur atas nikmat Allah. Dari sudut pandang
kesehatan jiwa, mereka tergolong orang-orang yang kurang sehat jiwanya; sebab
salah satu ciri jiwa yang sehat adalah orang yang tahu berterima kasih dan
bersyukur, di samping shalat merupakan pemenuhan salah satu kebutuhan dasar
spiritual manusia (basic spiritual needs)
yang penting bagi ketahanan spiritual/kerohanian dalam menghadapi pelbagai
stress kehidupan.
Mengeluarkan Zakat
Zakat merupakan hak
kaum dhu’afa, dan manakala zakat ini tidak dikeluarkan/dibayarkan kepada yang
berhak, maka kepemilikannya menjadi haram hukumnya, meskipun semula hartanya
itu diperoleh secara halal. Kewajiban membayar zakat merupakan konsep Islam
dalam pengentasan kemiskinan, solidaritas dan kepedulian sosial. Dengan
demikian konflik psikososial berupa kesenjangan dan kecemburuan sosial dapat
dicegah. Inilah dimensi kesehatan jiwa dari zakat; yaitu mereka yang sehat
jiwanya adalah mereka yang mau saling tolong menolong dan menyumbangkan
sebagian hartanya bagi amal kebajikan sesama manusia, khususnya mereka yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Orang yang sehat
jiwanya adalah orang yang peka terhadap sekitarnya, tidak kikir, tidak egois
dan berjiwa sosial. Bukankah Nabi pernah bersabda “Belumlah seseorang itu
dikatakan beriman, manakala dirinya tidur nyenyak karena kekenyangan sementara
tetangganya tidak dapat tidur karena kelaparan”. Zakat, infaq dan shadaqah
merupakan perwujudan dari rasa keadilan sosial dan perikemanusiaan.
Puasa dalam Bulan Ramadan
Inti dari puasa adalah pengendalian
diri (self control). Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu
menguasai dan mengendalikan diri terhadap dorongan-dorongan yang datang dari
dalam dirinya maupun yang datangnya dari luar.[6]
Baginda Nabi bersabda:
“Sesungguhnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi
puasa itu dapat menjauhkan kamu dari perbuatan keji dan munkar”.
Hadis lainnya:
“Sesungguhnya peperangan terbesar (di muka bumi ini) adalah peperangan
melawan hawa nafsu dirinya sendiri”.
Maka, puasa merupakan
sarana dan wahana latihan mengendalikan diri itu. Di samping itu dari pelbagai
penelitian ilmiah ternyata puasa meningkatkan kesehatan fisik, psikologik, sosial
dan spiritual (WHO, 1984). Puasa juga meningkatkan kepekaan sosial terhadap
lingkungan sebagaimana halnya dengan zakat.
Puasa juga dapat
mencegah gangguan jiwa; gangguan jiwa yang tergolong non-psikosis, yaitu jenis
gangguan jiwa di mana seseorang itu masih memiliki kesadaran atau pemahaman
diri (insight) yang baik, namun tidak mampu mencegahnya (jenis gangguan jiwa
fobia, obsesi dan kompulsi).[7]
Bagaimanakah gangguan
jiwa tersebut yang terjadi di masyarakat, dan bagaimana puasa dapat
mencegahnya? Contoh sederhana adalah orang yang mencari harta,
jabatan/kedudukan dan kehidupan dunia yang tidak ada puas-puasnya. Tentu saja
mencari kesenangan dunia boleh, namun hendaknya dalam upayanya itu jangan
sampai ia sakit dan tidak mampu mengendalikan diri[8].
Carilah segala kebutuhan dan kesenangan hidup dunia, namun carilah dengan cara
yang halal dan baik serta jangan berlebihan. Untuk itu diperlukan pengendalian
diri dan ibadah puasa adalah salah satu caranya.
Menjalankan Ibadah Haji
Haji merupakan
konferensi internasional, manusia dari seluruh dunia berkumpul saling
bersilaturahim, tidak ada perbedaan ras, semuanya makhluq Allah. Silaturahim
merupakan dimensi kesehatan jiwa yang utama dalam hubungan antar manusia.
Sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat
al-Hujurat, ayat 13.
Selain berhaji, orang pun menyembelih hewan kurban. Penyembelihan hewan
kurban merupakan demonstrasi internasional yang menyatakan beginilah berkurban
menurut syariat Islam; hewan yang dikurbankan bukan manusia. Berkurban juga
merupakan manifestasi ketakwaan seseorang, sebab yang sampai kepada Allah bukan
darah atau dagingnya, melainkan ketakwaannya. Berkurban merupakan ciri jiwa
yang sehat; yaitu mereka yang berjiwa patriot, berjiwa sosial, dan
berperikemanusiaan, saling kasih mengasihi sesama manusia.
Ibadah haji—pra, saat,
dan pascapelaksanaannya—yang mengandung makna simbolik sangat dalam, secara spiritual
pada dasarnya melukiskan bagaimana seseorang menyatakan eksistensi kehambaannya
di hadapan Allah, yakni dengan melepas segala atribut duniawi yang profan, yang
merupakan tindak mujahadah untuk menuju kesadaran musyahadah sehingga
tercipta hubb dengan Tuhan sebagai titik orientasi.
Dalam prosesi
pelaksanaannya, ihram berarti
melepas atribut dunianya, thawaf
menggambarkan larut dan meleburnya manusia kehadirat Ilahi yang memberi kesan
kebersamaan menuju satu tujuan, sa’i
merupakan pengambaran usaha manusia mencari makna hidup dan kehidupan dengan
berbekal kesucian, dan wuquf di
Arafah adalah puncak upaya mencapai kesadaran dan perubahan tentang dirinya.
Haji dengan demikian
adalah sebuah bentuk sempurna dari adanya ke’anti-struktur’an terhadap dunia—yang
digambarkan sebagai sebuah kondisi sosial yang terstratifikasi dan muncul
kesadaran status yang tinggi, sehingga secara sosial mampu mengkondisikan orang
yang berhaji untuk bersama tenggelam dalam kesatuan antar seluruh kaum muslim
dari berbagai penjuru dunia, dari segala jenis warna kulit dan kondisi; haji
bermakna sebagai ibadah yang bernuansa egalitarian dan bervisi solidaritas sosial
yang tinggi (bermakna pengakuan terhadap nilai kemanusiaan yang universal).
Jika makna dari simbolisasi haji demikian tinggi bagaimana transformasi
sosialnya?
3. KONSEP ISLAM MEMERANGI
NAZA (Narkoba, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya)
Penyalahgunaan NAZA merupakan penyakit endemik dalam
masyarakat modern[9],
kronik yang berulang kali kambuh, dan belum ditemukan upaya penanggulangannya
secara universal yang memuaskan, baik dari sudut prevensi, terapi, maupun
rehabilitasi. Penyalahgunaan NAZA
ialah pemakaian NAZA di luar indikasi medik, tanpa petunjuk/resep dokter,
pemakaian sendiri secara relatif teratur atau berkala sekurang-kurangnya selama
satu bulan. Pemakaian bersifat patologik, dan menimbulkan hendaya
(impairment-perusakan, pemburukan, pelemahan) dalam fungsi sosial, pekerjaan
dan sekolah. Sedangkan yang dimaksud ketergantungan
NAZA, adalah penyalahgunaan NAZA yang disertai dengan adanya toleransi dan
gejala putus NAZA (withdrawal symptom).
Obat (drug) menurut WHO (1969) adalah setiap zat (bahan substansi)
yang jika masuk ke dalam organisme hidup akan mengadakan perubahan pada satu
atau lebih fungsi-fungsi organisme tersebut. NAZA mempunyai efek seperti itu;
khususnya dalam fungsi berfikir, perasaan, dan perilaku orang yang memakainya.
Zat tersebut seringkali disalahgunakan sehingga menimbulkan ketagihan (addiction)
yang pada gilirannya sampai pada ketergantungan (dependence).
Zat atau bahan (obat)
yang dapat menimbulkan adiksi dan dependensi, adalah zat yang berciri-ciri:
- Keinginan yang tak tertahankan terhadap zat yang dimaksud, dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya
- Kecenderungan untuk menambah dosis sesuai dengan toleransi tubuh
- Ketergantungan psikis. Apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan kecemasan, kegelisahan, depresi, dll.
- Ketergantungan fisik. Apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus NAZA.
Untuk masa datang berbagai NAZA yang masih dan akan
disalahgunakan adalah: ganja, morfin/heroin, kokain, dan psikotropika.[10]
Permasalahan penyalahgunaan NAZA mempunyai dimensi
yang luas dan komplek; medik, psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psikososial.
Aspek Medik-Psikiatrik
Penyalahgunaan NAZA
adalah suatu kondisi yang dapat dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa,
sehingga pelaku tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam masyarakat, dan
menunjukkan perilaku mal-adaptif. Ini karena
penyalahgunaan NAZA merupakan suatu proses gangguan mental adiktif; penderita
adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa (gangguan kepribadian, kecemasan
dan atau depresi), sedangkan penyalahgunaan NAZA adalah perkembangan lebih
lanjut, begitu pun dengan dampak sosial yang ditimbulkan.[11]
Dari sudut psikiatri penyalahgunaan NAZA dapat
mengakibatkan gangguan mental organik akibat NAZA atau disebut juga sindrom
otak organik yang disebabkan oleh efek langsung dari NAZA itu terhadap
susunan saraf pusat/otak, sehingga dapat menyebabkan perubahan perilaku (yang
cenderung negatif).
Di bidang medik, komplikasi yang ditimbulkan terdapat
pada organ otak, lever, percernaan, pancreas, otot, seks dan janin, endokrin,
gangguan nutrisi, metabolisme dan resiko kanker.
Aspek Psikososial
penyalahgunaan NAZA
tidak akan menjadi masalah kalau tidak berdampak besar pada tatanan sosial
keluarga dan masyarakat, sampai pada tindak kriminal dan gangguan ketertiban
dan keamanan. Lain halnya dengan tembakau dan kopi (walaupun secara ilmiah
termasuk zat adiktif).
Salah satu aspek
psikososial yang merupakan faktor kontribusi penyalahgunaan NAZA, adalah faktor
keluarga (disfungsi keluarga);keutuhan keluarga, kesibukan ortu dan hubungan
antar pribadi, antar anggota keluarga. Sedangkan faktor pendorong/pencetus
penyalahgunaan NAZA adalah teman sebaya (peer
group), tidak hanya pada perkenalan pertama dengan NAZA, melainkan juga
yang menyebabkan ketergantungan-sulit melepaskan diri dan kekambuhan (relapse).
Aspek Psikoreligius
Clinebell (1980) menyebutkan bahwa pada setiap diri terdpat
kebutuhan dasar kerohanian (basic
spiritual needs). Dari penelitiannya ditemukan bahwa kebutuhan ini tidak
terpenuhi, sehingga mereka mencarinya dengan jalan menyalahgunakan NAZA. Larson dkk (1990) menemukan bahwa
remaja yang komitmen agamanya kurang/lemah, mempunyai resiko 4 kali lebih besar
untuk menyalahgunakan NAZA dibanding dengan mereka yang kuat. Begitu juga
dengan peneliti Dadang Hawari (1990)
dan Juwana (1994), menemukan bahwa
ketaatan beribadah pada kelompok penyalahguna NAZA (kasus) jauh lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok bukan penyalahguna NAZA (kontrol/kelola); dan
perbedaan ini cukup signifikan. Ini artinya pendidikan agama sejak dini akan
memperkuat komitmen agama bila seorang anak kelak menginjak remaja dan menjadi
dewasa, sehingga resiko penyalahgunaan NAZA dapat diperkecil.[12]
Bagaimana Islam menyikapinya?
Dalam masyarakat modern
dan industri, yang terjadi adalah ketidakpastian fundamental di bidang hukum,
nilai, moral, dan etika kehidupan. Orang tidak lagi mempunyai pegangan dan
pedoman hidup selain materi dan tujuan sesaat belaka. Mereka mengalami
kekosongan spiritual. Masyarakat modern seringkali tidak menyadari bahwa
sebenarnya setiap diri perlu pemenuhan kebutuhan dasar
spiritual/kerohanian/agama. WHO (1984) telah menetapkan bahwa unsur agama
merupakan unsur kesehatan ke-4 setelah kesehatan fisik, psikologik, dan sosial.
Unsur agama amat penting dan peringkatnya sama dengan ketiganya.
Islam mengajarkan bahwa
setiap zat, bahan atau minuman yang dapat memabukkan dan melemahkan adalah
khamr dan setiap khamr adalah haram. Sabda Nabi:
Sabdanya juga;
“Malaikat jibril datang kepadaku
lalu berkata: Hai Muhammad, Allah melaknat minuman keras, pemerasnya,
orang-orang yang membantu pemerasannya, peminumnya, penerima/penyimpannya,
penjualnya, pembelinya, penyuguhnya, dan orang-orang yang mau disuguhinya”.
Dari hadis tersebut
jelas bahwa Islam menghendaki diberlakukannya UU/Peraturan yang mengatur/
melarang produksi NAZA; sanksi hukum bagi orang yang memproduksi, membantu
produksi, penerima/penyimpannya, penjual/pengedarnya, pembeli/pemakainya, orang
yang menawarkan dan orang yang mau ditawarinya serta hal-hal yang terkait
dengan itu. Apalagi kita mengetahui bahwa dampak yang ditimbulkan NAZA sangat
amat berbahaya.
4. UKHUWAH[14]
Ukhuwah Islamiyyah
adalah persaudaraan yang bersifat islami
atau yang diajarkan oleh Islam. Guna memantapkan ukhuwah, pertama kali
al-Qur’an menggarisbawahi bahwa perbedaan itu adalah hukum yang berlaku dalam
kehidupan ini (Sunnatullah); kehendak ilahi untuk kelestarian hidup, sekaligus
demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di bumi ini. Dalam al-Ma`idah (5): 48
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu
satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberitaan-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.
Konsep Persaudaraan secara
umum:
- Islam memperkenalkan konsep khalifah; konsep ini menuntut manusia untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya.
- Dalam hubungan antar umat beragama diperkenalkan ajaran:
“Bagi kami amal-amal kami
dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan
kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nya-lah kembali (putusan segala
sesuatu) (asy-Syura (42): 15).
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik
singgung dan titik temu antarpemeluk agama (kalimah sawa). Jika tidak
menemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain.
“Katakanlah: “Wahai ahl
al-Kitab, marilah kepada satu kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan
di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling (tidak
setuju), katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah (akui eksistensi kami) bahwa
kami adalah orang-orang muslim”. (Ali Imran-3-: 64).
- Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama muslim:
·
Perlunya
menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan
di antara mereka; jangan saling memperolok, memanggil dengan panggilan yang
jelek, berprasangka buruk, ghibah, mencari-cari kesalahan orang lain, iri dan
dengki (al-Hujurat 11-12). Jika diamati, sebagian ayat dan Hadis yang
berbicara tentang hal ini dikemukakan dalam bentuk larangan. Hal ini karena at-Takhliyah
(menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-Tahliyah (menghiasi
diri dengan kebaikan), melainkan juga karena ‘melarang sesuatu mengandung arti
memerintahkan lawannya. Demikian pula sebaliknya”. Ini karena sikap
bathiniyahlah yang melahirkan sikap lahiriyah.[15]
·
Dalam
konteks pendapat dan pengamalan agama hendaklah merujuk kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah), an-Nisa` ayat 59.
·
Selanjutnya
untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran
agama dikenal 3 konsep:
1.
;
keragaman cara beribadah.
Konsep ini
mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi dalam bidang pengamalan agama,
yang mengantarkan pada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama
semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Siapapun tidak boleh meragukan
pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak
menggunakan pertanyaan, “Berapa hasil 5+5?”, melainkan yang ditanyakan adalah,
“Jumlah sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?”.
2.
; Yang
salah dalam berijtihad pun (menetapkan hukum)
mendapat pahala.
Ini
berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan
berdosa, bahkan tetap diberi pahala oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtihad
yang diamalkan keliru. Tetapi perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah
bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah sendiri, yang baru akan diketahui
pada hari kemudian. Perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan
ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas
keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya
bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari dengan seksama
dalil-dalil keagamaan (al-Qur’an dan Hadis).
3. ;
Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang
mujtahid.
Ini
berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi
masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya
dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai
ragam minuman yang tersedia.[16]
Al-Quran dan Hadis
tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah
Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu, sedikit
sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-Qur’an dan
Hadis berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan,
kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing
mujtahid.
Dari sini terlihat
bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan berkata, “Pendapat kami
benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru,
tetapi mungkin benar”. Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu
menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan
demikian, tidak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa
interpretasinyalah yang paling benar. Hadis yang populer dalam masalah ukhuwah
adalah:
“Seorang muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Dia
tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang
memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kenutuhannya.
Barangsiapa yang melapangkan dari seorang muslim suatu kesulitan, Allah akan
melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim,
Allah akan menutup aibnya di hari kemudian”.
5. Musyawarah
Kata musyawarah
terambil dari akar kata sy-,w-, r-, yang pada mulanya
bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan
atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan
untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Madu bukan saja manis,
melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan
kekuatan. Dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti
bagaikan lebah: makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya mengagumkan,
makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak
pernah merusak. Ia tak akan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun
dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula
sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi menyamakan seorang mukmin dengan
lebah.
Ada tiga ayat al-Qur’an yang akar katanya
menunjukkan musyawarah:
- al-Baqarah (2): 233
“Apabila keduanya
(suami-istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar
kerelaan dan permusyawarahan antarmereka, maka tidak ada dosa atas keduanya”.[17]
- Ali Imran (3): 159
“Maka disebabkan rahmat
dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau
bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau
telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.
- asy-Syura` (42): 38[18], Allah menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat pahala yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang mukmin adalah:
“Orang-orang yang mematuhi
seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka
diputuskan dengan musyawarah antarmereka, dan mereka menafkahkan sebagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Dari ketiga ayat ini, sepintas diduga bahwa al-Qur’an
tidak memberikan perhatian yang cukup dalam masalah musyawarah. Namun dugaan
tersebut akan sirna jika menyadari cara al-Qur’an memberi petunjuk serta
menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut.
Al-Qur’an merinci persoalan-persoalan yang tak
terjangkau nalar serta tidak mengalami perkembangan/perubahan, sehingga tentang
metafisika—surga/neraka—amat rinci. Demikian juga tentang mahram, karena tidak
mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin
memiliki birahi terhadap orangtuanya, saudara atau keluarga dekat tertentu,
demikian seterusnya.
Adapun terhadap persoalan yang mengalami perkembangan
dan perubahan, al-Qur’an menjelaskannya secara global (prinsip-prinsip umum),
agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial
budaya manusia. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasul:
“Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian”, dan
Hadis:
“Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka
kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka
kalian lebih mengetahuinya”.
Sikap orang yang bermusyawarah sesuai Ali Imran (3):
159;
- berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras
- Memberi maaf dan membuka lembaran baru
Maaf, secara harfiah, berarti “menghapus”. Memafkan
adalah menghapus luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak
wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan
pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Fa’fu ‘anhum;
orang yang bermusyawarah harus siap mental untuk memberi maaf, karena perbedaan
pendapat, kalimat-kalimat yang menyinggung dapat mengubah musyawarah menjadi
pertengkaran.
- Menyadari bahwa kecerahan/ketajaman analisis saja tidaklah cukup[19], butuh ‘sesuatu’ di samping akal. Terserah apa namanya, indera keenam (filosof dan psikolog), bisikan atau gerak hati (kata orang kebanyakan), atau ilham, hidayah, dan firasat (agamawan). Tidak jelas cara kerja ‘sesuatu’ itu, karena datangnya sekejap, sekedar untuk mencampakkan informasi yang diduga ‘kebetulan’ oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa permisi orang yang dikunjungi. Biasanya ia datang pada orang-orang yang jiwanya suci. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan ilahi ‘wa istaghfir lahum’, dan
- Pesan terakhir ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu: menerima dan melaksanakan hasil musyawarah dengan penuh tanggung jawab.
Orang-orang yang diminta Bermusyawarah
Petunjuk ayat 159 Ali
Imran berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi.
Perintah ini turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu,
menjelang pertempuran, Nabi bermusyawarah bagaimana sikap menghadapi musuh yang
sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan
di Madinah. Sahabat-sahabat beliau terutama yang muda yang penuh semangat,
mendesak agar kaum Muslim ‘keluar’ menghadapi musuh. Pendapat mereka memperoleh
dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi peperangan berakhir
dengan gugurnya tidak kurang 70 orang sahabat Nabi.
Konteks turunnya ayat serta kondisi psikologis yang
dialami Nabi dan sahabatnya setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi
untuk melihat bagaimana pandangan al-Qur’an terhadap musyawarah. Ayat ini
seakan-akan berpesan kapada Nabi bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan
dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan
mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama,
dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya
sekalipun.
Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan:
“Takkan kecewa orang yang melakukan musyawarah, dan
tidak juga akan menyesal orang yang memohon petunjuk (kepada Allah) tentang
pilihan yang terbaik”.
Lapangan Musyawarah (majal asy-Syura`)
Ayat Ali Imran di atas,
menggunakan kata al-amr (ma’rifat), yang diterjemahkan “persoalan/urusan
tertentu”. Sedangkan ayat asy-Syura menggunakan ‘amruhum’ (ma’rifat) yang
terjemahannya: ‘urusan mereka’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa musyawarah
dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara
jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi; baik yang
petunjuknya global maupun yang tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan.
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak
dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan
pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana?
Dengan siapa seharusnya bermusyawarah?
Pesan Nabi pada Ali ibn Abi Thalib:
“Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan
keluar, jangan juga dengan yang kikir,
karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah
untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi,
merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap
Allah”.
Imam Ja’far ash-Shadiq pun berpesan:
“Bermusyawarahlah dalam persoalan-persoalan dengan
seseorang yang memiliki lima
hal: akal, lapang dada, pengalaman, perhatian, dan takwa”
Syura dan Demokrasi
Ada tiga cara menetapkan keputusan: 1.
ditetapkan oleh penguasa, 2. ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas, dan 3.
berdasarkan pandangan mayoritas (ciri-ciri umum demokrasi). Dua cara pertama
(penguasa dan minoritas) bertentangan dengan prinsip Islam tentang musyawarah,
sedangkan yang ketiga, pembahasannya akan kami uraikan bersama dengan perbedaan
antara syura dan demokrasi.
Ø Syura` dalam Islam walau membenarkan keputusan
pendapat mayoritas, tetapi tidaklah mutlak. Menurut Dr. Kamal Abul-Majad—pakar
muslim Mesir kontemporer—dalam bukunya ‘Hiwar
la muwajahah’ (Dialog Bukanlah Konfrontasi), menjelaskan: keputusan janganlah
langsung diambil berdasar pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali
musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kesepakatan;
usahakan mencapai madu atau yang terbaik.[20]
Ø Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan
Walaupun keduanya—syura dan
demokrasi—menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun
syura di dalam Islam mengaitkannya dengan ‘perjanjian ilahi’. Ini diisyaratkan
oleh al-Qur’an dalam firman-Nya ketika mengangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai
Imam:
Allah
berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi
manusia.”Ibrahim berkata,”Saya bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan
juga kepada sebagian keturunanku.” Dia (Allah) berfirman, “Perjanjian-Ku tidak
menyentuh orang-orang yang zalim” (QS al-Baqarah [2]: 124).
Ø Dalam demokrasi sekuler, persoalan apa pun dapat
dibahas dan diputuskan. Tetapi dalm syura, tidak dibenarkan memusyawarahkan
segala sesuatu yang telah ada ketetapannya secara tegas dan pasti dan segala
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran ilahi.
Al-Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan
bentuk musyawarah tertentu, hanya menuntut keterlibatan masyarakat dalam urusan
mereka, dan bagaimana cara keterlibatannya diserahkan kepada mereka sendiri.
Al-Qur’an memberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan
kepribadian, kebudayaan, dan kondisi sosialnya.
Mengikat diri atau
masyarakat kita dengan fatwa ulama dan pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat
para sahabat Nabi Saw. dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman
masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan pengertian tertentu,
bukanlah sesuatu yang tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan
agama. Setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan kondisi yang khas,
sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan jalan yang
berbeda-beda. Hakikat ini merupakan salah satu maksud al-Ma`idah ayat 48 di
atas.
6. Pernikahan[21]
Kata “nikah” berasal
dari bahasa Arab yang berarti ‘bergaul’, ‘bercampur’, ‘menghimpun’. Atau
‘mengumpulkan’. Dalam arti fikih, nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan
laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami isteri. Tujuan pernikahan Islam
adalah keluarga bahagia yang rukun, damai, serta penuh kasih sayang untuk
mendapatkan keturunan yang sah.
Hikmah Nikah
- Penyaluran naluri seksual secara benar dan sah, karena adakalanya naluri seksual itu sulit untuk dibendung dan sulit untuk merasa terpuaskan. Dengan jalan nikah, dapat disalurkan kapan saja, asalkan tidak dilakukan pada waktu dan tempat yang dilarang syari’at Islam.
- Satu-satunya cara untuk mendapatkan anak serta mengembangkan keturunan secara sah.
- Untuk memenuhi naluri kebapakan dan keibuan yang dimiliki seseorang dalam rangka melimpahkan kasih sayangnya. Naluri ini merupakan bawaan yang menunjukkan rasa kemanusiaan seseorang.
- Menumbuhkan rasa tanggung jawab seseorang yang telah dewasa yang berdampak terhadap aktivitas kehidupan untuk mencari nafkah.
- Berbagi rasa tanggung jawab melalui kerjasama yang baik, yang selama ini hanya terfokus untuk diri sendiri.
- Mempererat hubungan antara satu keluarga dengan keluarga lain melalui ikatan persemendaan. Hal ini membawa dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.
- Menurut penelitian para ahli, orang-orang yang menikah (suami-istri) lebih memiliki kemungkinan umur yang panjang dibandingkan dengan orang-orang yang belum/tidak kawin.
Begitu agung tujuan dan hikmah pernikahan sehingga
nikah sangat dianjurkan bagi yang telah dewasa dan mampu secara ekonomi, bahkan
wajib jika secara ekonomi telah mampu dan ada ‘kekhawatiran’ akan zina, jika
tidak menikah. Sabda Nabi:
“Wahai para pemuda, siapa
yang telah sanggup menunaikan nafkah (lahir dan batin) hendaklah dia kawin,
karena kawin itu merupakan suatu jalan untuk membatasi pandangan (dari hal-hal
yang negatif) dan lebih memelihara kehormatan. Dan siapa yang belum mampu
menunaikan nafkah, hendaklah berpuasa, sebab puasa itu obat baginya”.
Di samping itu, untuk mencapai tujuan pernikahan,
pasangan itu harus berupaya keras menjaga pernikahan tersebut. Dalam konsep
Islam, diperkenalkan tali-temali perekat pernikahan, yaitu: Cinta, mawaddah,
rahmah, dan amanah Allah[22]. Itulah
perekat ruhani perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih
ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama
pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara, karena al-Qur’an memerintahkan:
“Pergaulilah istri-istrimu
dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan
putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu,
tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak (QS
an-Nisa` [4]: 19).
7. Poligami
(Ta’addud az-zaujat)
Secara kebahasaan ta’addud az-zaujat berarti
‘berbilangnya istri’. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani (Poly: banyak;
gamein atau gamos: kawin atau perkawinan). Jadi, poligami berarti ‘perkawinan
yang banyak’ atau ‘perkawinan dengan lebih dari satu orang’, baik pria maupun
wanita. Poligami bisa dibagi atas poliandri (seorang perempuan dengan
lebih dari seorang laki-laki) dan poligini (seorang laki-laki dengan
lebih dari seorang perempuan).
Poligami atau poligini sejak dulu telah dilakukan
secara luas tanpa pembatasan jumlah perempuan yang boleh diperistri oleh seorang
laki-laki. Seorang laki-laki boleh mengawini setiap wanita yang dikehendakinya.
Ini dilakukan baik oleh kalangan Hindu, bangsa Persia, bangsa Arab Jahiliyah,
bangsa Romawi, maupun bangsa yang mendiami berbagai daerah Eropa dan Asia Barat
(misalnya, bangsa Thracia dan bangsa Lidia).[23]
Bagaimana sikap Islam?
Pada abad ke-7, agama Islam datang, dan di antara
ajarannya adalah mengatur masalah poligami. Islam mengatur masalah perkawinan
dan poligami dengan bijaksana demi kebaikan kaum wanita, keturunan, keadaan
masyarakat, dan kemampuan laki-laki. Islam membatasi poligini dengan
sebanyak-banyaknya empat orang istri jika dijalankan dalam keadaan darurat
dengan syarat yang berat. Syarat itu adalah harus adil terhadap para istri dan
mampu memikul nafkah mereka. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nisa` (4): 3,
“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah yang kamu
senangi dari wanita-wanita (lain) dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.[24]
Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat
peraturan tentang poligami (tidak mewajibkan atau menganjurkan). Ia hanya
berbicara tentang bolehnya poligami dan itu pun merupakan pintu kecil yang
hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam
pandangan al-Qur’an hendaknya tidak
ditinjau dari segi ideal atau baik-buruknya, tetapi harus dilihat dari
sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[25]
Ayat ini hanyalah wadah bagi mereka yang menginginkannya, bukan menganjurkan.[26]
Seandainya anjuran, pastilah Allah menciptakan wanita lebih banyak empat kali
lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak ada artinya apabila Anda—apalagi
Allah—menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia.
Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya
adalah dalam rangka tuntunan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini
mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu,
dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya: “Jika Anda khawatir akan sakit
bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di
hadapan Anda”. Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya
sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan
tertentu itu.
Bagaimana dengan perkawinan Rasul?
Ada yang berkata Rasul saja berpoligami, bukankah itu perlu diteladani?.
Perlu diingat, bahwa tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani,
sebagaimana tidak semua yang wajib dan terlarang bagi beliau, wajib dan
terlarang pula untuk umatnya.[27]
Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar-benar hendak meneladani Rasul
dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa semua
wanita yang beliau kawini, kecuali Aisyah ra., adalah janda-janda, dan
kesemuanya untuk tujuan menyukseskan da’wah, atau membantu dan menyelamatkan para
wanita yang kehilangan suami itu, yang pada umumnya bukanlah wanita-wanita yang
dikenal memiliki daya tarik yang memikat, dan itupun dilakukan Rasul setelah
beliau bermonogami hingga usia 50 tahun lebih dengan Khadijah.[28]
Mengapa Islam membenarkan poligini, tetapi melarang
poliandri?
Boleh jadi ada yang tidak menerima pendapat ilmuwan
yang menyatakan bahwa fitrah pria cenderung berpoligami dan fitrah wanita
bermonogami. Cobalah melihat kenyataan, mengapa negara-negara yang membolehkan
prostitusi melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bagi wanita-wanita berprilaku
seks bebas, dan tidak melakukannya bagi pasangan sah? Ini karena kenyataan
menunjukkan bahwa wanita hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang
bersih, yakni sperma seorang—sekali lagi, seorang—pria. Begitu terlibat dua
pria dalam hubungan seks dengan seorang wanita, maka ketika itu pula cairan itu
yang merupakan benih anak tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan
menjangkitkan penyakit.
So, apa hikmah poligami? Pikir sendiri. Ok.
8. Haramnya Zina
Zina adalah hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan yang belum memiliki ikatan nikah;
memiliki ikatan nikah semu (nikah tanpa wali, nikah mut’ah, dan hubungan
beberapa laki-laki dengan hamba perempuan milik bersama); atau tidak memiliki ikatan
pemilikan (tuan atas hamba); dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran).
Zina termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang diancam hukuman had
(hukuman yang macam dan jenisnya ditentukan oleh Syara’ dan merupakan hak Allah
SWT.[29]
Dalam surat
an-Nur (24): 2,
“Perempuan[30]
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan agama Allah), jika kamu beriman kepada Allah
dan hari akhirat, hendaklah (pelaksanaan) hukuman disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman”.
Konsekuensi lain bagi
pelaku zina, di samping hukuman had, bagi pezina yang masih hidup (tidak
dirajam sampai mati), yaitu turunnya martabat (tidak boleh dikawin oleh orang
mukmin), tidak adanya iddah bagi pezina perempuan, penentuan mahram, dan status
anak hasil zina yang dinasabkan kepada ibunya saja (ini berpengaruh kepada hukum
waris-mewarisinya juga).[31]
Di samping itu zina
merupakan salah satu sebab rusaknya tatanan keluarga; tidak harmonis karena
perasaan cemburu dan curiga (ini berimplikasi terjadinya pembunuhan[32]
dan kriminalitas lainnya), disfungsi keluarga yang berakibat buruknya
pendidikan terhadap anak-anak, perceraian; dan sebab langsung menularnya PMS
(penyakit menular seksual, seperti syiphilis, Gonorhea (kencing nanah), Herpes,
klamida, dan HIV/Aids.
Sebagai gambaran
bagaimana dahsyatnya HIV/Aids, berikut penjelasannya:
AIDS: Acquired Immune Deficiency Syndrome, artinya adalah kumpulan gejala
penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh. Penyebabnya adalah HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Virus ini hanya dapat ditularkan melalui darah,
air mani (sperma), dan cairan vagina. Dengan demikian kegiatan yang beresiko
tertular Aids, adalah:
- Hubungan seks yang tidak aman dengan seorang pengidap Aids (biasanya orang yang berganti-ganti pasangan)
- Transfusi darah yang telah mengandung HIV
- Penggunaan jarum suntik yang sudah tercemar HIV tanpa disterilkan dulu (termasuk jarum tindik dan jarum tato)
- Ibu pengidap HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Bagaimana HIV bekerja di dalam tubuh manusia?
HIV dengan perantaraan
darah, sperma, dan cairan vagina masuk ke dalam aliran pembuluh darah, kemudian
menyerang sistem kekebalan tubuh orang tersebut (sel darah putihnya). Sesudah
beberapa tahun jumlah HIV menjadi sedemikian banyaknya sehingga kekebalan tubuh
tidak mampu lagi melawan bibit penyakit yang masuk. Ini artinya penyakit yang
tadinya tidak berbahaya, akan menjadi sangat berbahaya untuk orang tersebut,
karena sistem kekebalan tubuhnya sudah sangat lemah. Dan karena hal ini pula
seorang pengidap HIV tetap terlihat dan merasa sehat seperti orang lain dalam
waktu 2-10 tahun. Bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya terinfeksi, walaupun
dia sudah dapat menularkan HIV pada orang lain. Dapat diketahui dengan tes
darah untuk HIV.
Beberapa asumsi dan
fakta tentang Aids:
v Tidak semata-mata penyakit di bidang kedokteran/
kesehatan, tapi lebih merupakan penyakit perilaku ‘life style’. Ini karena
90% penularan dan penyebarannya melalui kontak seksual di luar
nikah/perzinahan.
v Peringatan Allah, karena perilaku seksual manusia
sudah melampaui batas (tidak menjaga kehormatan dan menyalahgunakannya).
v Penyakit terminal (berakhir dengan kematian),
penderitanya mengalami gangguan kejiwaan (cemas dan depresi) dan mengalami
krisis spiritual (berdampak pada bunuh diri atau euthanasia).
v Sekarang pembunuh nomor 1 di dunia.
v Menurut WHO, per menit 3 orang terinfeksi, sehari ada
1440 menit X 3= 4320 orang, setelah 5-10 tahun virus ini baru tampak dan mereka
termasuk stadium terminal. Kelompok umur 13-25 tahun paling tinggi karena
promiskuitas (gonta-ganti pasangan) dan penggunaan bersama jarum suntik
narkotika.
v Penyakit yang amat mengerikan; belum ada obatnya dan
menimbulkan kepanikan di seluruh dunia ‘mass hysteria’.
v Medical illness dan
juga terminal
illness yang membuat paramedis dilematis, oleh karena itu peran
agamawan sangat diperlukan.[33]
Faktor-faktor life style negatif:
- keluarga yang tidak dilandasi komitmen agama yang kuat, 4 kali mempunyai resiko lebih besar untuk broken home; ketidaksetiaan, ganti-ganti pasangan dan berbagai bentuk pergaulan bebas. Dampaknya, anak tidak ditanamkan nilai-nilai moral dan etika pergaulan, apalagi nilai-nilai religius, sehingga perilaku mereka sangat bebas dan tidak terkendali. Remaja akhirnya memilih minggat ‘homeless’ dan ‘street children’, yang menurut penelitian di Amerika, mereka 85% aktif seks dan pecandu.
- Budaya yang permisif terhadap seks, prostitusi, free sex, homoseksual, dengan dalih kebebasan sex dan HAM. Dengan dalih itu pula ‘menghalalkan’ kontak seks dengan siapa saja, di mana, dan kapan saja sepanjang tidak memperkosa, menggauli anak kecil dan tidak ada ketentuan harus menikah.
- Pola dan gaya hidup Barat sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi[34] dan kemajuan IPTEK; telah menyebabkan perubahan nilai-nilai kehidupan yang cenderung mengabaikan nilai-nilai moral, etik dan agama.
Dari segi psikologi, Aids
menimbulkan empat masalah:
- Rasa takut (fear); penyakit endemik tetapi yang terinfeksi tidak nampak secara klinis dan fatal.
- Rasa jijik (contemp), sehingga terjadi diskriminasi, padahal dia tidak hanya sakit tapi victim yang membutuhkan pertolongan.
- Rasa duka cita; penyakit fatal dan perjalanannya dramatis.
- Rasa putus asa (burn out) bagi penderita, petugas medis dan keluarganya
Bagaimana solusinya?
Permasalahan utama
penyakit Aids adalah pada faktor psikologik dan psikoseksual perkembangan
remaja dan budaya. Maka cara yang bisa ditempuh adalah dengan menanamkan
pengetahuan, keyakinan, kesadaran, penguasaan cara dan ketrampilan untuk
merubah pola hidup perilaku seks ke arah yang sehat dan bertanggung jawab,
sehingga para ahli Barat menawarkan solusi ABC.[35]
Apakah kondom efektif untuk mencegah penularan virus
HIV?
Tidak, karena:
- Penelitian membuktikan bahwa pemakaian kondom tidak menjamin pelaku tidak tertular, namun hanya mereduksi penularan (tidak menghilangkan resiko penularan [transmisi] virus HIV.
- Kondom dirancang untuk menyaring sperma, bukan virus. Besarnya sperma ibarat jeruk garut, sedang kecilnya virus bagaikan titik.
- Bahan latek kondom yang begitu tipis masih bisa tembus juga. Ini karena pori-pori kondom berdiameter 1/60 mikron, sedang virus HIV berdiameter 1/250 mikron.
- Tidak menyelesaikan akar masalahnya, karena terbentur dalil HAM. Ini karena mereka individualis, materialistis dan sekuler (moral etik agama tidak ada tempat), HAM individu mengalahkan HAM masyarakat.
Bagaimana solusi Islam?
Dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu
yang kotor atau najis[36],
tetapi bersih dan harus selalu bersih, sehingga hubungan tersebut harus dimulai
dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor, atau
situasi kotor. Oleh karena itu Islam sangat melarang perbuatan zina. Dalam surat al-Isra`, ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati[37]
zina—dengan melakukan hal-hal—walau dalam bentuk mengkhayalkannya, sehingga
dapat mengantar kamu terjerumus dalam keburukan itu. Allah juga melarang
perilaku homo seksual, karena termasuk melanggar fitrah[38]
Dengan demikian, karena AIDS disebabkan oleh perilaku
seksual manusia, maka pencegahannya dengan merubah perilaku seks itu ke arah
yang sehat, aman, dan bertanggung jawab. Perilaku seks yang sehat adalah yang
halal, yaitu menikah, bukan dengan kondom. Dalam surat ar-Rum (30): 21,
“di antara tanda-tanda
(kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu
pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketentraman dari
(pasangan)nya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah.
Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.[39]
Orang yang waras akan berfikir dan memilih untuk
menikah daripada kumpul kebo atau ‘jajan’; menjaga kehormatan dan menjauhi
ketularan penyakit kelamin, karena walau pakai kondom, zina tetap haram. So,
solusi Islam sederhana, tegas, dan lugas “Stop perzinahan, maka stop pula
penyebaran virus HIV/AIDS”.
Itulah Islam, ketika melarang sesuatu (zina), maka
diberi dulu alternatifnya.
9. Haramnya Riba
Secara bahasa, riba
berarti “kelebihan atau penambahan”; menurut Syara’, berarti “tambahan pada
modal (uang) pinjaman yang diterima orang yang berpiutang sesuai dengan jangka
waktu dan persentase bunga pinjaman”. Orang Arab mengenal riba dari orang
Yahudi di Madinah, biasanya dengan bunga 40-100%.
Islam mengharamkan riba dengan segala bentuknya.
Menurut Nas al-Qur’an, dasar hukum pelarangan riba secara bertahap adalah sbb:
Tahap pertama, ar-Rum (30): 39,
Dalam ayat ini, Allah
mencela riba dan memuji zakat; ayat ini secara halus menyebutkan bahwa riba itu
tidak baik dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena si pelaku tidak akan
mendapat pahala di sisi Allah, berbeda dengan zakat.
Tahap kedua, an-Nisa (4): 161,
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa riba diharamkan
bagi orang Yahudi, namun mereka melanggar larangan tersebut dan hal ini
merupakan salah satu penyebab kemurkaan Tuhan kepada mereka.
Tahap ketiga, Ali Imran (3): 130,
Ayat ini secara jelas mengharamkan riba yang bersifat
pemerasan dari golongan ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah itu mengandung
penganiayaan (az-zulm)[40].
Dengan riba, pada umumnya kaum lemah tidak mampu mengembalikan hutangnya, jika
tidak bisa melunasi, maka dipaksa dilipatgandakan dengan imbalan penundaan
jangka waktu pembayaran. Riba seperti ini dinamakan riba an-Nasi’ah[41]
(riba penundaan) dan dalam ayat itu dihukumi haram secara juz’i (sebagian), artinya
riba yang diharamkan hanya yang bersifat berlifat ganda (ad’afan muda’afan).
Mengenai riba yang tidak berlipat ganda, hukumnya ditetapkan Allah dalam ayat
berikutnya.
Tahap keempat (terakhir), surat
al-Baqarah (2): 275-279.
“Orang-orang yang makan
(bertransaksi dengan )riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang dibingungkan oleh setan, sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh
sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan karena mereka
berkata, “jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba”, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba[42].
Ayat 276,
“Allah memusnahkan riba
(sedikit demi sedikit) dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang (berulang-ulang) melakukan kekufuran, dan (selalu) berbuat banyak
dosa”.[43]
Ayat 278-279,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba[44]
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak melaksanakan (apa yang
diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa akan terjadi perang (dahsyat) dari
Allah dan Rasul-Nya. Dan jika kamu bertaubat, maka bagi kamu pokok harta kamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Ayat-ayat ini mengharamkan riba secara mutlak, jelas,
dan tegas, tidak terdapat keraguan. Dan ayat ini disambung dengan ayat 280,
“Dan jika dia (orang yang berhutang itu) dalam
kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia lapang[45].
Dan menyedekahkan, lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui”.
Dari tahapan tersebut,
pemahaman riba harus dimulai dari Ali Imran 130, kemudian al-Baqarah ayat
278-279 dengan kata kunci sebagai berikut:
1.
kalimat
ad’afan
muda’afan (berlipat ganda), at-Tabari
mengatakan bahwa kalimat itu adalah penambahan jumlah kredit yang disebabkan
penundaan pembayaran. Maka bagi yang berpegang pada ayat itu, hanya yang
berlipat ganda saja yang diharamkan.
2.
kalimat
‘ma
baqiya min ar-riba’ (apa yang tersisa dari riba yang belum dipungut).
Menurut Rasyid Ridha, kata riba
dalam al-Baqarah 278 ini sama artinya dengan kata riba dalam Ali Imran 130;
ayat yang tidak bersyarat harus dipahami dengan ayat yang bersyarat.
Pembicaraan riba selalu dihubungkan dengan sedekah; dalam hal ini riba dinamai zulm.
Sehingga riba yang diharamkan adalah yang berlipat ganda. Adapun untuk
penambahan yang tidak berlipat ganda, pemahamannya harus dikaitkan dengan kata
kunci berikutnya.
3.
kalimat
‘falakum
ru’usu amwalikum’ (maka bagimu pokok/modal hartamu). Menurut al-Baqarah
279, mereka yang sudah terlanjur melakukan riba harus dihentikan dengan cara
memperoleh kembali modalnya saja dan setiap penambahan atau kelebihan tidak
dapat dibenarkan.
4.
kalimat
‘la
tazlimuna wa la tuzlamun’ (kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya). Riba harus dihindari karena mengandung penganiayaan dan penindasan.
Dari keempat kata kunci yang terdapat dalam ayat
tentang riba tersebut dapat disimpulkan bahwa ukuran az-zulm berlaku bagi yang
berutang dan bagi yang berpiutang batasannya masih relatif.
Sebab-sebab diharamkannya Riba:
a.
Praktek
riba berarti mengambil harta orang lain dengan tanpa kompensasi (pengganti),
dan ini termasuk perbuatan zalim.
b.
Ketergantungan
kepada riba dapat melemahkan semangat orang untuk berusaha/bekerja keras
(bahkan malas dan meremehkan kerja). Ini akan memutus dinamika kehidupan yang
positif—dinamika perdagangan, inovasi skill, perusahaan, pembangunan, dll.
c.
Menjadi
sebab terputusnya kemaslahatan dalam interaksi sosial menyangkut praktek pinjam
meminjam; rasa saling menolong melemah, termasuk simpati dan empati terhadap
orang yang membutuhkan (berganti rasa kejam dan sadis yang tak
berperikemanusiaan), akhirnya ketika kesenjangan sosial meningkat dapat
menumbuhsuburkan kedengkian dan sakit hati, sehingga dapat terjadi permusuhan,
kecemburuan sosial, dan saling benci.
d.
Riba
adalah pemerasan terhadap orang-orang yang lemah untuk kepentingan orang kuat;
yang kaya semakin kaya[46].
Bunga Bank dan Riba
Pembahasan tentang
bunga bank, apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai
literatur fikih kontemporer. Di antara ulama yang berpendapat bahwa bunga bank
adalah riba, adalah: Wahbah az-Zuhaili (tokoh fikih
Suriah) membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminologi ulama
klasik dalam berbagai mazhab fikih[47],
yang kesimpulannya bunga bank adalah riba; Yususf al-Qaradhawi meyatakan di
antara keganjilan zaman modern adalah ketika streaptease (tari telanjang) dinamakan sebagai seni, minuman keras
disebut sebagai minuman spiritual dan riba dinamakan bunga; dan para pakar yang
mendukung dan mempelopori bank Islam seperti M. Nejatullah Shiddiqi, M. Abdul
Mannan, A.M. Saefuddin, M. Syafe’i Antonio, dll.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa bunga bank
bukanlah riba yang diharamkan dalam al-Qur’an, antara lain: Rasyid
Rida (mufassir dari Mesir) setelah menganalisis ayat-ayat tentang riba
menyimpulkan bunga bank bukan riba[48], Ahmad
Hassan (tokoh Persis) berpendapat bahwa bunga bank yang ada di
Indonesia tidak termasuk riba karena unsur penganiayaannya tidak ada.
Organisasi Islam NU, telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba
yang diharamkan, baik bunga bank itu terdapat pada bank pemerintah maupun bank
swasta; M. Quraisy Shihab, berkesimpulan bahwa illat diharamkannya riba
karena unsur ‘penganiayaan’ dan bunga bank tidak sampai seperti itu.
Angku Mudo Abdul Hamid Hakim
(tokoh pembaru dari sumatera barat) berpendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba fadal dan dibolehkan apabila dalam
keadaan darurat. Karena menurutnya, riba
fadal merupakan jalan kepada riba
an-nasi’ah. Oleh sebab itu, keharaman riba
fadal lebih bersifat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau
mendesak.
Mustafa Ahmad az-Zarqa
(guru besar hukum Islam di Universitas Amman,
Yordania) juga mengemukakan bahwa riba
fadal dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara. Artinya umat Islam
harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem bank konvensional
tersebut, dengan mendirikan bank Islam, sehingga keraguan atau sikap tidak
setuju dengan bank konvensional dapat dihilangkan[49].
Menganalisis berbagai
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perdebatan itu tidak akan pernah
selesai, sehingga jalan keluar yang paling aman adalah dengan mendirikan
Lembaga-lembaga keuangan yang non-bunga (Islami/Syari’ah), di samping
diharapkan lebih tenang bagi umat Islam untuk berinteraksi dengan dunia
perbankan, juga kenyataan menunjukkan bahwa dengan sistem bunga, resiko
terjadinya krisis moneter sangat mungkin terjadi dan perbankan konvensional
tidak cukup kuat menghadapinya, sehingga di tahun 1996-1997 ratusan bank
nasional harus dilikuidasi.
M. Abdul Mannan,
menguraikan panjang lebar tentang berbagai fakta tentang bunga bank dan riba,
antara lain:
- Riba yang terdapat pada masa pra-Islam adalah perpanjangan batas waktu dan penambahan jumlah peminjaman uang sehingga berjumlah begitu besar, sehingga pada akhirnya si peminjam harus mengembalikan dua kali lipat atau lebih dari pokok pinjaman. Dinilai dari tolok ukur etika sosio-ekonomi mana pun, tingkat suku bunga riba dinilai melampaui batas, sehingga turunlah ayat 275 dst al-Baqarah; tetapi kinidalam dunia perbankan konvensional, pembebanan bunga bukan karena penangguhan jangka waktu, tetapi telah ditetapkan sewaktu akad.
- Jika terdapat perbedaan antara riba dalam al-Qur’an dengan bunga dalam masyarakat kapitalis, hal itu hanya merupakan perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis, karena baik riba maupun bunga merupakan ekses atas modal yang dipinjam.[50]
- Perbedaan antara pinjaman produktif dan konsumtif, hanya dalam tingkatannya; jika bunga pada pinjaman konsumtif itu berbahaya, maka pinjaman produktif tentu berbahaya juga karena ia merupakan biaya produksi, dan karena itu mempengaruhi harga. Konsumenlah yang harus menanggung beban harga yang lebih tinggi itu, pekerja juga merasa dirampas hak-haknya, karena kerja keras mereka harus dihargai berbagi dengan pembayaran bunga atas modal. Karena itu dalam analisis terakhir ‘Riba dalam al-Qur’an dan bunga pada perbankan modern merupakan dua sisi dari mata uang yang sama’.
- Perekonomian yang bebas bunga yang diajarkan Islam lebih dari sekedar kompromi[51], dalam arti bahwa ia memandang manusia sebagai makhluq sosio-moral yang lengkap, tidak hanya makhluk ekonomi yang memungkinkan manusia menyempurnakan nilai spiritual maupun keduniawiannya dengan baik.
- Bunga dapat menyebabkan pengangguran, dan depresi; tanpa memberi sumbangan aktif pada produksi, golongan kapitalis tumbuh subur dan makmur melalui bunga.[52]
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, silahkan Anda
lanjutan kajian ini. Selamat belajar, semoga bermanfaat dan sukses selalu. Amin.
Salam hangat dan hormat dariku, Imroatul Azizah, M.Ag.
* Sebagai acuan mata kuliah ‘Hikmatut-Tasyri’, semester VI PAI dan
Mu’amalah STAI Sunan Giri Bojonegoro, 2006, oleh Imroatul Azizah, M.Ag.
[1] Terlepas dari berbagai definisi tersebut, hikmah hanya dapat dipahami
oleh orang-orang yang mau menggunakan akal pikiran. Hikmah disyari’atkannya
perkawinan, misalnya antara lain untuk mewujudkan ketentraman hidup dan
menjalin rasa saling mencintai dan menyayangi antara suami isteri. Lihat dalam
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. 3
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 2-3; bandingkan dengan M. Hasbi Ash
Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. 1 Edisi ke-2, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2001), p. 6-19.
[2] Kenyataan ini sealur dengan hasil penelitian Transparency
International Indonesia (TII) pada tahun 2001, yang menyimpulkan, Indonesia
berada pada peringkat keempat negara terkorup di dunia. Malah survei
yang dilakukan PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura, membuat kita
“takjub”. PERC menobatkan Indonesia
sebagai negara terkorup kedua di Asia.
Ini berarti, hasil-hasil penelitian itu dengan sahih menunjukkan bahwa Indonesia
memang dihuni para maling. Sehingga, wajar saja bila Teten Masduki—pentolan
ICW—menjuluki Indonesia
sebagai Negara Kleptokrasi (negara para maling). Atau—pinjam
bahasa Dr. B Herry Priyono—negara ini bukan democracy, tapi Chremocracy
(pemerintah para penyuap) yang berujung pada Cleptocracy. (Media Indonesia, Rabu
24 Maret 2004)
[3] Akhirnya, orang yang berpegang teguh pada ajaran suci agamanya,
akan menjadi pesakitan di tengah tradisi korupsi ini. “Yang tak turut dan larut
edan, tak kebagian”, ujar Ronggowarsito. Semuanya memang telah menjadi
edan! Itulah zaman edan sang penanda kehancuran zaman.
[4] Hal ini sejalan dengan pendapat para pakar stress yang menganjurkan
orang agar memeluk agama,menghayati serta mengamalkannya agar memperoleh
ketenangan darinya, dan setiap hari harus meluangkan waktu untuk ‘menenangkan
diri’.
[5] Waktu untuk sekali shalat sekitar 5-10 menit, atau rata-rata 8
menit, sehingga sehari semalam 40 menit. Dalam sehari ada 1.440 yang sebagian
besarnya dihabiskan untuk urusan dunia, sementara untuk Allah 40 menit saja
tidak sempat. Begitukah manusia ‘berterima kasih’ kepada Tuhannya?
[6] Manakala pengendalian pada diri seseorang terganggu, maka akan
timbul berbagai reaksi patologik (kelaianan) baik dalam alam pikir, alam
perasaan dan perilaku. Reaksi patologik yang ditimbulkan tidak saja menimbulkan
keluhan subyektif pada dirinya, tetapi juga dapat mengganggu lingkungannya dan
juga orang lain. Contoh, orang yang tidak dapat mengendalikan makan-minum,
dapat mengalami obesity dan berbagai komplikasi penyakit. Banyak penyakit
metabolism (pertukaran zat) sebagai akibat kelebihan makanan, apalagi kalau
makanan
tersebut
tidak baik dan tidak halal. Orang yang tidak mampu mengendalikan seksnya, akan
berperilaku seksual yang menyimpang, pergaulan bebas (promiscuity), bahkan
sampai kepada perkosaan. Akibat yang ditimbulkan juga bermacam-macam; krisis
rumah tangga, penyebaran penyakit kelamin sampai tindak pidana. Ketidakmampuan
mengendalikan diri dalam mengejar materi akan menjadikannya tamak dan loba dan
gelap mata. Untuk mengejar jabatan dan kedudukan serta menuruti ambisi pribadi
dan keluarganya, orang menjadi ambisius. Segala cara akan diambil, sehingga
merugikan orang lain.
[7] Fobia adalah rasa takut yang tidak rasional dan tidak realistis.
Yang bersangkutan tahu dan sadar benar akan hal itu, namun ia tidak mampu
mencegah dan mengendalikan diri dari rasa takutnya itu. Obsesi adalah corak
pikiran yang sifatnya terpaku (persistent) dan berulangkali muncul (recurrent).
Yang bersangkutan tahu benar akan kelainan pikirannya itu, namun ia tidak mampu
mengalihkan pikirannya pada hal lain, dan tidak mampu mencegah munculnya
pikiran itu yang selalu timbul berulang-ulang. Adapun kompulsi adalah suatu
pola tindakan atau perbuatan yang diulang-ulang. Yang bersangkutan tahu benar
bahwa perbuatan mengulang-ulang itu tidak benar dan tidak rasional, namun yang
bersangkutan tidak mampu mencegah perbuatannya sendiri. Contoh sederhana dari
ketiga hal tersebut adalah orang yang selalu mencuci tangannya berulang-ulang.
[8] Untuk mencapai tujuannya, ia menghalalkan segala cara. Secara
kesehatan jiwa orang tersebut sudah sakit, dengan analisa sebagai berikut;
Fobia padanya adalah rasa takut miskin, takut tidak dihargai orang, takut susah
dan tidak bahagia. Rasa takut ini hanya bisa diatasi dengan kekayaan,
jabatan/kedudukan dan kesenangan hidup lainnya. Ketakutan ini menyebabkan diri
merasa miskin, kurang terus dan tidak bisa bersyukur. Ia sebenarnya tahu bahwa
ia sudah amat kaya, tapi tidak bisa mencegah dan mengendalikan diri dari rasa
takut miskin itu. Obsesinya adalah keterpakuan pikirannya pada harta dan
jabatan. Fiksasi pikiran ini berulangkali muncul sehingga mengganggu pikiran
dan perasaannya. Ia dihantui pikiran bahwa dirinya miskin dan jabatnnya itu
belum apa-apa dan belum bisa menikmati kesenangan hidup, sehingga ini
membuatnya ambisius. Ia menduga dan yakin bahwa kesejahteraan dan kesenangan hidup
ini hanya dapat dijamin dengan harta dan jabatan.
[9] Pengalaman di Negara-negara maju menunjukkan bahwa semakin modern
dan industrial suatu masyarakat, maka penyalahgunaan NAZA semakin cenderung
meningkat.
[10] Yang dimaksud dengan zat psikotropika adalah: 1. Golongan
psikodesleptika, yaitu Asam
Lisergik, dietilamida/LSD, meskalina, psilosibina dan zat lain yang khasiatnya
serupa; 2. Golongan stimulansia,
yaitu amphetamine dan turunannya dan zat lain yang khasiatnya serupa; 3.
Golongan hipnotika, yaitu barbiturate
dan persenyawaannya serta zat lain yang khasiatnya serupa; dan 4. golongan ansiolitika dan zat lain yang
khasiatnya serupa. Dadang Hawari, Ilmu
Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1996), p.128-129.
[11] Menurut Hawari, berdasarkan penelitiannya (1990), mekanisme
terjadinya penyalahgunaan NAZA karena interaksi antara
faktor-faktor predisposisi (kepribadian;
anti sosial/psikopatik, kondisi kejiwaan; kecemasan dan depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga), dan
faktor pencetus (pengaruh teman
kelompok sebaya dan zatnya itu sendiri-ada dan mudah didapatkan di pasaran).
[12] Intervensi agama juga harus diberikan sesudah seorang penderita penyalahgunaan NAZA selesai menjalani detoksifikasi, memasuki tahapan psikoterapi dan selanjutnya pada
tahapan rehabilitasi. Selain
berbagai bentuk terapi non-medik, maka selama perawatan bila mereka diberikan
kegiatan-kegiatan keagamaan, hasilnya akan lebih baik daripada hanya terapi
medik-psikiatrik saja. Begitu pun jika hanya terapi keagamaan saja. Jadi harus
dipadukan.
[13] Hadis tersebut merupakan penjelasan Nabi tentang apa yang dimaksud
dengan khamr, yang keharamannya di-nas dalam firman Allah surat al-Ma`idah ayat 90-91.
[14] Untuk pembahasan tema ini dan berikutnya, kami ambil dari M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
cet. XI (Bandung:
Mizan, 2000)
[15] Semua petunjuk al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berbicara tentang
interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah.
Perhatikan misalnya larangan melakukan transaksi yang bersifat batil (QS 2:
188), larangan riba (QS 2: 275), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 278),
larangan mengurangi dan melebihkan timbangan (QS 83: 1-3). Dan lain-lain.
[16] Tuan rumah mempersilahkan masing-masing tamunya memilih minuman
yang tersedia di atas meja dan mengisi gelasnya—penuh atau setengah—sesuai
dengan selera dan kehendaknya masing-masing (selama yang dipilih itu berasal
dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi
pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi, jangan mempersalahkan seseorang
yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan anda pun tidak wajar dipersalahkan jika
memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
[17] Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri
saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak,
seperti menyapih anak. Pada ayat ini, al-Qur’an memberi petunjuk agar persoalan
itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara
keduanya.
[18] Ayat ini turun sebagai pujian kepada kaum Anshar yang bersedia
membela Nabi dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka
laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari.
[19] William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan “Akal
memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan satu argumen dengan argumen lain.
Akibatnya ia dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika
dan nilai-nilai hidup kita”.
[20] Ini karena syura` dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang mempunyai
sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi/golongan, dan
dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama. Jadi walau minoritas, itu
artinya ada yang kurang berkenan di hati, sehingga perlu dibicarakan lanjut
untuk mufakat, untuk mencapai madu atau yang terbaik. Inilah perbedaan syura`
dan demokrasi secara umum. Idealnya mufakat, tetapi jika buntu dan harus
mengambil mayoritas, maka artinya kedua pendapat bagus tetapi yang satu jauh
lebih baik. Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan: apabila terdapat dua pilihan yang
sama-sama baik, pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya dan jika keduanya
buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.
[21] Pembahasan berikut kami rujuk ke Nina M. Armando…(et al. [Editor
Bahasa] ), Ensiklopedi Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), V; dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, cet.1
(Jakarta:
Lentera Hati, 2000).
[22] Mawaddah, maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan; artinya kelapangan dada dan kekosongan
jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Dalam cinta, sekali hatinya
kesal maka cinta akan pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati
mawaddah tidak lagi akan memutuskan hubungan, sebab hatinya begitu lapang dan
kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk
dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin dating dari pasangannya).
Inilah komentar mufassir Ibrahim al-Biqa’i (1480 M) ketika
menafsirkan ayat ini; Rahmah adalah kondisi psikologis
yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga
mendorong orang yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam
kehidupan keluarga, masing-masing suami-isteri akan bersungguh-sungguh bahkan
bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala
yang mengganggu dan mengeruhkannya. Karena bagaimana pun hebatnya seseorang, ia
pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga
unsur kekuatannya. Oleh karena itu Allah berfirman
,
suami-isteri saling membutuhkan juga harus dapat berfungsi ‘menutup kekurangan
pasangannya’, sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya.
Pernikahan adalah amanah, sabda Rasul , kalian menerima istri
berdasar amanah Allah. Amanah adalah sesuatu yang
diserahkan kepada pihak lain disertai rasa aman dari pemberinya karena
kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik,
serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu. Kesediaan istri
untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang tua dan keluarga
yang membesarkannya, dan ‘mengganti’semua itu demgan penuh kerelaan untuk hidup
bersama lelaki ‘asing’ yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka segala
rahasianya, merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin
bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan bersama
ibu-bapaknya, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari
pembelaan saudara-saudara kandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri
kepada suaminya dan itulah yang dinamai al-Qur’an Mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh),
(QS an-Nisa [4]: 21.
[23] Poligami sejak dulu sampai sekarang telah ada dan masih ada. Ini
untuk mengcounter klaim yang menuding Islam sebagai biang keladi sistem
poligami, karena sebelum Islam datang dan sampai sekarang poligami tersebar
diberbagai bangsa yang tidak beragama Islam. Poligami justru terjadi pada
masyarakat yang telah maju kebudayaannya dan yang sedang mengalami transisi
kebudayaannya (bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup berburu yang primitip
dan menapak kepada zaman beternak dan menggembala dan bangsa yang meninggalkan
cara memetik buah-buahan kepada zaman bercocok tanam). Hal ini diakui oleh para
sarjana sosiologi dan kebudayaan, seperti: Westermark, Hobbes, Heler, dan Jean Bourge.
Sebenarnya Agama Kristen tidaklah melarang poligami, sebab di dalam Injil tidak
ada satu ayat pun dengan tegas melarang hal ini. Jika para pemeluk Kristen
bangsa Eropa pertama dulu tidak berpoligami, ini tidak lain karena sebagian
besar bangsa Eropa penyembah berhala yang didatangi oleh agama Kristen pertama
kalinya adalah terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang lebih dulu melarang
poligami dan setelah memeluk Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka
ini tetap dipertahankan. Jadi bukan murni ajaran gereja, tapi warisan
paganisme. Kemudian gereja mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan
poligami dan larangan ini termasuk dalam aturan agama.
[24] Ayat ini
berkaitan dengan ayat sebelumnya; setelah melarang mengambil dan memanfaatkan
harta anak yatim secara aniaya, kini yang dilarang-Nya adalah berlaku aniaya terhadap
pribadi anak yatim itu. Ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim yang berada
dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali
dan sang wali senang akan kecantikan dan harta sang yatim, maka ia hendak
mengawininya tanpa memberinya mahar yang sesuai.
[25] Adalah wajar bagi suatu perundang-undangan, apalagi agama yang
bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk
mempersiapkan ketetapah hukum yang boleh jadi terjadi pada suatu ketika,
walaupun kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah kenyataan
menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih sedikit dari
jumlah wanita atau betinanya?; rata-rata usia wanita lebih panjang daripada
laki-laki, sedang potensi membuahi lelaki lebih lama dari potensi wanita, bukan
saja karena wanita mengalami masa haid, tetapi juga karena wanita mengalami
manopouse sedang pria tidak mengalami keduanya; dalam peperangan lebih banyak
merenggut nyawa laki-laki; kemandulan atau penyakit parah bukan satu hal yang
aneh dan dapat terjadi di mana-mana. Jalan keluar apa yang dapat diusulkan
kepada suami yang menghadapi kasus demikian? Bagaimanakah ia harus menyalurkan
kebutuhan biologisnya atau memperoleh keturunan? Inilah kondisi darurat yang
menempatkan poligami menjadi solusinya.
[26] Bukan anjuran karena perintah ayat ini dimulai dengan bilangan dua,
tiga, atau empat, baru kemudian kalau khawatir berlaku tidak adil, maka
nikahilah seorang saja dengan alasan yang telah dikemukakan di atas, baik dari
makna redaksi ayat, maupun dari segi kenyataan sosiologis di mana perbandingan
perempuan dan laki-laki tidak mencapai dua banding satu, apalagi empat banding
satu .
[27] Bukankah Rasul antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak
boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur? Bukankah
ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan misinya?
[28] Uraian lengkap tentang riwayat dan istri-istri Nabi, baca Tafsir
al-Mishbah jilid II: 326-327.
[29] Hukum Islam sangat keras diberlakukan terhadap pelaku zina karena
persoalan memelihara keturunan merupakan salah satu dari lima hal tujuan syara’ yang harus mendapat
prioritas (yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta). Hukuman
bagi pezina, dibedakan sesuai siapa pelakunya, yaitu pezina muhsan, pezina
ghairu muhsan, dan pezina yang berstatus hamba sahaya. Dikatakan pezina muhsan
jika ia melakukan zina setelah melakukan hubungan seksual secara halal
(bersuami/beristeri atau janda/duda), hukumannya dirajam (dilempari batu sampai
mati); pezina ghairu muhsan adalah orang yang melakukan zina tetapi belum
pernah melakukan hubungan seksual secara halal sebelumnya, hukumannya dicambuk
100 kali dan diasingkan ke luar kampungnya; sedangkan bagi budak hukumannya 50
kali cambukan, atau yang belum muhsan cukup dita’zir (ditentukan oleh hakim).
[30] Mendahulukan penyebutan kata ‘az-zaniyah’/perempuan pezina atas ‘az-zani’,
bukan saja disebabkan karena bukti perzinahan dapat tampak dengan jelas pada
wanita akibat kehamilannya atau dampak negatif akibat zina lebih banyak
ditanggung wanita ketimbang lelaki, tetapi juga—dan lebih-lebih—karena walaupun
keduanya bersalah dan menjadi penyebab terjadinya perzinahan, karena maksiyat
itu tidak akan terlaksana kecuali keterlibatan dan kerelaan dua belah pihak,
tetapi agaknya kesalahan wanita berganda. Ini karena zina biasanya terjadi di
tempat yang tersembunyi, ngapain seorang gadis (perempuan) pergi sendiri tanpa
mahram (ini ketentuan Islam)—ini kesalahan pertama, dan yang kedua perzinahan
itu sendiri. Lihat Tafsir al-Mishbah, IX: 281-282.
[31] Masing-masing poin dari konsekuensi pezina masih debatable;
larangan bagi mukmin mengawaini pezina berdasarkan an-Nur (24) ayat 3,
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. Silahkan lihat uraian lengkapnya
dalam Ensiklopedi Islam, Vol: VII.
[32]Dalam perzinahan ada pembunuhan akibat tidak jelasnya siapa ayah
seorang anak, sebagaimana ia menjadi sebab adanya sesuatu yang batil sedang
pembunuhan adalah menghilangkan sesuatu yang hak. Sayyid Quthub menulis
bahwa dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam beberapa segi: 1. penempatan
sebab kehidupan (sperma) bukan pada tempatnya yang sah, sehingga ingin aborsi.
Kalaupun lahir hidup, biasanya dibiarkan begitu saja tanpa ada yang memelihara
dan mendidik (ini salah satu bentuk pembunuhan). 2. pembunuhan terhadap
masyarakat (yang merajalela perzinahan), karena menjadi tidak jelas dan
bercampur baur keturunan seseorang serta menjadi hilang kepercayaan menyangkut
kehormatan dan anak, sehingga hubungan antar masyarakat melemah yang akhirnya
mengantar kepada kematian umat, dan 3. zina juga membunuh masyarakat dari segi
kemudahan melampiaskan nafsu sehingga kehidupan rumah tangga menjadi sangat
rapuh, padahal ia merupakan wadah yang terbaik untuk mendidik dan mempersiapkan
generasi muda memikul tanggung jawabnya.
[33] Komitmen agama pada kesehatan terbukti. Agama dapat melindungi,
mencegah dari penyakit, mempertinggi kemampuan untuk menahan derita sakit dan
mempercepat proses penyembuhan (di samping obat dan tindakan medis lainnya).
Dalam menangani kasus AIDS diperlukan pendekatan BIOPSIKOSOSIOSPIRITUAL,
artinya melihat pasien tidak semata-mata dari segi organobiologik,
psikologik/kejiwaan, psikososial, tetapi juga aspek spiritual/kerohanian.
Pasien tidaklah dipandang sebagai individu seorang diri melainkan sebagai
seorang anggota dari sebuah keluarga, masyarakat, serta lingkungan sosialnya,
juga orang yang dalam keadaan tidak berdaya memerlukan pemenuhan kebutuhan
spiritual. Diperlukan perlakuan koordinatif dalam merawat dan terapinya, tidak
hanya pada penderita tapi juga keluarga dan masyarakat sekitarnya.
[34] Salah satu ciri masyarakat modern dan industri adalah adanya
ketidakpastian fundamental di bidang nilai, moral, dan etika kehidupan. Dalam
realita, proses modernisasi dan industrialisasi bila tidak dilandasi agama
telah membawa harga diri serta martabat manusia menurun, bahkan tidak lebih
sekedar ‘materi’. Suatu proses ‘dehumanisasi’ yang dibuat manusia itu sendiri.
[35] ABC: A; Abstinentia Sexual: puasa seks/pantang seks (safe sex is no
sex), B; Be faithful: setia pada pasangan—suami/istri saja—tidak
menyeleweng (mutually faithful monogamy), C; bagi yang bandel dan nakal pakailah condom. Jika tertular itu artinya
mengundang kematian sendiri dan jika menulari orang lain = membunuh.
[36] Mengapa kotor atau perlu dihindari, sedang Allah sendiri yang
memerintahkannya secara tersirat melalui law of sex, bahkan secara tersurat
antara lain dalam surat
al-Baqarah ayat 187: “ Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang ditetapkan Allah
untukmu”.
[37] Dalam pengamatan sejumlah ulama al-Qur’an, ayat-ayat yang memakai
kata ‘jangan
mendekati’ seperti ayat tentang zina ini, biasanya merupakan larangan
mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa/nafsu untuk melakukannya; larangan
mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu
yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya. Hubungan seks seperti
perzinahan, maupun ketika istri sedang haid, demikian pula perolehan harta
secara batil, memiliki rangsangan yang sangat kuat, karena itu al-Qur’an
melarang mendekatinya. Memang yang berada di sekeliling jurang, dikhawatirkan
terjerumus ke dalamnya. Adapun pelanggaran yang tidak memiliki rangsangan yang
kuat, maka biasanya larangan langsung tertuju kepada perbuatan tersebut, bukan
larangan mendekatinya. Baca uraian lengkapnya dalam Tafsir al-Mishbah, VII:
456-457. Dalam kaidah fiqhiyah juga ada kaidah: , setiap sesuatu
yang mendatangkan hal yang haram adalah haram.
[38] Allah yang maha Esa telah menciptakan manusia bahkan semua makhluk
normal hanya terdorong kepada lawan seksnya, dalam rangka memelihara kelanjutan
jenis mereka. Kenikmatan yang diperoleh dari hubungan tersebut bersumber dari
lubuk hati masing-masing pasangan bukan hanya kenikmatan jasmani tetapi juga
kenikmatan ruhani. Dan gabungan kenikmatan dua sisi itulah yang menjadi jaminan
sekaligus dorongan bagi masing-masing untuk memelihara jenis dan sebagai
imbalan kewajiban dan tanggung jawab memelihara anak keturunan. Mereka yang
homo atau lesbi, hanya mengaharapkan kenikmatan jasmani yang menjijikkan sambil
melepaskan tanggung jawabnya. Ini belum lagi dampak negatif terhadap kesehatan
jasmani dan ruhani yang diakibatkannya. Oleh karena itu mereka yang homoseks
ataupun lesbian sebenarnya mereka sakit jiwanya, karena salah satu ciri jiwa
yang sehat adalah mampu mengendalikan diri dan bertanggung jawab.
[39] Dalam surat
asy-Syura` (42): 11, dijelaskan binatang ternak pun berpasangan untuk
berkembang biak. Manusia pun demikian, tetapi untuk binatang tidak disebutkan
kalimat mawaddah dan rahmah,
sebagaimana dalam ar-Rum tentang pernikahan manusia. Hal ini karena manusia
diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu sebagai khalifah. Cinta
kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami-istri
adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia yang malaikat pun berkeinginan
untuk mengemban tugas itu, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada
manusia.
[40] M.Quraish Shihab, setelah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan
dengan riba, asbab an-nuzul-nya, dan
pendapat berbagai mufassir, menyimpulkan bahwa ilat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya, sebagaimana yang
terdapat di akhir ayat 279 al-Baqarah. Oleh karena itu yang diharamkan adalah
kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan
dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang. Kesimpulannya
ini didukung oleh praktek Nabi SAW yang membayar utangnya dengan penambahan
atau nilai lebih. Lihat keterangan lengkapnya dalam Ensiklopedi Islam, VI:
58-59.
[41] Riba dalam syari’at Islam ada dua macam, yaitu riba an-nasi’ah dan riba
fadal. Riba an-nasi’ah adalah transaksi yang dilakukan oleh orang Arab
jahiliyyah; kedua orang yang bertransaksi telah memahami kewajiban dan hak
masing-masing. Adapun Riba fadal ialah pertukaran barang
dengan barang sejenis dengan ketentuan terdapat kelebihan pada salah satu
barang tersebut. Misalnya, 1 kg beras jenis A ditukar dengan 2 kg beras B.
[42] Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena
substansi keduanya sungguh berbeda. Jual beli adalah transaksi yang
menguntungkan kedua belah pihak, dan keuntungan yang diperoleh karena kerja
sehingga menuntut aktifitas manusia; mengandung kemungkinan untung dan rugi,
tergantung kepada kepandaian mengelola, kondisi dan situasi pasar pun ikut
menentukan, sedangkan riba: merugikan salah satu pihak;
yang menghasilkan keuntungan adalah uang bukan kerja, sehingga tidak
membutuhkan aktifitas manusia, riba menjamin keuntungan bagi kreditor dan tidak
mengandung kerugian; riba tidak membutuhkan kepandaian, dan kondisi pasar pun
tidak terlalu menentukan.
[43] Yamhaq: memusnahkan; mengurangi sedikit demi sedikit hingga
habis. Penganiayaan yang timbul karena praktek riba menimbulkan kedengkian di
kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi
sedikit bertambah dan bertambah, sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana
yang membinasakan. Selanjutnya, lawan riba dalah sedekah. Jangan menduga
penyuburan, penambahan, dan pengembangan itu hanya dari sisi spriritual atau
kejiwaan (ketenangan batin dan ketentraman hidup yang diraih pemberi dan
penerima) yang lahir dari sedekah. Karena secara material, sedekah
mengembangkan dan menambah harta; orang
yang bersedekah dengan tulus, akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu,
dan ini pada gilirannya melahirkan ketenangan dan ketentraman jiwa yang dapat
mendorongnya untuk lebih berkonsentrasi dalam usahanya. Di sisi lain, penerima
sedekah dan infaq, dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong
terciptanya daya beli dan penambahan produksi.
[44] Tinggalkan sisa riba, yakni yang belum dipungut. Al-Abbas, paman Nabi, bersama seorang
keluarga Bani Mughirah, bekerjasama mengutangi orang-orang dari kabilah Tsaqif
secara riba. Setelah turunnya larangan riba, mereka masih memiliki sisa harta
yang belum mereka tarik, maka ayat ini melarang mereka mengambil sisa riba yang
belum mereka pungut dan membolehkan mereka mengambil modal saja. Dengan
demikian kamu tidak menganiaya mereka dengan membebaninya pembayaran
hutang yang melebihi apa yang mereka terima, dan tidak pula dianiaya oleh
mereka karena mereka harus membayar penuh sebesar hutangnya. Tetapi harta kan mengalami penyusutan nilai? Jangan
berkata demikian jika Anda percaya bahwa harta mempunyai fungsi sosial dan jika
Anda percaya bahwa kelak di hari kemudian akan meperoleh pahala yang lebih
besar.
[45] Tangguhkan penagihan sampai yang berhutang lapang. Jangan menagih
dulu kalau sedang sempit, apalagi memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat
mereka butuhkan. Yang menangguhkan itu, pinjamannya dinilai sebagai qard
al-hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia menangguhkan dan
menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya
ganjaran sehingga berlipat ganda ganjaran itu. Dalam al-Hadid (57): 11.
Ia
melipatgandakan, karena ketika itu yang meminjamkan mengharap pinjamannya
kembali, tetapi tertunda, dan diterimanya penundaan itu dengan sabar dan lapang
dada. Ini berbeda dengan sedekah, yang sejak semula yang bersangkutan tidak
lagi mengharapkannya.
[46] Lihat uraian lengkapnya dalam Yususf al-Qaradhawi, al-Halal
wal-haram, p. 372-373; Ahmad
Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, III: 101-102.
[47] menurut Wahbah az-Zuhaili, apabila standard riba yang digunakan
adalah pandangan ulama mazhab fikih klasik, maka bunga bank termasuk Riba
nasi’ah. Karena bunga bank tersebut termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari
pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu.
[48] Alasannya, jika seseorang memberikan kepada orang lain harta/uang
untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu (persentase) baginya dari
hasil usaha tersebut. Karena transaksi ini menguntungkan kedua belah pihak,
sedangkan riba yang diharamkan, merugikan salah seorang tanpa sebab, kecuali
keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui
penganiayaan dan ketamakan. Pendapatnya ini yang menjadi pegangan orang yang
membedakan antara kredit untuk investasi dan kredit konsumtif; jika untuk
konsumtif, bunga bank haram, sedangkan untuk investasi boleh.
[49] Pendapat ini yang diamanatkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dan
Lajnah Bahsul Masa’il NU, karena dari dua lembaga ini, tidak secara tegas
halal-haramnya bunga bank (mutasyabihat), dan mendesak untuk
merealisasikan lembaga keuangan Syari’ah. Dalam menyikapi perbedaan pendapat,
hendaklah direnungkan sebuah Hadis:
“Tidak (pernah) berkumpul yang halal dengan yang haram, kecuali yang
lebih dominan adalah yang haram. (HR. al-Baihaqi), dan kaidah yang menyatakan
‘keluar dari perbedaan pendapat adalah lebih utama.
[50] Memang benar, riba dianggap tidak canggih dibandingkan dengan
bunga. Tetapi menyebut riba dengan nama bunga, adalah tidak mengubah sifatnya.
Kenyataan mengenai hal ini adalah bahwa istilah ekses harus diambil dalam
arti relatif, karena apa yang merupakan ekses layak hari ini, mungkin dianggap
suku bunga luar biasa tingginya atau bersifat Riba pada hari esok. Banyak
perkumpulan koperasi Indo-Pakistan yang mengenakan bunga 12-15 persen (waktu
itu dianggap layak), namun kini bunga sebesar itu dianggap terlalu tinggi. Karena itu, larangan terhadap riba berarti
dilarangnya semua jenis ekses atas modal yang dipinjam, entah itu disebut bunga
yang terlampau tinggi, bunga atau penghasilan modal. Karena sesungguhnya
modal yang ditanamkan dalam perdagangan mungkin membawa keuntungan yang tidak
tetap dan mungkin rugi, namun bunga akan tetap dan tidak mengandung kerugian
apapun. Pendapat Mannan ini dikemukakan ketika mengomentari pernyataan para
bankir menjawab mengapa bunga bank dibayarkan, konsensus pendapat mereka
menganggap bahwa bunga merupakan tambahan tetap bagi modal; biaya yang layak
bagi digunakannya uang dalam suatu proses produksi. Sedangkan riba mengacu pada
bunga uang yang terlalu tinggi pada pinjaman tidak produktif (padahal dalam
sejarahnya, pra-Islam, orang Yahudi Madinah meminjamkan uang tidak hanya untuk
konsumsi, tetapi juga untuk perdagangan). Lihat keterangan lengkap dalam M.
Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice, Terj. M. Nastangin
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), p.118-121.
[51] Dengan
mempertahankan rangsangan bekerja melalui motif keuntungan, perekonomian Islam
yang bebas bunga, di satu pihak, akan menjamin adanya produksi yang maksimum,
sehingga memelihara salah satu ciri penting sistem kapitalis. Dengan melarang
bunga atas modal dan tidak diperkenankannya pertumbuhan kelas kapitalis dalam
perekonomian, di lain pihak akan menjamin adanya distribusi pendapatan nasional
yang adil yang dikehendaki oleh sistem sosialis.
[52] Ia tidak hanya mengorbankan faktor produksi lain tetapi juga
mengorbankan para konsumen miskin. Bunga merupakan suatu sarana pendapatan
tanpa kerja yang mencolok. Hal ini dibenci oleh pekerja yang menganggap bahwa dengan
demikian sebagian dari hasil pekerjaannya dirampas, para konsumen pun dihisap,
karena bunga masuk sebagai biaya produksi, oleh karena itu akan memperlambat
pulihnya keadaan jika depresi menyerang perniagaan, perdagangan, dan industri.
Harga tidak dapat dinaikkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas; biaya untuk
menjalankan usaha naik dan mengurangi keuntungan; cadangan bank turun dan
menjadi sulit untuk mendapatkan laba tambahan. Bila laba berangsur hilang
ditambah bunga yang tinggi, maka para kreditor menjadi gelisah, sehingga
permintaan untuk likuidasi menjadi pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar