Cari Blog Ini

Jumat, 13 Januari 2012

Hikmatut Tasyri’*


A. Definisi
            Definisi ‘hikmah’ menurut ahli filsafat adalah seperti yang didefinisikan oleh Ibnu Sina dalam ‘Risalah at-Tabi’iyyah’:


“Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.”
            Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan mempunyai tiga unsur utama, yakni: 1). masalah, 2). fakta dan data, dan 3). analisis ilmuwan sesuai dengan teori. Hikmah dipahami pula sebagai “paham yang mendalam tentang agama”. Hikmah dalam berdakwah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam surat an-Nahl (16): 125, berarti keterangan (burhan) yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan definisi yang diberikan al-Manar yaitu ilmu yang shahih yang akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena padanya terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia persoalan.
            Sedangkan para fuqaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi ‘asrar al-ahkam’ (rahasia-rahasia hukum). Karenanya, kebanyakan kita sekarang apabila disebutkan falsafah hukum Islam langsung terbayang hikmah shalat, hikmah puasa, dan sebagainya (tidak terbayang sedikit pun bahwa usulul-ahkam dan qawa’id al-ahkam adalah falsafah yang murni Islam yang dihasilkan oleh daya pikir para filosof hukum/ mujtahid). Para fuqaha mendefinisikan hikmah dengan:

“illat-illat (hikmah-hikmah) yang ditetapkan akal yang berpadanan/ yang sesuai dengan hukum”[1]
            Adapun kata ‘Tasyri’ adalah lafal yang diambil dari kata “Syari’ah”, yang di antara maknanya adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan buat hamba-Nya untuk diikuti dengan penuh keimanan, baik yang berkaitan dengan perbuatan, aqidah, maupun dengan akhlaq. Sehingga “tasyri’” berarti menciptakan undang-undang dan membuat kaidah-kaidahnya, baik undang-undang itu datang dari agama (tasyri’ samawi) maupun dari perbuatan dan pikiran manusia (tasyri’ wadh’i).
            Dengan demikian “Hikmah at-Tasyri’” adalah hikmah diciptakan, dibuat, dan ditetapkannya hukum Islam.

B. Materi Pembahasan

1. Membangun Budaya dan Norma Anti Korupsi: Mulai dari mana?

Perspektif sosiologis melihat masalah ini dengan konsep kekuasaan feodal yang nyata hidup di tengah masyarakat. Dalam kasus feodal memang tidak ada ‘korupsi’, karena kekuasaan dipercaya datang dari langit dan merupakan hak istimewa bagi seseorang. Maka, seorang penguasa feodal merasa memiliki hak mutlak untuk menggunakan kekuasaannya, termasuk mengeruk segala sumber yang berada di tengah wewenangnya. Dengan demikian seorang penguasa feodal mulai dari tinggat RT sampai Istana Negara tidak merasa telah melakukan tindakan korupsi, meskipun dalam kenyataannya mereka telah menilep uang rakyat begitu banyak. Maka, sepanjang kekuasaan feodal masih hadir di tanah air ini, boleh dibilang mustahil korupsi bisa ditiadakan.
            Korupsi baru dianggap sebagai kejahatan dalam tatanan nilai demokratis di mana kekuasaan dijalankan sebagai amanat yang diberikan oleh rakyat. Dalam tatanan ini penguasa mendapat kontrol yang efektif, baik melalui sarana hukum maupun norma sosial, sehingga penggunaan kekuasaan yang tidak sah dalam bentuk apapun bisa diminimalisasi. Sayangnya, kondisi demokratis seperti diharapkan ini, entah kapan datang. Yang terjadi, para pemegang kekuasaaan, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif, militer, maupun polisi bersama-sama mengumbar kekuasaan dan salah satu eksesnya adalah korupsi kian merajalela[2]. Dan kondisi yang sudah berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan ini menyebabkan munculnya kesadaran yang salah di tengah masyarakat, bahwa korupsi adalah hal biasa dan lumrah. Atau lebih jauh lagi dengan munculnya kepercayaan bahwa korupsi sudah menjadi kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga tidak mungkin (atau tidak perlu?) dihilangkan dari kehidupan bangsa ini.

Agama telah Mandul?
            Ketika Pancasila dan segala bentuk peraturan resmi telah terbukti tidak mampu membentuk dan mengembangkan norma serta budaya antikorupsi, maka pertanyaan akan dialihkan ke arah agama. Apakah Agama (terutama yang penganutnya mayoritas, Islam) telah mandul? Mengapa korupsi terus berbiak makin ganas, meskipun masjid-masjid terus dibangun, ratusan ribu jamaah haji tiap tahun pergi ke tanah suci, dan pengajian di mana-mana ramai? Mengapa kesalehan ritual yang terus meningkat tidak dibarengi dengan tumbuhnya kesalehan sosial?
            Pertanyaan ini dapat dijawab: pertama, karena agama telah jatuh ke jurang formalisme. Kelima rukun Islam misalnya, dijalankan hanya untuk memenuhi niat, syarat dan rukunnya, sehingga menjadi amalan yang kering dan mekanis. Contohnya, perintah shalat tidak dijalankan dengan mengutamakan tujuannya, yakni mencapai kemampuan mencegah hal yang keji dan munkar. Sehingga, orang bisa rajin shalat, tapi juga rajin korupsi, dsb.
            Kedua, pengaruh budaya materialistik yang melanda seluruh dunia yang telah mengubah kehidupan bendawi dengan segala manifestasinya menjadi berhala, bahkan tuhan baru. Hanya sebagian kecil umat Islam yang selamat dari gempuran budaya kebendaan ini. Sehingga Agama, yang harus diterima atas dasar iman kepada hal-hal yang ghaib dan menomorduakan kebendaan, jadi tersisih. Atau agama hanya dilaksanakan secara resmi dan melupakan tujuan pokoknya, yaitu menyempurnakan akhlak pemeluknya, baik dalam pengertian vertikal maupun horizontal.
            Ketiga, jawaban yang lebih spesifik, dalam rukun iman disebutkan satu hal yang wajib kita yakini adalah kepastian adanya hari akhir. Kalimat “amanna billahi” amat sering digandengkan dengan “wa bil-yaumil-akhir”. Penggandengan ini pasti ada maksudnya, yakni pentingnya umat Islam menyakini adanya hari kemudian, dimana perhitungan terakhir atas semua perilakunya di dunia akan dilaksanakan. Mereka yang benar-benar percaya akan adanya pengadilan di Hari Akhir, tentu tidak akan berani melakukan korupsi, karena resikonya di akhirat sungguh berat. Di mata mereka, uang suap, uang pelicin, uang hasil mark up, segala bentuk uang hasil rekayasa, akan tampak sebagai kobaran api, sehingga mereka tak ingin menjamah apalagi memilikinya. Namun sebaliknya, bagi yang imannya terhadap Hari Akhir cuma setengah-setengah, maka segala uang haram itu akan menggoda hati, karena sudah tampak sebagai kenikmatan rumah bagus, makanan lezat, mobil mewah, perempuan cantik atau peluang pelesir ke mancanegara.

 

Problem Kesadaran Beragama

            Mircea Eliade, seorang teolog Rumania, pernah berujar; “Orang beragama adalah orang yang dapat membedakan mana yang suci dan mana yang tidak suci. Dan dia cenderung melakukan yang suci”. Pernyataan ini menunjukkan, orang yang memiliki kesadaran beragama sejati, akan cenderung menjalankan agamanya, yang memang mencerminkan kesucian. Konsekuensinya, orang yang mengaku beragama, tapi justeru mempraktikkan perilaku tidak suci, semisal korupsi, tidak layak menyandang predikat “orang beragama”. Sebab apalah artinya beragama, bila perilakunya menyimpang dari semangat ajaran agama yang didewakannya. Ini tak ubahnya perilaku fasiq atau fajir; yakni melakukan kejahatan kemanusiaan dengan berlindung di balik ajaran suci agama. Tapi itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, masyarakat yang begitu membanggakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sungguh ironis! Ini artinya, kita mempunyai dualisme karakter (dzul-wajhain); karakter orang beragama sekaligus penjahat. Nabi bersabda:


            Artinya: “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah dzul-wajhain (orang yang bermuka dua), yakni orang yang datang pada komunitas tertentu dengan muka (yang satu) dan pada komunitas yang lain dengan muka (yang lain lagi)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

            Itulah paradoks dan ironisme keberagamaan kita, yang menyiratkan kesadaran beragama kita masih dilematis, masih bermasalah, dan masih tercemari unsur-unsur tidak suci. Apalagi jika kita merunut secara sadar, siapa yang melakukan kejahatan korupsi, kita akan ternganga. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Pejabat-pejabat rolling group, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, mayoritas muslim. Padahal, korupsi yang paling dahsyat, menggelora di sana. Apa artinya? Kaum muslimlah yang (diduga) paling rakus mengeruk uang rakyat dengan cara tidak elegan dan tidak sah. Konsekuensinya, kaum muslimlah yang paling bertanggungjawab atas runtuhnya berbagai tatanan pemerintahan yang ada. Jelas ini, tamparan telak bagi Islam khususnya dan umat muslim umumnya. Karena Islam mengajarkan untuk tidak menzalimi siapapun (apalagi rakyat banyak) dengan cara apapun (kendati sekecil atom). Dan korupsi merupakan sebentuk penzaliman luar biasa dan berdampak dahsyat. Lagi-lagi kenyataan ini menyiratkan banyak kaum muslim telah melakukan “pengkhianatan” terhadap ajaran suci agamanya.
            Dalam al-Qur’an misalnya, Allah berfirman:

            Dengan memahami satu ayat ini dan mengamalkannya secara konsisten, seharusnya kita tidak terperosok dalam perilaku al-fahsya’-keji (salah satunya korupsi). Jika tetap nekad, berarti kesadaran kita terhadap ajaran yang diusung ayat ini begitu memprihatinkan. Ini baru satu ayat, belum ayat yang lainnya, apalagi terhadap Hadis.
Betapa kita telah banyak menerabas dan melabrak ajaran suci tersebut. Kita hanya bisa melanggar, bukan mengamalkannya. Itulah kita sesungguhnya.
            Kesadaran kitapun, terkait fenomena korupsi itu, baru sebatas bagaimana mempertahankan hidup. Apapun caranya, kelanggengan hidup kita harus kita jaga, kendati dengan menabrak batas agama. Kendati dengan menzalimi dan atau merampas hak orang lain. Inilah sebabnya, Nabi Saw mewanti-wanti umatnya 15 abad silam;


            Artinya: “Akan datang suatu masa, di mana orang tidak peduli dari mana ia mendapatkan sesuatu (rezeki), baik dari jalan halal ataukah haram”. (HR. Bukhari).
            Cara “tidak peduli jalan” itulah yang ditempuh para koruptor. Oleh karena itu, ungkapan “koruptor bermata kuda” sangat sahih dalam konteks ini. Mereka hanya melihat kepentingan di depannya; diri, keluarga, kroni, dll, tanpa melirik (apalagi melihat) kemaslahatan rakyat yang ada di sekitarnya. Dan saking akutnya budaya korupsi, menemukan orang yang bersih dan steril, laksana mencari jarum di padang sahara, susah dan sulit, bahkan seakan keajaiban. Ini sesuai dengan sabda Nabi Saw;

            Artinya: “Akan datang suatu masa, orang yang memegang teguh prinsip agamanya, laksana orang yang menggenggam bara api”. (HR. Tirmidzi)[3]

Memahami Korupsi dengan Bahasa Agama

            Korupsi adalah tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi diklaim sebagi kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya. Tidak ada satu ajaran agama pun yang mentolerir, apalagi membenarkan korupsi. Bila ada ajaran agama yang mentolerir, maka ajaran itu tidak layak disebut sebagai ajaran agama dan tidak pantas diklaim sebagai ajaran kesucian.
            Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan kesengsaraan. Sebab, uang negara yang seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak mencapai sasaran. Uang itu ditelan para koruptor. Ini berarti, mereka telah merampas atau merampok kesejahteraan rakyat. Itulah kejahatan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa dahsyat.
            Memang, telah banyak sanksi yang dialamatkan bagi para koruptor, tapi sepertinya tidak mempan, sehingga yang terpenting bukan pemberian sanksi itu, melainkan bagaimana mengembalikan basik kesadaran otentik beragama mereka. Sebab, perilaku korupsi itu berakar dari kesadaran beragama yang sangat payah. Hanya masalahnya, mengembalikan kesadaran beragama yang telah tercerabut itu, bukan pekerjaan mudah. Tapi toh masih ada kesempatan untuk melakukannya. Caranya dengan berpijak pada dua model penyadaran; penyadaran teologis dan penyadaran sosial.
            Pertama, penyadaran teologis. Maksudnya secara teologis, kita harus sadar bahwa segala tindak-tanduk kita dipantau oleh Allah dan akan mendapat imbalan yang setimpal. Perkuat keimanan kita terhadap Allah dan Hari Akhir. Nabi bersabda;


            Artinya: “Sesungguhnya tidak akan masuk surga, daging yang tumbuh dari hasil perbuatan haram”. (HR. ad-Darimi).
            Secara teologis, sabda Nabi itu selayaknya kita jadikan pijakan dalam mengais rezeki. Korupsi termasuk cara ‘menumbuhkan daging dengan perbuatan haram’ yang diancam siksa berat. Dengan demikian, bila kesadaran teologis ini telah dibangun, perilaku jahat yang merugikan orang lain pun dapat dihindari atau minimal direduksi.
            Kedua, penyadaran sosial. Dalam al-Qur’an dan Hadis, banyak ditemukan ajaran yang mengatur hubungan antar sesama. Misalnya, hubungan itu (dalam hal apapun) tidak boleh dibangun atas dasar saling menzalimi dan menjahati. Allah Swt berfirman;


            Artinya: “Dan janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu (dengan jalan) dosa, padahal kalian mengetahui”.
            Dalam ayat lain Allah berfirman;


            Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

            Nabi Saw juga acapkali mewanti-wanti untuk tidak menimbulkan kebahayaan dan merugikan siapapun. Sabdanya;
            Artinya: “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh menimbulkan kebahayaan (bagi orang lain).” (HR. Ibnu Majah).

            Dan sekali lagi, korupsi termasuk perbuatan memakan harta dengan jalan batil, menimbulkan kebahayaan, dan menganiaya kesejahteraan serta hak pihak lain. Karenanya, bila hubungan antarsesama (terutama hubungan penguasa dengan rakyat) dilandasi prinsip tidak saling merugikan, maka kehidupan yang bersahaja akan terbangun. Orang tidak akan berfikir untuk menzalimi orang lain. Sebab, korupsi berarti mengingkari prinsip hubungan saling menguntungkan itu dan berarti juga menerabas ajaran agama yang mengatur hubungan antarsesama. Dan terbukti, korupsi itulah penyebab runtuhnya tatanan kehidupan yang bersahaja. Ini sesuai firman Allah dalam ar-Rum; 41 yang menyatakan, ulah manusialah penyebab kehancuran dunia. Namun demikian, masih ada harapan untuk melakukan perbaikan. Harapan itu, seperti tertuang dalam ar-Ra’d; 11, sepenuhnya berada dalam genggaman kita. Semua tergantung I’tikad kita. Semoga! Marilah kita kembalikan kepada diri kita; betulkah kita haqqul-yaqin terhadap Hari Akhir? Kalau ya, mengapa kita doyan korup? Apa kita sesungguhnya masuk golongan para munafik? Semoga tidak. Wallahu A’lam.
2. Dimensi Kesehatan Jiwa dalam Rukun Iman dan Rukun Islam

Iman kepada Allah Swt


Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.
            Iman atau percaya bahwa Allah SWT itu ada, pencipta alam semesta, Tuhan yang Maha segalanya, merupakan keimanan yang besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa manusia. Karena salah satu kebutuhan utama dan mendasar manusia adalah kebutuhan akan rasa aman dan terlindung (security feeling). Rasa ini tumbuh dan dirasakan sebagai suatu kekuatan spiritual dengan mendekatkan diri pada Allah. Dengan beriman kepada-Nya, berarti; orang akan menjauhi segala larangan-Nya dan melaksanakan apa yang diperintahkan, selalu ingat kepada-Nya, merasa aman, tenang, dan terlindung, tidak takut kepada siapa pun (kecuali kepada Allah), malu berbuat sesuatu yang tidak baik/ munkar meski tiada satu orang pun yang melihatnya, karena keimanannya berubah menjadi waskat (pengawasan melekat) dalam arti yang sesungguhnya, sehingga keimanan kepada Allah kalau benar-benar dihayati dan diamalkan, akan sangat bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan rasa sejahtera (well being) akan dirasakan tidak hanya bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga dirasakan bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan.

Iman Kepada Malaikat


            Artinya: ”Ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri”.


            Artinya: “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
            Ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia; dan perilaku manusia itu merupakan manifestasi dari alam pikir dan alam perasaannya. Perilaku manusia ini dalam perjalanan hidupnya seringkali melanggar “rambu-rambu”, moral, dan etika dalam hubungannya dengan sesama manusia, yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Siapa yang dapat mengontrol dan mengawasi perbuatan baik-buruk manusia? Kalau yang dimaksud itu adalah sesama manusia, bukankah manusia juga dapat diajak kolusi? Di sinilah letak pentingnya keimanan kepada Malaikat-- makhluq Allah yang tidak dapat diajak kolusi, selalu mendampingi kita dan tidak ada istilah tidur atau lalai. Semua catatannya harus kita pertanggungjawabkan kelak di Hari Akhir.
            Nah orang yang sehat jiwanya adalah orang yang pikirannya, perasaan serta perilakunya baik, tidak melanggar hukum, norma, moral, dan etika kehidupan serta tidak merugikan orang lain. Mereka selalu berpedoman kepada amar ma’ruf nahi munkar dan berlomba-lomba dalam kebajikan dan amal saleh.

Iman Kepada Para Nabi



            Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah”.
            Allah Swt mengutus para Nabi adalah untuk memperbaiki akhlaq manusia, dan Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang teruji keteladanannya. Kepemimpinannya telah diakui oleh dunia sebagaimana dituliskan oleh Michael H. Hart (non muslim) dalam bukunya “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” dengan menempatkan Nabi sebagai tokoh nomor 1 dari 100 tokoh dalam buku tersebut.
            Para Nabi adalah panutan dan teladan masyarakatnya masing-masing di zamannya. Salah satu ajaran Nabi Muhammad adalah pengendalian diri, bahkan menurut sabdanya ‘sesungguhnya peperangan terbesar di muka bumi ini adalah peperangan melawan hawa nafsu dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan salah satu azas kesehatan jiwa, yaitu bahwa orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu mengendalikan diri (self control) terhadap segala rangsangan, baik yang timbul dari lingkungannya (dunia luar) maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia dalam).
            Agama Islam yang dibawa Nabi bukan sekedar agama ritual, tapi merupakan agama yang memberikan tuntunan bagi tatanan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,  berbangsa, dan bernegara. Pengalaman di negara-negara maju (masyarakat modern dan industri) yang terjadi adalah ketidakpastian fundamental di bidang hukum, norma, nilai, dan etika kehidupan; yang pada gilirannya banyak anggota masyarakat yang stress. Kondisi masyarakat dunia dewasa ini adalah tatanan masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian, terlebih lagi menghadapi masa depan. Maka wajar jika ada pakar yang berpendapat bahwa kepastian di masa datang adalah ketidakpastian itu sendiri. Keteladanan Nabi Muhammad merupakan jawaban terhadap kerisauan manusia terhadap serba ketidakpastian itu. “Berpeganglah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya”.

Iman Terhadap Kitab-Kitab
            Kitab-Kitab Allah (terutama al-Qur’an) merupakan buku petunjuk bagi umat
manusia agar dalam kehidupan ini serasi, selaras, dan seimbang dalam hubungannya dengan Tuhannya (vertikal), dengan sesama manusia dan lingkungan alam sekitarnya (horizontal). Dan al-Qur’an merupakan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Ibarat buku, ia merupakan edisi terakhir dan terlengkap serta tersempurna. Di samping itu, karena isinya merupakan wahyu ilahi, bukan karya manusia, tiada seorang pun yang mencampurinya dan selalu dijaga kesucian oleh Allah.
            Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram, hak-batil, baik-buruk, boleh-tidak, manfaat-mudarat, dll. Semua dimensi kehidupan manusia yang menyangkut aspek hukum, norma, nilai, dan etika kehidupan termaktub dalam kitab suci al-Qur’an; sedang petunjuk pelaksanaannya (juklak) terdapat dalam Hadis sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
            Bila para dokter selalu menbaca ‘textbook’ kedokteran guna menambah ilmunya untuk diamalkan bagi kesehatan pasien, maka sesungguhnya al-Qur’an merupakan ‘textbook’ kesehatan jiwa terlengkap dan tersempurna di dunia. Bagi mereka yang mengerti, menghayati, dan mengamalkannya akan beroleh manfaat serta kesejahteraan lahir dan batin, selamat di dunia dan akhirat.

Iman Terhadap Hari Kiamat
            Iman kepada hari akhir mempunyai makna penting bagi orang-orang yang beriman, karena pada hari itu setiap diri manusia akan menjalani proses ‘pengadilan’ Allah yang sangat adil; tidak ada istilah ‘lolos’ dari hukum bagi mereka yang memang bersalah. Pengadilan Allah tidak pandang bulu, karena Allah tidak memendang hamba-Nya dari pangkat, kekayaan, kekuasaan, serta atribut-atribut keduniawian lainnya, melainkan yang dilihat adalah hati mereka, iman dan takwa serta amal kebajikan selama hidup di dunia. Oki bagi orang yang beriman tidak perlu merasa stress apabila diperlakukan tidak adil oleh sesama manusia selama hidup di dunia, dan dengan keimanan terhadap hari akhir, seseorang harusnya dapat mengendalikan diri untuk tidak terjerumus kepada kemaksiyatan dan kemunkaran.

Iman Terhadap Takdir
            Dengan iman pada takdir, orang tidak akan mengalami frustasi dan stress. Manusia boleh dan harus berusaha, tetapi Allah SWT yang menentukan. Bagi yang beriman, kegagalan itu dipandang sebgai takdir, bahwa Allah berkehendak lain. Orang yang beriman yakin bahwa tidak semua apa yang dipandangnya baik, di mata Allah pun baik pula; begitu pula sebaliknya. Oki bagi mereka, kegagalan yang dialaminya itu dianggap sebagai musibah yang pasti ada hikmahnya. Mereka akan bersabar dan berserah diri pada Allah, mohon kekuatan lahir dan batin terhadap ‘cobaan’ yang dialaminya; disertai doa ‘Ya Allah, janganlah Engkau beri hamba beban serta cobaan yang hamba tidak mampu memikul dan mengatasinya’.



RUKUN ISLAM
Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat   
            Sebagai pertanda bahwa seseorang itu beragama Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan syarat mutlak. Apa relevansinya?
Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, amat penting untuk membedakan apakah seseorang itu beragama Islam atau bukan. Banyak orang berpendapat bahwa semua agama itu sama, demikian pula Tuhannya pun sama; sehingga orang tidak peduli terhadap agama apa yang dipeluknya, toh semua itu sama. Bahkan ada sementara orang yang beranggapan bahwa ‘aliran kepercayaan’ pun sama dengan agama. Islam tidaklah demikian halnya. Bagi muslim sejati, dirinya yakin bahwa Islam adalah agama yang terbaik, terbenar, dan tersempurna dibandingkan dengan agama-agama atau aliran kepercayaan lainnya. Islam adalah agama yang diakui dan diridhai Allah agar manusia memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Tuhan bagi pemeluk Islam adalah Allah SWT Yang Maha Esa, tidak sama pengertian dan keberadaannya dengan Tuhan dari agama atau aliran kepercayaan lainnya.
Kesaksian bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan-Nya dan Nabi terakhir, pengertian, keberadaan serta kedudukannya pun berbeda dengan Nabi-Nabi atau Rasul-Rasul dari agama atau aliran kepercayaan lain. Jadi, secara esensial Islam berbeda dengan agama atau aliran kepercayaan yang ada di dunia ini. Kesaksian dan keyakinan ini penting agar pemeluk Islam tidak ragu dan bimbang serta tidak mendua hati. Adapun dimensi kesehatan jiwa dari ucapan kedua kalimat syahadat di atas dapat merujuk uraian dalam rukun Iman.
            Meskipun demikian Islam menghargai agama atau kepercayaan orang lain serta toleran terhadap mereka, sepanjang mereka tidak mengusik atau menghujat keyakinan dan akidah Islamiyyah; Islam adalah agama perdamaian.

Mendirikan Shalat
            Bagi mereka yang dapat menjalankan shalat dengan khusyu’, artinya menghayati serta mengerti apa yang diucapkan, akan banyak memperoleh manfaat; ketenangan hati, perasaan aman dan terlindung serta berperilaku shaleh. Pada saat seseorang sedang shalat, maka seluruh alam pikiran dan perasaannya terlepas dari semua urusan dunia yang membuat dirinya stress. Sesaat jiwanya tenang, ada kedamaian dalam hatinya (peace in mind).[4] Orang Islam dengan shalat lima waktu telah menenangkan diri sehari selama lima kali, dan dengan ketenangan hati yang diperolehnya setiap hari berarti kekebalan dirinya terhadap berbagai stress kehidupan semakin meningkat.
            Banyak orang Islam yang tidak menjalankan perintah shalat dengan pelbagai
alasan; sibuk, tidak sempat, dan tidak ada waktu, serta tidak praktis karena harus shalat lima kali. Mereka sibuk mencari harta dunia, bahkan bagi mereka waktu 24 jam juga dirasakan masih kurang. Apakah mereka yang super sibuk itu bekerja terus menerus, non stop, tidak pernah ada ‘coffee break’, ‘tea break’ dan ‘lunch break’?. Ternyata mereka menyempatkan diri untuk itu semua, lalu mengapa tidak ada waktu untuk ‘pray break’, yaitu waktu istirahat untuk shalat?[5]. shalat adalah salah satu cara bersyukur atas nikmat Allah. Dari sudut pandang kesehatan jiwa, mereka tergolong orang-orang yang kurang sehat jiwanya; sebab salah satu ciri jiwa yang sehat adalah orang yang tahu berterima kasih dan bersyukur, di samping shalat merupakan pemenuhan salah satu kebutuhan dasar spiritual manusia (basic spiritual needs) yang penting bagi ketahanan spiritual/kerohanian dalam menghadapi pelbagai stress kehidupan.

Mengeluarkan Zakat
            Zakat merupakan hak kaum dhu’afa, dan manakala zakat ini tidak dikeluarkan/dibayarkan kepada yang berhak, maka kepemilikannya menjadi haram hukumnya, meskipun semula hartanya itu diperoleh secara halal. Kewajiban membayar zakat merupakan konsep Islam dalam pengentasan kemiskinan, solidaritas dan kepedulian sosial. Dengan demikian konflik psikososial berupa kesenjangan dan kecemburuan sosial dapat dicegah. Inilah dimensi kesehatan jiwa dari zakat; yaitu mereka yang sehat jiwanya adalah mereka yang mau saling tolong menolong dan menyumbangkan sebagian hartanya bagi amal kebajikan sesama manusia, khususnya mereka yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
            Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang peka terhadap sekitarnya, tidak kikir, tidak egois dan berjiwa sosial. Bukankah Nabi pernah bersabda “Belumlah seseorang itu dikatakan beriman, manakala dirinya tidur nyenyak karena kekenyangan sementara tetangganya tidak dapat tidur karena kelaparan”. Zakat, infaq dan shadaqah merupakan perwujudan dari rasa keadilan sosial dan perikemanusiaan.

Puasa dalam Bulan Ramadan
            Inti dari puasa adalah pengendalian diri (self control). Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya maupun yang datangnya dari luar.[6] Baginda Nabi bersabda:

            “Sesungguhnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi puasa itu dapat menjauhkan kamu dari perbuatan keji dan munkar”.
Hadis lainnya:

            “Sesungguhnya peperangan terbesar (di muka bumi ini) adalah peperangan melawan hawa nafsu dirinya sendiri”.
            Maka, puasa merupakan sarana dan wahana latihan mengendalikan diri itu. Di samping itu dari pelbagai penelitian ilmiah ternyata puasa meningkatkan kesehatan fisik, psikologik, sosial dan spiritual (WHO, 1984). Puasa juga meningkatkan kepekaan sosial terhadap lingkungan sebagaimana halnya dengan zakat.
            Puasa juga dapat mencegah gangguan jiwa; gangguan jiwa yang tergolong non-psikosis, yaitu jenis gangguan jiwa di mana seseorang itu masih memiliki kesadaran atau pemahaman diri (insight) yang baik, namun tidak mampu mencegahnya (jenis gangguan jiwa fobia, obsesi dan kompulsi).[7]
            Bagaimanakah gangguan jiwa tersebut yang terjadi di masyarakat, dan bagaimana puasa dapat mencegahnya? Contoh sederhana adalah orang yang mencari harta, jabatan/kedudukan dan kehidupan dunia yang tidak ada puas-puasnya. Tentu saja mencari kesenangan dunia boleh, namun hendaknya dalam upayanya itu jangan sampai ia sakit dan tidak mampu mengendalikan diri[8]. Carilah segala kebutuhan dan kesenangan hidup dunia, namun carilah dengan cara yang halal dan baik serta jangan berlebihan. Untuk itu diperlukan pengendalian diri dan ibadah puasa adalah salah satu caranya.
Menjalankan Ibadah Haji
            Haji merupakan konferensi internasional, manusia dari seluruh dunia berkumpul saling bersilaturahim, tidak ada perbedaan ras, semuanya makhluq Allah. Silaturahim merupakan dimensi kesehatan jiwa yang utama dalam hubungan antar manusia. Sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat al-Hujurat, ayat 13.
Selain berhaji, orang pun menyembelih hewan kurban. Penyembelihan hewan kurban merupakan demonstrasi internasional yang menyatakan beginilah berkurban menurut syariat Islam; hewan yang dikurbankan bukan manusia. Berkurban juga merupakan manifestasi ketakwaan seseorang, sebab yang sampai kepada Allah bukan darah atau dagingnya, melainkan ketakwaannya. Berkurban merupakan ciri jiwa yang sehat; yaitu mereka yang berjiwa patriot, berjiwa sosial, dan berperikemanusiaan, saling kasih mengasihi sesama manusia.
            Ibadah haji—pra, saat, dan pascapelaksanaannya—yang mengandung makna simbolik sangat dalam, secara spiritual pada dasarnya melukiskan bagaimana seseorang menyatakan eksistensi kehambaannya di hadapan Allah, yakni dengan melepas segala atribut duniawi yang profan, yang merupakan tindak mujahadah untuk menuju kesadaran musyahadah sehingga tercipta hubb dengan Tuhan sebagai titik orientasi.
            Dalam prosesi pelaksanaannya, ihram berarti melepas atribut dunianya, thawaf menggambarkan larut dan meleburnya manusia kehadirat Ilahi yang memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan, sa’i merupakan pengambaran usaha manusia mencari makna hidup dan kehidupan dengan berbekal kesucian, dan wuquf di Arafah adalah puncak upaya mencapai kesadaran dan perubahan tentang dirinya.
            Haji dengan demikian adalah sebuah bentuk sempurna dari adanya ke’anti-struktur’an terhadap dunia—yang digambarkan sebagai sebuah kondisi sosial yang terstratifikasi dan muncul kesadaran status yang tinggi, sehingga secara sosial mampu mengkondisikan orang yang berhaji untuk bersama tenggelam dalam kesatuan antar seluruh kaum muslim dari berbagai penjuru dunia, dari segala jenis warna kulit dan kondisi; haji bermakna sebagai ibadah yang bernuansa egalitarian dan bervisi solidaritas sosial yang tinggi (bermakna pengakuan terhadap nilai kemanusiaan yang universal). Jika makna dari simbolisasi haji demikian tinggi bagaimana transformasi sosialnya?

3. KONSEP ISLAM MEMERANGI NAZA (Narkoba, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya)

            Penyalahgunaan NAZA merupakan penyakit endemik dalam masyarakat modern[9], kronik yang berulang kali kambuh, dan belum ditemukan upaya penanggulangannya secara universal yang memuaskan, baik dari sudut prevensi, terapi, maupun rehabilitasi. Penyalahgunaan NAZA ialah pemakaian NAZA di luar indikasi medik, tanpa petunjuk/resep dokter, pemakaian sendiri secara relatif teratur atau berkala sekurang-kurangnya selama satu bulan. Pemakaian bersifat patologik, dan menimbulkan hendaya (impairment-perusakan, pemburukan, pelemahan) dalam fungsi sosial, pekerjaan dan sekolah. Sedangkan yang dimaksud ketergantungan NAZA, adalah penyalahgunaan NAZA yang disertai dengan adanya toleransi dan gejala putus NAZA (withdrawal symptom).
            Obat (drug) menurut WHO (1969) adalah setiap zat (bahan substansi) yang jika masuk ke dalam organisme hidup akan mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organisme tersebut. NAZA mempunyai efek seperti itu; khususnya dalam fungsi berfikir, perasaan, dan perilaku orang yang memakainya. Zat tersebut seringkali disalahgunakan sehingga menimbulkan ketagihan (addiction) yang pada gilirannya sampai pada ketergantungan (dependence).
            Zat atau bahan (obat) yang dapat menimbulkan adiksi dan dependensi, adalah zat yang berciri-ciri:
  1. Keinginan yang tak tertahankan terhadap zat yang dimaksud, dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya
  2. Kecenderungan untuk menambah dosis sesuai dengan toleransi tubuh
  3. Ketergantungan psikis. Apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan kecemasan, kegelisahan, depresi, dll.
  4. Ketergantungan fisik. Apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus NAZA.
Untuk masa datang berbagai NAZA yang masih dan akan disalahgunakan adalah: ganja, morfin/heroin, kokain, dan psikotropika.[10]
Permasalahan penyalahgunaan NAZA mempunyai dimensi yang luas dan komplek; medik, psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psikososial.

Aspek Medik-Psikiatrik
            Penyalahgunaan NAZA adalah suatu kondisi yang dapat dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa, sehingga pelaku tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam masyarakat, dan menunjukkan perilaku mal-adaptif. Ini karena penyalahgunaan NAZA merupakan suatu proses gangguan mental adiktif; penderita adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa (gangguan kepribadian, kecemasan dan atau depresi), sedangkan penyalahgunaan NAZA adalah perkembangan lebih lanjut, begitu pun dengan dampak sosial yang ditimbulkan.[11]


Dari sudut psikiatri penyalahgunaan NAZA dapat mengakibatkan gangguan mental organik akibat NAZA atau disebut juga sindrom otak organik yang disebabkan oleh efek langsung dari NAZA itu terhadap susunan saraf pusat/otak, sehingga dapat menyebabkan perubahan perilaku (yang cenderung negatif).
Di bidang medik, komplikasi yang ditimbulkan terdapat pada organ otak, lever, percernaan, pancreas, otot, seks dan janin, endokrin, gangguan nutrisi, metabolisme dan resiko kanker.

Aspek Psikososial
            penyalahgunaan NAZA tidak akan menjadi masalah kalau tidak berdampak besar pada tatanan sosial keluarga dan masyarakat, sampai pada tindak kriminal dan gangguan ketertiban dan keamanan. Lain halnya dengan tembakau dan kopi (walaupun secara ilmiah termasuk zat adiktif).
            Salah satu aspek psikososial yang merupakan faktor kontribusi penyalahgunaan NAZA, adalah faktor keluarga (disfungsi keluarga);keutuhan keluarga, kesibukan ortu dan hubungan antar pribadi, antar anggota keluarga. Sedangkan faktor pendorong/pencetus penyalahgunaan NAZA adalah teman sebaya (peer group), tidak hanya pada perkenalan pertama dengan NAZA, melainkan juga yang menyebabkan ketergantungan-sulit melepaskan diri dan kekambuhan (relapse).

Aspek Psikoreligius
            Clinebell (1980) menyebutkan bahwa pada setiap diri terdpat kebutuhan dasar kerohanian (basic spiritual needs). Dari penelitiannya ditemukan bahwa kebutuhan ini tidak terpenuhi, sehingga mereka mencarinya dengan jalan menyalahgunakan NAZA. Larson dkk (1990) menemukan bahwa remaja yang komitmen agamanya kurang/lemah, mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk menyalahgunakan NAZA dibanding dengan mereka yang kuat. Begitu juga dengan peneliti Dadang Hawari (1990) dan Juwana (1994), menemukan bahwa ketaatan beribadah pada kelompok penyalahguna NAZA (kasus) jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok bukan penyalahguna NAZA (kontrol/kelola); dan perbedaan ini cukup signifikan. Ini artinya pendidikan agama sejak dini akan memperkuat komitmen agama bila seorang anak kelak menginjak remaja dan menjadi dewasa, sehingga resiko penyalahgunaan NAZA dapat diperkecil.[12]

Bagaimana Islam menyikapinya?
            Dalam masyarakat modern dan industri, yang terjadi adalah ketidakpastian fundamental di bidang hukum, nilai, moral, dan etika kehidupan. Orang tidak lagi mempunyai pegangan dan pedoman hidup selain materi dan tujuan sesaat belaka. Mereka mengalami kekosongan spiritual. Masyarakat modern seringkali tidak menyadari bahwa sebenarnya setiap diri perlu pemenuhan kebutuhan dasar spiritual/kerohanian/agama. WHO (1984) telah menetapkan bahwa unsur agama merupakan unsur kesehatan ke-4 setelah kesehatan fisik, psikologik, dan sosial. Unsur agama amat penting dan peringkatnya sama dengan ketiganya.
            Islam mengajarkan bahwa setiap zat, bahan atau minuman yang dapat memabukkan dan melemahkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram. Sabda Nabi:                                        
                                                  [13]
Sabdanya juga;



            “Malaikat jibril datang kepadaku lalu berkata: Hai Muhammad, Allah melaknat minuman keras, pemerasnya, orang-orang yang membantu pemerasannya, peminumnya, penerima/penyimpannya, penjualnya, pembelinya, penyuguhnya, dan orang-orang yang mau disuguhinya”.
            Dari hadis tersebut jelas bahwa Islam menghendaki diberlakukannya UU/Peraturan yang mengatur/ melarang produksi NAZA; sanksi hukum bagi orang yang memproduksi, membantu produksi, penerima/penyimpannya, penjual/pengedarnya, pembeli/pemakainya, orang yang menawarkan dan orang yang mau ditawarinya serta hal-hal yang terkait dengan itu. Apalagi kita mengetahui bahwa dampak yang ditimbulkan NAZA sangat amat berbahaya.














4. UKHUWAH[14]
            Ukhuwah Islamiyyah adalah persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam. Guna memantapkan ukhuwah, pertama kali al-Qur’an menggarisbawahi bahwa perbedaan itu adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini (Sunnatullah); kehendak ilahi untuk kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di bumi ini. Dalam al-Ma`idah (5): 48


“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberitaan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.

Konsep Persaudaraan secara umum:
  1. Islam memperkenalkan konsep khalifah; konsep ini menuntut manusia untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya.
  2. Dalam hubungan antar umat beragama diperkenalkan ajaran:


“Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nya-lah kembali (putusan segala sesuatu) (asy-Syura (42): 15).
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu antarpemeluk agama (kalimah sawa). Jika tidak menemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain.


“Katakanlah: “Wahai ahl al-Kitab, marilah kepada satu kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah (akui eksistensi kami) bahwa kami adalah orang-orang muslim”. (Ali Imran-3-: 64).
  1. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama muslim:
·         Perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka; jangan saling memperolok, memanggil dengan panggilan yang jelek, berprasangka buruk, ghibah, mencari-cari kesalahan orang lain, iri dan dengki (al-Hujurat 11-12). Jika diamati, sebagian ayat dan Hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dalam bentuk larangan. Hal ini karena at-Takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-Tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga karena ‘melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya. Demikian pula sebaliknya”. Ini karena sikap bathiniyahlah yang melahirkan sikap lahiriyah.[15]
·         Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama hendaklah merujuk kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah), an-Nisa` ayat 59.
·         Selanjutnya untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama dikenal 3 konsep:
1.                                                                                                                ; keragaman cara beribadah.
      Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan pada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Siapapun tidak boleh meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, “Berapa hasil 5+5?”, melainkan yang ditanyakan adalah, “Jumlah sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?”.
2.                                                                                                              ; Yang salah dalam berijtihad pun (menetapkan   hukum) mendapat pahala.
      Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi pahala oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtihad yang diamalkan keliru. Tetapi perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian. Perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari dengan seksama dalil-dalil keagamaan (al-Qur’an dan Hadis).
3.                                                        ; Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid.
      Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang tersedia.[16]
            Al-Quran dan Hadis tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-Qur’an dan Hadis berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing mujtahid.
            Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan berkata, “Pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin benar”. Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah yang paling benar. Hadis yang populer dalam masalah ukhuwah adalah:


“Seorang muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kenutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dari seorang muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian”.

5. Musyawarah
            Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-,w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
            Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia tak akan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
            Ada tiga ayat al-Qur’an yang akar katanya menunjukkan  musyawarah:
  1. al-Baqarah (2): 233
“Apabila keduanya (suami-istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antarmereka, maka tidak ada dosa atas keduanya”.[17]
  1. Ali Imran (3): 159


“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.
  1. asy-Syura` (42): 38[18], Allah menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat pahala yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang mukmin adalah:

“Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antarmereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.

Dari ketiga ayat ini, sepintas diduga bahwa al-Qur’an tidak memberikan perhatian yang cukup dalam masalah musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna jika menyadari cara al-Qur’an memberi petunjuk serta menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut.
Al-Qur’an merinci persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tidak mengalami perkembangan/perubahan, sehingga tentang metafisika—surga/neraka—amat rinci. Demikian juga tentang mahram, karena tidak mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin memiliki birahi terhadap orangtuanya, saudara atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya.
Adapun terhadap persoalan yang mengalami perkembangan dan perubahan, al-Qur’an menjelaskannya secara global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasul:

“Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian”, dan Hadis:

“Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya”.
Sikap orang yang bermusyawarah sesuai Ali Imran (3): 159;
  1. berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras
  2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru
Maaf, secara harfiah, berarti “menghapus”. Memafkan adalah menghapus luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Fa’fu ‘anhum; orang yang bermusyawarah harus siap mental untuk memberi maaf, karena perbedaan pendapat, kalimat-kalimat yang menyinggung dapat mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.
  1. Menyadari bahwa kecerahan/ketajaman analisis saja tidaklah cukup[19], butuh ‘sesuatu’ di samping akal. Terserah apa namanya, indera keenam (filosof dan psikolog), bisikan atau gerak hati (kata orang kebanyakan), atau ilham, hidayah, dan firasat (agamawan). Tidak jelas cara kerja ‘sesuatu’ itu, karena datangnya sekejap, sekedar untuk mencampakkan informasi yang diduga ‘kebetulan’ oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa permisi orang yang dikunjungi. Biasanya ia datang pada orang-orang yang jiwanya suci. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan ilahi ‘wa istaghfir lahum’, dan
  2. Pesan terakhir ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu: menerima dan melaksanakan hasil musyawarah dengan penuh tanggung jawab.

Orang-orang yang diminta Bermusyawarah
            Petunjuk ayat 159 Ali Imran berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi. Perintah ini turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi bermusyawarah bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di Madinah. Sahabat-sahabat beliau terutama yang muda yang penuh semangat, mendesak agar kaum Muslim ‘keluar’ menghadapi musuh. Pendapat mereka memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang 70 orang sahabat Nabi.
Konteks turunnya ayat serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan sahabatnya setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan al-Qur’an terhadap musyawarah. Ayat ini seakan-akan berpesan kapada Nabi bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan:

“Takkan kecewa orang yang melakukan musyawarah, dan tidak juga akan menyesal orang yang memohon petunjuk (kepada Allah) tentang pilihan yang terbaik”.

Lapangan Musyawarah (majal asy-Syura`)
            Ayat Ali Imran di atas, menggunakan kata al-amr (ma’rifat), yang diterjemahkan “persoalan/urusan tertentu”. Sedangkan ayat asy-Syura menggunakan ‘amruhum’ (ma’rifat) yang terjemahannya: ‘urusan mereka’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi; baik yang petunjuknya global maupun yang tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana?

Dengan siapa seharusnya bermusyawarah?
Pesan Nabi pada Ali ibn Abi Thalib:



“Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan keluar, jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap Allah”.
Imam Ja’far ash-Shadiq pun berpesan:

“Bermusyawarahlah dalam persoalan-persoalan dengan seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada, pengalaman, perhatian, dan takwa”

Syura dan Demokrasi
            Ada tiga cara menetapkan keputusan: 1. ditetapkan oleh penguasa, 2. ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas, dan 3. berdasarkan pandangan mayoritas (ciri-ciri umum demokrasi). Dua cara pertama (penguasa dan minoritas) bertentangan dengan prinsip Islam tentang musyawarah, sedangkan yang ketiga, pembahasannya akan kami uraikan bersama dengan perbedaan antara syura dan demokrasi.
Ø   Syura` dalam Islam walau membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi tidaklah mutlak. Menurut Dr. Kamal Abul-Majad—pakar muslim Mesir kontemporer—dalam bukunya ‘Hiwar la muwajahah’ (Dialog Bukanlah Konfrontasi), menjelaskan: keputusan janganlah langsung diambil berdasar pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kesepakatan; usahakan mencapai madu atau yang terbaik.[20]
Ø   Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan
        Walaupun keduanya—syura dan demokrasi—menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun syura di dalam Islam mengaitkannya dengan ‘perjanjian ilahi’. Ini diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam firman-Nya ketika mengangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai Imam:

        Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi manusia.”Ibrahim berkata,”Saya bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga kepada sebagian keturunanku.” Dia (Allah) berfirman, “Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim” (QS al-Baqarah [2]: 124).
Ø   Dalam demokrasi sekuler, persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi dalm syura, tidak dibenarkan memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya secara tegas dan pasti dan segala yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran ilahi.
Al-Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu, hanya menuntut keterlibatan masyarakat dalam urusan mereka, dan bagaimana cara keterlibatannya diserahkan kepada mereka sendiri. Al-Qur’an memberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan, dan kondisi sosialnya.
            Mengikat diri atau masyarakat kita dengan fatwa ulama dan pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi Saw. dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama. Setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan jalan yang berbeda-beda. Hakikat ini merupakan salah satu maksud al-Ma`idah ayat 48 di atas.
6. Pernikahan[21]
            Kata “nikah” berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘bergaul’, ‘bercampur’, ‘menghimpun’. Atau ‘mengumpulkan’. Dalam arti fikih, nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami isteri. Tujuan pernikahan Islam adalah keluarga bahagia yang rukun, damai, serta penuh kasih sayang untuk mendapatkan keturunan yang sah.
Hikmah Nikah
  1. Penyaluran naluri seksual secara benar dan sah, karena adakalanya naluri seksual itu sulit untuk dibendung dan sulit untuk merasa terpuaskan. Dengan jalan nikah, dapat disalurkan kapan saja, asalkan tidak dilakukan pada waktu dan tempat yang dilarang syari’at Islam.
  2. Satu-satunya cara untuk mendapatkan anak serta mengembangkan keturunan secara sah.
  3. Untuk memenuhi naluri kebapakan dan keibuan yang dimiliki seseorang dalam rangka melimpahkan kasih sayangnya. Naluri ini merupakan bawaan yang menunjukkan rasa kemanusiaan seseorang.
  4. Menumbuhkan rasa tanggung jawab seseorang yang telah dewasa yang berdampak terhadap aktivitas kehidupan untuk mencari nafkah.
  5. Berbagi rasa tanggung jawab melalui kerjasama yang baik, yang selama ini hanya terfokus untuk diri sendiri.
  6. Mempererat hubungan antara satu keluarga dengan keluarga lain melalui ikatan persemendaan. Hal ini membawa dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.
  7. Menurut penelitian para ahli, orang-orang yang menikah (suami-istri) lebih memiliki kemungkinan umur yang panjang dibandingkan dengan orang-orang yang belum/tidak kawin.
Begitu agung tujuan dan hikmah pernikahan sehingga nikah sangat dianjurkan bagi yang telah dewasa dan mampu secara ekonomi, bahkan wajib jika secara ekonomi telah mampu dan ada ‘kekhawatiran’ akan zina, jika tidak menikah. Sabda Nabi:


“Wahai para pemuda, siapa yang telah sanggup menunaikan nafkah (lahir dan batin) hendaklah dia kawin, karena kawin itu merupakan suatu jalan untuk membatasi pandangan (dari hal-hal yang negatif) dan lebih memelihara kehormatan. Dan siapa yang belum mampu menunaikan nafkah, hendaklah berpuasa, sebab puasa itu obat baginya”.
Di samping itu, untuk mencapai tujuan pernikahan, pasangan itu harus berupaya keras menjaga pernikahan tersebut. Dalam konsep Islam, diperkenalkan tali-temali perekat pernikahan, yaitu: Cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah[22]. Itulah perekat ruhani perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara, karena al-Qur’an memerintahkan:

“Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak (QS an-Nisa` [4]: 19).

7. Poligami (Ta’addud az-zaujat)
Secara kebahasaan ta’addud az-zaujat berarti ‘berbilangnya istri’. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani (Poly: banyak; gamein atau gamos: kawin atau perkawinan). Jadi, poligami berarti ‘perkawinan yang banyak’ atau ‘perkawinan dengan lebih dari satu orang’, baik pria maupun wanita. Poligami bisa dibagi atas poliandri (seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki) dan poligini (seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan).
Poligami atau poligini sejak dulu telah dilakukan secara luas tanpa pembatasan jumlah perempuan yang boleh diperistri oleh seorang laki-laki. Seorang laki-laki boleh mengawini setiap wanita yang dikehendakinya. Ini dilakukan baik oleh kalangan Hindu, bangsa Persia, bangsa Arab Jahiliyah, bangsa Romawi, maupun bangsa yang mendiami berbagai daerah Eropa dan Asia Barat (misalnya, bangsa Thracia dan bangsa Lidia).[23]
Bagaimana sikap Islam?
Pada abad ke-7, agama Islam datang, dan di antara ajarannya adalah mengatur masalah poligami. Islam mengatur masalah perkawinan dan poligami dengan bijaksana demi kebaikan kaum wanita, keturunan, keadaan masyarakat, dan kemampuan laki-laki. Islam membatasi poligini dengan sebanyak-banyaknya empat orang istri jika dijalankan dalam keadaan darurat dengan syarat yang berat. Syarat itu adalah harus adil terhadap para istri dan mampu memikul nafkah mereka. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nisa` (4): 3,


“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain) dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.[24]

Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami (tidak mewajibkan atau menganjurkan). Ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik-buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[25] Ayat ini hanyalah wadah bagi mereka yang menginginkannya, bukan menganjurkan.[26] Seandainya anjuran, pastilah Allah menciptakan wanita lebih banyak empat kali lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak ada artinya apabila Anda—apalagi Allah—menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia.
Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntunan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya: “Jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda”. Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.
Bagaimana dengan perkawinan Rasul?
Ada yang berkata Rasul saja berpoligami, bukankah itu perlu diteladani?. Perlu diingat, bahwa tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib dan terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula untuk umatnya.[27] Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar-benar hendak meneladani Rasul dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa semua wanita yang beliau kawini, kecuali Aisyah ra., adalah janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan da’wah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu, yang pada umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat, dan itupun dilakukan Rasul setelah beliau bermonogami hingga usia 50 tahun lebih dengan Khadijah.[28]
Mengapa Islam membenarkan poligini, tetapi melarang poliandri?
Boleh jadi ada yang tidak menerima pendapat ilmuwan yang menyatakan bahwa fitrah pria cenderung berpoligami dan fitrah wanita bermonogami. Cobalah melihat kenyataan, mengapa negara-negara yang membolehkan prostitusi melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bagi wanita-wanita berprilaku seks bebas, dan tidak melakukannya bagi pasangan sah? Ini karena kenyataan menunjukkan bahwa wanita hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang bersih, yakni sperma seorang—sekali lagi, seorang—pria. Begitu terlibat dua pria dalam hubungan seks dengan seorang wanita, maka ketika itu pula cairan itu yang merupakan benih anak tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan menjangkitkan penyakit.
So, apa hikmah poligami? Pikir sendiri. Ok.

8. Haramnya Zina
            Zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang belum memiliki ikatan nikah; memiliki ikatan nikah semu (nikah tanpa wali, nikah mut’ah, dan hubungan beberapa laki-laki dengan hamba perempuan milik bersama); atau tidak memiliki ikatan pemilikan (tuan atas hamba); dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran). Zina termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang diancam hukuman had (hukuman yang macam dan jenisnya ditentukan oleh Syara’ dan merupakan hak Allah SWT.[29] Dalam surat an-Nur (24): 2,


“Perempuan[30] yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan agama Allah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah (pelaksanaan) hukuman disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.

            Konsekuensi lain bagi pelaku zina, di samping hukuman had, bagi pezina yang masih hidup (tidak dirajam sampai mati), yaitu turunnya martabat (tidak boleh dikawin oleh orang mukmin), tidak adanya iddah bagi pezina perempuan, penentuan mahram, dan status anak hasil zina yang dinasabkan kepada ibunya saja (ini berpengaruh kepada hukum waris-mewarisinya juga).[31]
            Di samping itu zina merupakan salah satu sebab rusaknya tatanan keluarga; tidak harmonis karena perasaan cemburu dan curiga (ini berimplikasi terjadinya pembunuhan[32] dan kriminalitas lainnya), disfungsi keluarga yang berakibat buruknya pendidikan terhadap anak-anak, perceraian; dan sebab langsung menularnya PMS (penyakit menular seksual, seperti syiphilis, Gonorhea (kencing nanah), Herpes, klamida, dan HIV/Aids.
            Sebagai gambaran bagaimana dahsyatnya HIV/Aids, berikut penjelasannya:
AIDS: Acquired Immune Deficiency Syndrome, artinya adalah kumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh. Penyebabnya adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini hanya dapat ditularkan melalui darah, air mani (sperma), dan cairan vagina. Dengan demikian kegiatan yang beresiko tertular Aids, adalah:
  1. Hubungan seks yang tidak aman dengan seorang pengidap Aids (biasanya orang yang berganti-ganti pasangan)
  2. Transfusi darah yang telah mengandung HIV
  3. Penggunaan jarum suntik yang sudah tercemar HIV tanpa disterilkan dulu (termasuk jarum tindik dan jarum tato)
  4. Ibu pengidap HIV ke bayi yang dilahirkannya.

Bagaimana HIV bekerja di dalam tubuh manusia?
            HIV dengan perantaraan darah, sperma, dan cairan vagina masuk ke dalam aliran pembuluh darah, kemudian menyerang sistem kekebalan tubuh orang tersebut (sel darah putihnya). Sesudah beberapa tahun jumlah HIV menjadi sedemikian banyaknya sehingga kekebalan tubuh tidak mampu lagi melawan bibit penyakit yang masuk. Ini artinya penyakit yang tadinya tidak berbahaya, akan menjadi sangat berbahaya untuk orang tersebut, karena sistem kekebalan tubuhnya sudah sangat lemah. Dan karena hal ini pula seorang pengidap HIV tetap terlihat dan merasa sehat seperti orang lain dalam waktu 2-10 tahun. Bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya terinfeksi, walaupun dia sudah dapat menularkan HIV pada orang lain. Dapat diketahui dengan tes darah untuk HIV.
            Beberapa asumsi dan fakta tentang Aids:
v  Tidak semata-mata penyakit di bidang kedokteran/ kesehatan, tapi lebih merupakan penyakit perilaku ‘life style’. Ini karena 90% penularan dan penyebarannya melalui kontak seksual di luar nikah/perzinahan.
v  Peringatan Allah, karena perilaku seksual manusia sudah melampaui batas (tidak menjaga kehormatan dan menyalahgunakannya).
v  Penyakit terminal (berakhir dengan kematian), penderitanya mengalami gangguan kejiwaan (cemas dan depresi) dan mengalami krisis spiritual (berdampak pada bunuh diri atau euthanasia).
v  Sekarang pembunuh nomor 1 di dunia.
v  Menurut WHO, per menit 3 orang terinfeksi, sehari ada 1440 menit X 3= 4320 orang, setelah 5-10 tahun virus ini baru tampak dan mereka termasuk stadium terminal. Kelompok umur 13-25 tahun paling tinggi karena promiskuitas (gonta-ganti pasangan) dan penggunaan bersama jarum suntik narkotika.
v  Penyakit yang amat mengerikan; belum ada obatnya dan menimbulkan kepanikan di seluruh dunia ‘mass hysteria’.
v  Medical illness dan juga terminal illness yang membuat paramedis dilematis, oleh karena itu peran agamawan sangat diperlukan.[33]
Faktor-faktor life style negatif:
  1. keluarga yang tidak dilandasi komitmen agama yang kuat, 4 kali mempunyai resiko lebih besar untuk broken home; ketidaksetiaan, ganti-ganti pasangan dan berbagai bentuk pergaulan bebas. Dampaknya, anak tidak ditanamkan nilai-nilai moral dan etika pergaulan, apalagi nilai-nilai religius, sehingga perilaku mereka sangat bebas dan tidak terkendali. Remaja akhirnya memilih minggat ‘homeless’ dan ‘street children’, yang menurut penelitian di Amerika, mereka 85% aktif seks dan pecandu.
  2. Budaya yang permisif terhadap seks, prostitusi, free sex, homoseksual, dengan dalih kebebasan sex dan HAM. Dengan dalih itu pula ‘menghalalkan’ kontak seks dengan siapa saja, di mana, dan kapan saja sepanjang tidak memperkosa, menggauli anak kecil dan tidak ada ketentuan harus menikah.
  3. Pola dan gaya hidup Barat sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi[34] dan kemajuan IPTEK; telah menyebabkan perubahan nilai-nilai kehidupan yang cenderung mengabaikan nilai-nilai moral, etik dan agama.
Dari segi psikologi, Aids menimbulkan empat masalah:
  1. Rasa takut (fear); penyakit endemik tetapi yang terinfeksi tidak nampak secara klinis dan fatal.
  2. Rasa jijik (contemp), sehingga terjadi diskriminasi, padahal dia tidak hanya sakit tapi victim yang membutuhkan pertolongan.
  3. Rasa duka cita; penyakit fatal dan perjalanannya dramatis.
  4. Rasa putus asa (burn out) bagi penderita, petugas medis dan keluarganya
Bagaimana solusinya?
            Permasalahan utama penyakit Aids adalah pada faktor psikologik dan psikoseksual perkembangan remaja dan budaya. Maka cara yang bisa ditempuh adalah dengan menanamkan pengetahuan, keyakinan, kesadaran, penguasaan cara dan ketrampilan untuk merubah pola hidup perilaku seks ke arah yang sehat dan bertanggung jawab, sehingga para ahli Barat menawarkan solusi ABC.[35]

Apakah kondom efektif untuk mencegah penularan virus HIV?
Tidak, karena:
  1. Penelitian membuktikan bahwa pemakaian kondom tidak menjamin pelaku tidak tertular, namun hanya mereduksi penularan (tidak menghilangkan resiko penularan [transmisi] virus HIV.
  2. Kondom dirancang untuk menyaring sperma, bukan virus. Besarnya sperma ibarat jeruk garut, sedang kecilnya virus bagaikan titik.
  3. Bahan latek kondom yang begitu tipis masih bisa tembus juga. Ini karena pori-pori kondom berdiameter 1/60 mikron, sedang virus HIV berdiameter 1/250 mikron.
  4. Tidak menyelesaikan akar masalahnya, karena terbentur dalil HAM. Ini karena mereka individualis, materialistis dan sekuler (moral etik agama tidak ada tempat), HAM individu mengalahkan HAM masyarakat.

Bagaimana solusi Islam?
Dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis[36], tetapi bersih dan harus selalu bersih, sehingga hubungan tersebut harus dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kotor. Oleh karena itu Islam sangat melarang perbuatan zina. Dalam surat al-Isra`, ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati[37] zina—dengan melakukan hal-hal—walau dalam bentuk mengkhayalkannya, sehingga dapat mengantar kamu terjerumus dalam keburukan itu. Allah juga melarang perilaku homo seksual, karena termasuk melanggar fitrah[38]
Dengan demikian, karena AIDS disebabkan oleh perilaku seksual manusia, maka pencegahannya dengan merubah perilaku seks itu ke arah yang sehat, aman, dan bertanggung jawab. Perilaku seks yang sehat adalah yang halal, yaitu menikah, bukan dengan kondom. Dalam surat ar-Rum (30): 21,



“di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketentraman dari (pasangan)nya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[39]

Orang yang waras akan berfikir dan memilih untuk menikah daripada kumpul kebo atau ‘jajan’; menjaga kehormatan dan menjauhi ketularan penyakit kelamin, karena walau pakai kondom, zina tetap haram. So, solusi Islam sederhana, tegas, dan lugas “Stop perzinahan, maka stop pula penyebaran virus HIV/AIDS”.
Itulah Islam, ketika melarang sesuatu (zina), maka diberi dulu alternatifnya.

9. Haramnya Riba
            Secara bahasa, riba berarti “kelebihan atau penambahan”; menurut Syara’, berarti “tambahan pada modal (uang) pinjaman yang diterima orang yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu dan persentase bunga pinjaman”. Orang Arab mengenal riba dari orang Yahudi di Madinah, biasanya dengan bunga 40-100%.
Islam mengharamkan riba dengan segala bentuknya. Menurut Nas al-Qur’an, dasar hukum pelarangan riba secara bertahap adalah sbb:
Tahap pertama, ar-Rum (30): 39,

            Dalam ayat ini, Allah mencela riba dan memuji zakat; ayat ini secara halus menyebutkan bahwa riba itu tidak baik dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena si pelaku tidak akan mendapat pahala di sisi Allah, berbeda dengan zakat.
Tahap kedua, an-Nisa (4): 161,

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa riba diharamkan bagi orang Yahudi, namun mereka melanggar larangan tersebut dan hal ini merupakan salah satu penyebab kemurkaan Tuhan kepada mereka.
Tahap ketiga, Ali Imran (3): 130,

Ayat ini secara jelas mengharamkan riba yang bersifat pemerasan dari golongan ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah itu mengandung penganiayaan (az-zulm)[40]. Dengan riba, pada umumnya kaum lemah tidak mampu mengembalikan hutangnya, jika tidak bisa melunasi, maka dipaksa dilipatgandakan dengan imbalan penundaan jangka waktu pembayaran. Riba seperti ini dinamakan riba an-Nasi’ah[41] (riba penundaan) dan dalam ayat itu dihukumi haram secara juz’i (sebagian), artinya riba yang diharamkan hanya yang bersifat berlifat ganda (ad’afan muda’afan). Mengenai riba yang tidak berlipat ganda, hukumnya ditetapkan Allah dalam ayat berikutnya.

Tahap keempat (terakhir), surat al-Baqarah (2): 275-279.


“Orang-orang yang makan (bertransaksi dengan )riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan, sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan karena mereka berkata, “jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba[42].
Ayat 276,
“Allah memusnahkan riba (sedikit demi sedikit) dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang (berulang-ulang) melakukan kekufuran, dan (selalu) berbuat banyak dosa”.[43]
Ayat 278-279,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba[44] jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak melaksanakan (apa yang diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya. Dan jika kamu bertaubat, maka bagi kamu pokok harta kamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Ayat-ayat ini mengharamkan riba secara mutlak, jelas, dan tegas, tidak terdapat keraguan. Dan ayat ini disambung dengan ayat 280,

“Dan jika dia (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia lapang[45]. Dan menyedekahkan, lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui”.
            Dari tahapan tersebut, pemahaman riba harus dimulai dari Ali Imran 130, kemudian al-Baqarah ayat 278-279 dengan kata kunci sebagai berikut:
1.      kalimat ad’afan muda’afan (berlipat ganda), at-Tabari mengatakan bahwa kalimat itu adalah penambahan jumlah kredit yang disebabkan penundaan pembayaran. Maka bagi yang berpegang pada ayat itu, hanya yang berlipat ganda saja yang diharamkan.
2.      kalimat ‘ma baqiya min ar-riba’ (apa yang tersisa dari riba yang belum dipungut). Menurut Rasyid Ridha, kata riba dalam al-Baqarah 278 ini sama artinya dengan kata riba dalam Ali Imran 130; ayat yang tidak bersyarat harus dipahami dengan ayat yang bersyarat. Pembicaraan riba selalu dihubungkan dengan sedekah; dalam hal ini riba dinamai zulm. Sehingga riba yang diharamkan adalah yang berlipat ganda. Adapun untuk penambahan yang tidak berlipat ganda, pemahamannya harus dikaitkan dengan kata kunci berikutnya.
3.      kalimat ‘falakum ru’usu amwalikum’ (maka bagimu pokok/modal hartamu). Menurut al-Baqarah 279, mereka yang sudah terlanjur melakukan riba harus dihentikan dengan cara memperoleh kembali modalnya saja dan setiap penambahan atau kelebihan tidak dapat dibenarkan.
4.      kalimat ‘la tazlimuna wa la tuzlamun’ (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya). Riba harus dihindari karena mengandung penganiayaan dan penindasan.
Dari keempat kata kunci yang terdapat dalam ayat tentang riba tersebut dapat disimpulkan bahwa ukuran az-zulm berlaku bagi yang berutang dan bagi yang berpiutang batasannya masih relatif.

Sebab-sebab diharamkannya Riba:
a.       Praktek riba berarti mengambil harta orang lain dengan tanpa kompensasi (pengganti), dan ini termasuk perbuatan zalim.
b.      Ketergantungan kepada riba dapat melemahkan semangat orang untuk berusaha/bekerja keras (bahkan malas dan meremehkan kerja). Ini akan memutus dinamika kehidupan yang positif—dinamika perdagangan, inovasi skill, perusahaan, pembangunan, dll.
c.       Menjadi sebab terputusnya kemaslahatan dalam interaksi sosial menyangkut praktek pinjam meminjam; rasa saling menolong melemah, termasuk simpati dan empati terhadap orang yang membutuhkan (berganti rasa kejam dan sadis yang tak berperikemanusiaan), akhirnya ketika kesenjangan sosial meningkat dapat menumbuhsuburkan kedengkian dan sakit hati, sehingga dapat terjadi permusuhan, kecemburuan sosial, dan saling benci.
d.      Riba adalah pemerasan terhadap orang-orang yang lemah untuk kepentingan orang kuat; yang kaya semakin kaya[46].

Bunga Bank dan Riba
            Pembahasan tentang bunga bank, apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literatur fikih kontemporer. Di antara ulama yang berpendapat bahwa bunga bank adalah riba, adalah: Wahbah az-Zuhaili (tokoh fikih Suriah) membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminologi ulama klasik dalam berbagai mazhab fikih[47], yang kesimpulannya bunga bank adalah riba; Yususf al-Qaradhawi meyatakan di antara keganjilan zaman modern adalah ketika streaptease (tari telanjang) dinamakan sebagai seni, minuman keras disebut sebagai minuman spiritual dan riba dinamakan bunga; dan para pakar yang mendukung dan mempelopori bank Islam seperti M. Nejatullah Shiddiqi, M. Abdul Mannan, A.M. Saefuddin, M. Syafe’i Antonio, dll.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa bunga bank bukanlah riba yang diharamkan dalam al-Qur’an, antara lain: Rasyid Rida (mufassir dari Mesir) setelah menganalisis ayat-ayat tentang riba menyimpulkan bunga bank bukan riba[48], Ahmad Hassan (tokoh Persis) berpendapat bahwa bunga bank yang ada di Indonesia tidak termasuk riba karena unsur penganiayaannya tidak ada. Organisasi Islam NU, telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank itu terdapat pada bank pemerintah maupun bank swasta; M. Quraisy Shihab, berkesimpulan bahwa illat diharamkannya riba karena unsur ‘penganiayaan’ dan bunga bank tidak sampai seperti itu.
            Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (tokoh pembaru dari sumatera barat) berpendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba fadal dan dibolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena menurutnya, riba fadal merupakan jalan kepada riba an-nasi’ah. Oleh sebab itu, keharaman riba fadal lebih bersifat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau mendesak.
            Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar hukum Islam di Universitas Amman, Yordania) juga mengemukakan bahwa riba fadal dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara. Artinya umat Islam harus berupaya untuk mencari jalan keluar dari sistem bank konvensional tersebut, dengan mendirikan bank Islam, sehingga keraguan atau sikap tidak setuju dengan bank konvensional dapat dihilangkan[49].
            Menganalisis berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perdebatan itu tidak akan pernah selesai, sehingga jalan keluar yang paling aman adalah dengan mendirikan Lembaga-lembaga keuangan yang non-bunga (Islami/Syari’ah), di samping diharapkan lebih tenang bagi umat Islam untuk berinteraksi dengan dunia perbankan, juga kenyataan menunjukkan bahwa dengan sistem bunga, resiko terjadinya krisis moneter sangat mungkin terjadi dan perbankan konvensional tidak cukup kuat menghadapinya, sehingga di tahun 1996-1997 ratusan bank nasional harus dilikuidasi.
            M. Abdul Mannan, menguraikan panjang lebar tentang berbagai fakta tentang bunga bank dan riba, antara lain:
  • Riba yang terdapat pada masa pra-Islam adalah perpanjangan batas waktu dan penambahan jumlah peminjaman uang sehingga berjumlah begitu besar, sehingga pada akhirnya si peminjam harus mengembalikan dua kali lipat atau lebih dari pokok pinjaman. Dinilai dari tolok ukur etika sosio-ekonomi mana pun, tingkat suku bunga riba dinilai melampaui batas, sehingga turunlah ayat 275 dst al-Baqarah; tetapi kinidalam dunia perbankan konvensional, pembebanan bunga bukan karena penangguhan jangka waktu, tetapi telah ditetapkan sewaktu akad.
  • Jika terdapat perbedaan antara riba dalam al-Qur’an dengan bunga dalam masyarakat kapitalis, hal itu hanya merupakan perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis, karena baik riba maupun bunga merupakan ekses atas modal yang dipinjam.[50]
  • Perbedaan antara pinjaman produktif dan konsumtif, hanya dalam tingkatannya; jika bunga pada pinjaman konsumtif itu berbahaya, maka pinjaman produktif tentu berbahaya juga karena ia merupakan biaya produksi, dan karena itu mempengaruhi harga. Konsumenlah yang harus menanggung beban harga yang lebih tinggi itu, pekerja juga merasa dirampas hak-haknya, karena kerja keras mereka harus dihargai berbagi dengan pembayaran bunga atas modal. Karena itu dalam analisis terakhir ‘Riba dalam al-Qur’an dan bunga pada perbankan modern merupakan dua sisi dari mata uang yang sama’.
  • Perekonomian yang bebas bunga yang diajarkan Islam lebih dari sekedar kompromi[51], dalam arti bahwa ia memandang manusia sebagai makhluq sosio-moral yang lengkap, tidak hanya makhluk ekonomi yang memungkinkan manusia menyempurnakan nilai spiritual maupun keduniawiannya dengan baik.
  • Bunga dapat menyebabkan pengangguran, dan depresi; tanpa memberi sumbangan aktif pada produksi, golongan kapitalis tumbuh subur dan makmur melalui bunga.[52]

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, silahkan Anda lanjutan kajian ini. Selamat belajar, semoga bermanfaat dan sukses selalu. Amin.
Salam hangat dan hormat dariku, Imroatul Azizah, M.Ag.


* Sebagai acuan mata kuliah ‘Hikmatut-Tasyri’, semester VI PAI dan Mu’amalah STAI Sunan Giri Bojonegoro, 2006, oleh Imroatul Azizah, M.Ag.
[1] Terlepas dari berbagai definisi tersebut, hikmah hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mau menggunakan akal pikiran. Hikmah disyari’atkannya perkawinan, misalnya antara lain untuk mewujudkan ketentraman hidup dan menjalin rasa saling mencintai dan menyayangi antara suami isteri. Lihat dalam Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. 3 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 2-3; bandingkan dengan M. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. 1 Edisi ke-2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), p. 6-19.
[2] Kenyataan ini sealur dengan hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2001, yang menyimpulkan, Indonesia berada pada peringkat keempat negara terkorup di dunia. Malah survei yang dilakukan PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura, membuat kita “takjub”. PERC menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia. Ini berarti, hasil-hasil penelitian itu dengan sahih menunjukkan bahwa Indonesia memang dihuni para maling. Sehingga, wajar saja bila Teten Masduki—pentolan ICW—menjuluki Indonesia sebagai Negara Kleptokrasi (negara para maling). Atau—pinjam bahasa Dr. B Herry Priyono—negara ini bukan democracy, tapi Chremocracy (pemerintah para penyuap) yang berujung pada Cleptocracy. (Media Indonesia, Rabu 24 Maret 2004)
[3] Akhirnya, orang yang berpegang teguh pada ajaran suci agamanya, akan menjadi pesakitan di tengah tradisi korupsi ini. “Yang tak turut dan larut edan, tak kebagian”, ujar Ronggowarsito. Semuanya memang telah menjadi edan! Itulah zaman edan sang penanda kehancuran zaman.
[4] Hal ini sejalan dengan pendapat para pakar stress yang menganjurkan orang agar memeluk agama,menghayati serta mengamalkannya agar memperoleh ketenangan darinya, dan setiap hari harus meluangkan waktu untuk ‘menenangkan diri’.
[5] Waktu untuk sekali shalat sekitar 5-10 menit, atau rata-rata 8 menit, sehingga sehari semalam 40 menit. Dalam sehari ada 1.440 yang sebagian besarnya dihabiskan untuk urusan dunia, sementara untuk Allah 40 menit saja tidak sempat. Begitukah manusia ‘berterima kasih’ kepada Tuhannya?
[6] Manakala pengendalian pada diri seseorang terganggu, maka akan timbul berbagai reaksi patologik (kelaianan) baik dalam alam pikir, alam perasaan dan perilaku. Reaksi patologik yang ditimbulkan tidak saja menimbulkan keluhan subyektif pada dirinya, tetapi juga dapat mengganggu lingkungannya dan juga orang lain. Contoh, orang yang tidak dapat mengendalikan makan-minum, dapat mengalami obesity dan berbagai komplikasi penyakit. Banyak penyakit metabolism (pertukaran zat) sebagai akibat kelebihan makanan, apalagi kalau makanan
tersebut tidak baik dan tidak halal. Orang yang tidak mampu mengendalikan seksnya, akan berperilaku seksual yang menyimpang, pergaulan bebas (promiscuity), bahkan sampai kepada perkosaan. Akibat yang ditimbulkan juga bermacam-macam; krisis rumah tangga, penyebaran penyakit kelamin sampai tindak pidana. Ketidakmampuan mengendalikan diri dalam mengejar materi akan menjadikannya tamak dan loba dan gelap mata. Untuk mengejar jabatan dan kedudukan serta menuruti ambisi pribadi dan keluarganya, orang menjadi ambisius. Segala cara akan diambil, sehingga merugikan orang lain.
[7] Fobia adalah rasa takut yang tidak rasional dan tidak realistis. Yang bersangkutan tahu dan sadar benar akan hal itu, namun ia tidak mampu mencegah dan mengendalikan diri dari rasa takutnya itu. Obsesi adalah corak pikiran yang sifatnya terpaku (persistent) dan berulangkali muncul (recurrent). Yang bersangkutan tahu benar akan kelainan pikirannya itu, namun ia tidak mampu mengalihkan pikirannya pada hal lain, dan tidak mampu mencegah munculnya pikiran itu yang selalu timbul berulang-ulang. Adapun kompulsi adalah suatu pola tindakan atau perbuatan yang diulang-ulang. Yang bersangkutan tahu benar bahwa perbuatan mengulang-ulang itu tidak benar dan tidak rasional, namun yang bersangkutan tidak mampu mencegah perbuatannya sendiri. Contoh sederhana dari ketiga hal tersebut adalah orang yang selalu mencuci tangannya berulang-ulang.
[8] Untuk mencapai tujuannya, ia menghalalkan segala cara. Secara kesehatan jiwa orang tersebut sudah sakit, dengan analisa sebagai berikut; Fobia padanya adalah rasa takut miskin, takut tidak dihargai orang, takut susah dan tidak bahagia. Rasa takut ini hanya bisa diatasi dengan kekayaan, jabatan/kedudukan dan kesenangan hidup lainnya. Ketakutan ini menyebabkan diri merasa miskin, kurang terus dan tidak bisa bersyukur. Ia sebenarnya tahu bahwa ia sudah amat kaya, tapi tidak bisa mencegah dan mengendalikan diri dari rasa takut miskin itu. Obsesinya adalah keterpakuan pikirannya pada harta dan jabatan. Fiksasi pikiran ini berulangkali muncul sehingga mengganggu pikiran dan perasaannya. Ia dihantui pikiran bahwa dirinya miskin dan jabatnnya itu belum apa-apa dan belum bisa menikmati kesenangan hidup, sehingga ini membuatnya ambisius. Ia menduga dan yakin bahwa kesejahteraan dan kesenangan hidup ini hanya dapat dijamin dengan harta dan jabatan.
[9] Pengalaman di Negara-negara maju menunjukkan bahwa semakin modern dan industrial suatu masyarakat, maka penyalahgunaan NAZA semakin cenderung meningkat.
[10] Yang dimaksud dengan zat psikotropika adalah: 1. Golongan psikodesleptika, yaitu Asam Lisergik, dietilamida/LSD, meskalina, psilosibina dan zat lain yang khasiatnya serupa; 2. Golongan stimulansia, yaitu amphetamine dan turunannya dan zat lain yang khasiatnya serupa; 3. Golongan hipnotika, yaitu barbiturate dan persenyawaannya serta zat lain yang khasiatnya serupa; dan 4. golongan ansiolitika dan zat lain yang khasiatnya serupa. Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), p.128-129.
[11] Menurut Hawari, berdasarkan penelitiannya (1990), mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAZA karena interaksi antara faktor-faktor predisposisi (kepribadian; anti sosial/psikopatik, kondisi kejiwaan; kecemasan dan depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga), dan faktor pencetus (pengaruh teman kelompok sebaya dan zatnya itu sendiri-ada dan mudah didapatkan di pasaran).
[12] Intervensi agama juga harus diberikan sesudah seorang penderita penyalahgunaan NAZA selesai menjalani detoksifikasi, memasuki tahapan psikoterapi dan selanjutnya pada tahapan rehabilitasi. Selain berbagai bentuk terapi non-medik, maka selama perawatan bila mereka diberikan kegiatan-kegiatan keagamaan, hasilnya akan lebih baik daripada hanya terapi medik-psikiatrik saja. Begitu pun jika hanya terapi keagamaan saja. Jadi harus dipadukan.
[13] Hadis tersebut merupakan penjelasan Nabi tentang apa yang dimaksud dengan khamr, yang keharamannya di-nas dalam firman Allah surat al-Ma`idah ayat 90-91.

[14] Untuk pembahasan tema ini dan berikutnya, kami ambil dari M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. XI (Bandung: Mizan, 2000)
[15] Semua petunjuk al-Qur’an dan Hadis Nabi yang berbicara tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS 2: 275), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 278), larangan mengurangi dan melebihkan timbangan (QS 83: 1-3). Dan lain-lain.
[16] Tuan rumah mempersilahkan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi gelasnya—penuh atau setengah—sesuai dengan selera dan kehendaknya masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi, jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
[17] Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat ini, al-Qur’an memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara keduanya.
[18] Ayat ini turun sebagai pujian kepada kaum Anshar yang bersedia membela Nabi dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari.
[19] William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan “Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan satu argumen dengan argumen lain. Akibatnya ia dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai hidup kita”.
[20] Ini karena syura` dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang mempunyai sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi/golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama. Jadi walau minoritas, itu artinya ada yang kurang berkenan di hati, sehingga perlu dibicarakan lanjut untuk mufakat, untuk mencapai madu atau yang terbaik. Inilah perbedaan syura` dan demokrasi secara umum. Idealnya mufakat, tetapi jika buntu dan harus mengambil mayoritas, maka artinya kedua pendapat bagus tetapi yang satu jauh lebih baik. Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan: apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik, pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya dan jika keduanya buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.

[21] Pembahasan berikut kami rujuk ke Nina M. Armando…(et al. [Editor Bahasa] ), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), V; dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, cet.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000).
[22] Mawaddah, maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan; artinya kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Dalam cinta, sekali hatinya kesal maka cinta akan pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah tidak lagi akan memutuskan hubungan, sebab hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin dating dari pasangannya). Inilah komentar mufassir Ibrahim al-Biqa’i (1480 M) ketika menafsirkan ayat ini; Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong orang yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami-isteri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya. Karena bagaimana pun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Oleh karena itu Allah berfirman                                                                                   , suami-isteri saling membutuhkan juga harus dapat berfungsi ‘menutup kekurangan pasangannya’, sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya. Pernikahan adalah amanah, sabda Rasul                                                             , kalian menerima istri berdasar amanah Allah. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu. Kesediaan istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan ‘mengganti’semua itu demgan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki ‘asing’ yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka segala rahasianya, merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan bersama ibu-bapaknya, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara kandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai al-Qur’an Mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh),                                                                 (QS an-Nisa [4]: 21.
[23] Poligami sejak dulu sampai sekarang telah ada dan masih ada. Ini untuk mengcounter klaim yang menuding Islam sebagai biang keladi sistem poligami, karena sebelum Islam datang dan sampai sekarang poligami tersebar diberbagai bangsa yang tidak beragama Islam. Poligami justru terjadi pada masyarakat yang telah maju kebudayaannya dan yang sedang mengalami transisi kebudayaannya (bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup berburu yang primitip dan menapak kepada zaman beternak dan menggembala dan bangsa yang meninggalkan cara memetik buah-buahan kepada zaman bercocok tanam). Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan, seperti: Westermark, Hobbes, Heler, dan Jean Bourge. Sebenarnya Agama Kristen tidaklah melarang poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun dengan tegas melarang hal ini. Jika para pemeluk Kristen bangsa Eropa pertama dulu tidak berpoligami, ini tidak lain karena sebagian besar bangsa Eropa penyembah berhala yang didatangi oleh agama Kristen pertama kalinya adalah terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang lebih dulu melarang poligami dan setelah memeluk Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap dipertahankan. Jadi bukan murni ajaran gereja, tapi warisan paganisme. Kemudian gereja mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami dan larangan ini termasuk dalam aturan agama.
[24] Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya; setelah melarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya, kini yang dilarang-Nya adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak yatim itu. Ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali dan sang wali senang akan kecantikan dan harta sang yatim, maka ia hendak mengawininya tanpa memberinya mahar yang sesuai.
[25] Adalah wajar bagi suatu perundang-undangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapah hukum yang boleh jadi terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih sedikit dari jumlah wanita atau betinanya?; rata-rata usia wanita lebih panjang daripada laki-laki, sedang potensi membuahi lelaki lebih lama dari potensi wanita, bukan saja karena wanita mengalami masa haid, tetapi juga karena wanita mengalami manopouse sedang pria tidak mengalami keduanya; dalam peperangan lebih banyak merenggut nyawa laki-laki; kemandulan atau penyakit parah bukan satu hal yang aneh dan dapat terjadi di mana-mana. Jalan keluar apa yang dapat diusulkan kepada suami yang menghadapi kasus demikian? Bagaimanakah ia harus menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh keturunan? Inilah kondisi darurat yang menempatkan poligami menjadi solusinya.
[26] Bukan anjuran karena perintah ayat ini dimulai dengan bilangan dua, tiga, atau empat, baru kemudian kalau khawatir berlaku tidak adil, maka nikahilah seorang saja dengan alasan yang telah dikemukakan di atas, baik dari makna redaksi ayat, maupun dari segi kenyataan sosiologis di mana perbandingan perempuan dan laki-laki tidak mencapai dua banding satu, apalagi empat banding satu .
[27] Bukankah Rasul antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan misinya?
[28] Uraian lengkap tentang riwayat dan istri-istri Nabi, baca Tafsir al-Mishbah jilid II: 326-327.
[29] Hukum Islam sangat keras diberlakukan terhadap pelaku zina karena persoalan memelihara keturunan merupakan salah satu dari lima hal tujuan syara’ yang harus mendapat prioritas (yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta). Hukuman bagi pezina, dibedakan sesuai siapa pelakunya, yaitu pezina muhsan, pezina ghairu muhsan, dan pezina yang berstatus hamba sahaya. Dikatakan pezina muhsan jika ia melakukan zina setelah melakukan hubungan seksual secara halal (bersuami/beristeri atau janda/duda), hukumannya dirajam (dilempari batu sampai mati); pezina ghairu muhsan adalah orang yang melakukan zina tetapi belum pernah melakukan hubungan seksual secara halal sebelumnya, hukumannya dicambuk 100 kali dan diasingkan ke luar kampungnya; sedangkan bagi budak hukumannya 50 kali cambukan, atau yang belum muhsan cukup dita’zir (ditentukan oleh hakim).
[30] Mendahulukan penyebutan kata ‘az-zaniyah’/perempuan pezina atas ‘az-zani’, bukan saja disebabkan karena bukti perzinahan dapat tampak dengan jelas pada wanita akibat kehamilannya atau dampak negatif akibat zina lebih banyak ditanggung wanita ketimbang lelaki, tetapi juga—dan lebih-lebih—karena walaupun keduanya bersalah dan menjadi penyebab terjadinya perzinahan, karena maksiyat itu tidak akan terlaksana kecuali keterlibatan dan kerelaan dua belah pihak, tetapi agaknya kesalahan wanita berganda. Ini karena zina biasanya terjadi di tempat yang tersembunyi, ngapain seorang gadis (perempuan) pergi sendiri tanpa mahram (ini ketentuan Islam)—ini kesalahan pertama, dan yang kedua perzinahan itu sendiri. Lihat Tafsir al-Mishbah, IX: 281-282.
[31] Masing-masing poin dari konsekuensi pezina masih debatable; larangan bagi mukmin mengawaini pezina berdasarkan an-Nur (24) ayat 3, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. Silahkan lihat uraian lengkapnya dalam Ensiklopedi Islam, Vol: VII.
[32]Dalam perzinahan ada pembunuhan akibat tidak jelasnya siapa ayah seorang anak, sebagaimana ia menjadi sebab adanya sesuatu yang batil sedang pembunuhan adalah menghilangkan sesuatu yang hak. Sayyid Quthub menulis bahwa dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam beberapa segi: 1. penempatan sebab kehidupan (sperma) bukan pada tempatnya yang sah, sehingga ingin aborsi. Kalaupun lahir hidup, biasanya dibiarkan begitu saja tanpa ada yang memelihara dan mendidik (ini salah satu bentuk pembunuhan). 2. pembunuhan terhadap masyarakat (yang merajalela perzinahan), karena menjadi tidak jelas dan bercampur baur keturunan seseorang serta menjadi hilang kepercayaan menyangkut kehormatan dan anak, sehingga hubungan antar masyarakat melemah yang akhirnya mengantar kepada kematian umat, dan 3. zina juga membunuh masyarakat dari segi kemudahan melampiaskan nafsu sehingga kehidupan rumah tangga menjadi sangat rapuh, padahal ia merupakan wadah yang terbaik untuk mendidik dan mempersiapkan generasi muda memikul tanggung jawabnya.
[33] Komitmen agama pada kesehatan terbukti. Agama dapat melindungi, mencegah dari penyakit, mempertinggi kemampuan untuk menahan derita sakit dan mempercepat proses penyembuhan (di samping obat dan tindakan medis lainnya). Dalam menangani kasus AIDS diperlukan pendekatan BIOPSIKOSOSIOSPIRITUAL, artinya melihat pasien tidak semata-mata dari segi organobiologik, psikologik/kejiwaan, psikososial, tetapi juga aspek spiritual/kerohanian. Pasien tidaklah dipandang sebagai individu seorang diri melainkan sebagai seorang anggota dari sebuah keluarga, masyarakat, serta lingkungan sosialnya, juga orang yang dalam keadaan tidak berdaya memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual. Diperlukan perlakuan koordinatif dalam merawat dan terapinya, tidak hanya pada penderita tapi juga keluarga dan masyarakat sekitarnya.
[34] Salah satu ciri masyarakat modern dan industri adalah adanya ketidakpastian fundamental di bidang nilai, moral, dan etika kehidupan. Dalam realita, proses modernisasi dan industrialisasi bila tidak dilandasi agama telah membawa harga diri serta martabat manusia menurun, bahkan tidak lebih sekedar ‘materi’. Suatu proses ‘dehumanisasi’ yang dibuat manusia itu sendiri.
[35] ABC: A; Abstinentia Sexual: puasa seks/pantang seks (safe sex is no sex), B; Be faithful: setia pada pasangan—suami/istri saja—tidak menyeleweng (mutually faithful monogamy), C; bagi yang bandel dan nakal  pakailah condom. Jika tertular itu artinya mengundang kematian sendiri dan jika menulari orang lain = membunuh.
[36] Mengapa kotor atau perlu dihindari, sedang Allah sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 187: “ Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu”.
[37] Dalam pengamatan sejumlah ulama al-Qur’an, ayat-ayat yang memakai kata ‘jangan mendekati’ seperti ayat tentang zina ini, biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa/nafsu untuk melakukannya; larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya. Hubungan seks seperti perzinahan, maupun ketika istri sedang haid, demikian pula perolehan harta secara batil, memiliki rangsangan yang sangat kuat, karena itu al-Qur’an melarang mendekatinya. Memang yang berada di sekeliling jurang, dikhawatirkan terjerumus ke dalamnya. Adapun pelanggaran yang tidak memiliki rangsangan yang kuat, maka biasanya larangan langsung tertuju kepada perbuatan tersebut, bukan larangan mendekatinya. Baca uraian lengkapnya dalam Tafsir al-Mishbah, VII: 456-457. Dalam kaidah fiqhiyah juga ada kaidah:                                                                    , setiap sesuatu yang mendatangkan hal yang haram adalah haram.
[38] Allah yang maha Esa telah menciptakan manusia bahkan semua makhluk normal hanya terdorong kepada lawan seksnya, dalam rangka memelihara kelanjutan jenis mereka. Kenikmatan yang diperoleh dari hubungan tersebut bersumber dari lubuk hati masing-masing pasangan bukan hanya kenikmatan jasmani tetapi juga kenikmatan ruhani. Dan gabungan kenikmatan dua sisi itulah yang menjadi jaminan sekaligus dorongan bagi masing-masing untuk memelihara jenis dan sebagai imbalan kewajiban dan tanggung jawab memelihara anak keturunan. Mereka yang homo atau lesbi, hanya mengaharapkan kenikmatan jasmani yang menjijikkan sambil melepaskan tanggung jawabnya. Ini belum lagi dampak negatif terhadap kesehatan jasmani dan ruhani yang diakibatkannya. Oleh karena itu mereka yang homoseks ataupun lesbian sebenarnya mereka sakit jiwanya, karena salah satu ciri jiwa yang sehat adalah mampu mengendalikan diri dan bertanggung jawab.
[39] Dalam surat asy-Syura` (42): 11, dijelaskan binatang ternak pun berpasangan untuk berkembang biak. Manusia pun demikian, tetapi untuk binatang tidak disebutkan kalimat mawaddah dan rahmah, sebagaimana dalam ar-Rum tentang pernikahan manusia. Hal ini karena manusia diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu sebagai khalifah. Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami-istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia yang malaikat pun berkeinginan untuk mengemban tugas itu, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.
[40] M.Quraish Shihab, setelah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzul-nya, dan pendapat berbagai mufassir, menyimpulkan bahwa ilat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya, sebagaimana yang terdapat di akhir ayat 279 al-Baqarah. Oleh karena itu yang diharamkan adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang. Kesimpulannya ini didukung oleh praktek Nabi SAW yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Lihat keterangan lengkapnya dalam Ensiklopedi Islam, VI: 58-59.
[41] Riba dalam syari’at Islam ada dua macam, yaitu riba an-nasi’ah dan riba fadal. Riba an-nasi’ah adalah transaksi yang dilakukan oleh orang Arab jahiliyyah; kedua orang yang bertransaksi telah memahami kewajiban dan hak masing-masing. Adapun Riba fadal ialah pertukaran barang dengan barang sejenis dengan ketentuan terdapat kelebihan pada salah satu barang tersebut. Misalnya, 1 kg beras jenis A ditukar dengan 2 kg beras B.
[42] Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena substansi keduanya sungguh berbeda. Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak, dan keuntungan yang diperoleh karena kerja sehingga menuntut aktifitas manusia; mengandung kemungkinan untung dan rugi, tergantung kepada kepandaian mengelola, kondisi dan situasi pasar pun ikut menentukan, sedangkan riba: merugikan salah satu pihak; yang menghasilkan keuntungan adalah uang bukan kerja, sehingga tidak membutuhkan aktifitas manusia, riba menjamin keuntungan bagi kreditor dan tidak mengandung kerugian; riba tidak membutuhkan kepandaian, dan kondisi pasar pun tidak terlalu menentukan.
[43] Yamhaq: memusnahkan; mengurangi sedikit demi sedikit hingga habis. Penganiayaan yang timbul karena praktek riba menimbulkan kedengkian di kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit bertambah dan bertambah, sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang membinasakan. Selanjutnya, lawan riba dalah sedekah. Jangan menduga penyuburan, penambahan, dan pengembangan itu hanya dari sisi spriritual atau kejiwaan (ketenangan batin dan ketentraman hidup yang diraih pemberi dan penerima) yang lahir dari sedekah. Karena secara material, sedekah mengembangkan dan menambah harta;  orang yang bersedekah dengan tulus, akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini pada gilirannya melahirkan ketenangan dan ketentraman jiwa yang dapat mendorongnya untuk lebih berkonsentrasi dalam usahanya. Di sisi lain, penerima sedekah dan infaq, dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya beli dan penambahan produksi.
[44] Tinggalkan sisa riba, yakni yang belum dipungut. Al-Abbas, paman Nabi, bersama seorang keluarga Bani Mughirah, bekerjasama mengutangi orang-orang dari kabilah Tsaqif secara riba. Setelah turunnya larangan riba, mereka masih memiliki sisa harta yang belum mereka tarik, maka ayat ini melarang mereka mengambil sisa riba yang belum mereka pungut dan membolehkan mereka mengambil modal saja. Dengan demikian kamu tidak menganiaya mereka dengan membebaninya pembayaran hutang yang melebihi apa yang mereka terima, dan tidak pula dianiaya oleh mereka karena mereka harus membayar penuh sebesar hutangnya. Tetapi harta kan mengalami penyusutan nilai? Jangan berkata demikian jika Anda percaya bahwa harta mempunyai fungsi sosial dan jika Anda percaya bahwa kelak di hari kemudian akan meperoleh pahala yang lebih besar.
[45] Tangguhkan penagihan sampai yang berhutang lapang. Jangan menagih dulu kalau sedang sempit, apalagi memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat mereka butuhkan. Yang menangguhkan itu, pinjamannya dinilai sebagai qard al-hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia menangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya ganjaran sehingga berlipat ganda ganjaran itu. Dalam al-Hadid (57): 11.                                                                                                                         Ia melipatgandakan, karena ketika itu yang meminjamkan mengharap pinjamannya kembali, tetapi tertunda, dan diterimanya penundaan itu dengan sabar dan lapang dada. Ini berbeda dengan sedekah, yang sejak semula yang bersangkutan tidak lagi mengharapkannya.
[46] Lihat uraian lengkapnya dalam Yususf al-Qaradhawi, al-Halal wal-haram, p. 372-373;  Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, III: 101-102.
[47] menurut Wahbah az-Zuhaili, apabila standard riba yang digunakan adalah pandangan ulama mazhab fikih klasik, maka bunga bank termasuk Riba nasi’ah. Karena bunga bank tersebut termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu.
[48] Alasannya, jika seseorang memberikan kepada orang lain harta/uang untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu (persentase) baginya dari hasil usaha tersebut. Karena transaksi ini menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba yang diharamkan, merugikan salah seorang tanpa sebab, kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui penganiayaan dan ketamakan. Pendapatnya ini yang menjadi pegangan orang yang membedakan antara kredit untuk investasi dan kredit konsumtif; jika untuk konsumtif, bunga bank haram, sedangkan untuk investasi boleh.
[49] Pendapat ini yang diamanatkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il NU, karena dari dua lembaga ini, tidak secara tegas halal-haramnya bunga bank (mutasyabihat), dan mendesak untuk merealisasikan lembaga keuangan Syari’ah. Dalam menyikapi perbedaan pendapat, hendaklah direnungkan sebuah Hadis:                                                                                                 “Tidak (pernah) berkumpul yang halal dengan yang haram, kecuali yang lebih dominan adalah yang haram. (HR. al-Baihaqi), dan kaidah yang menyatakan ‘keluar dari perbedaan pendapat adalah lebih utama.
[50] Memang benar, riba dianggap tidak canggih dibandingkan dengan bunga. Tetapi menyebut riba dengan nama bunga, adalah tidak mengubah sifatnya. Kenyataan mengenai hal ini adalah bahwa istilah ekses harus diambil dalam arti relatif, karena apa yang merupakan ekses layak hari ini, mungkin dianggap suku bunga luar biasa tingginya atau bersifat Riba pada hari esok. Banyak perkumpulan koperasi Indo-Pakistan yang mengenakan bunga 12-15 persen (waktu itu dianggap layak), namun kini bunga sebesar itu dianggap terlalu tinggi. Karena itu, larangan terhadap riba berarti dilarangnya semua jenis ekses atas modal yang dipinjam, entah itu disebut bunga yang terlampau tinggi, bunga atau penghasilan modal. Karena sesungguhnya modal yang ditanamkan dalam perdagangan mungkin membawa keuntungan yang tidak tetap dan mungkin rugi, namun bunga akan tetap dan tidak mengandung kerugian apapun. Pendapat Mannan ini dikemukakan ketika mengomentari pernyataan para bankir menjawab mengapa bunga bank dibayarkan, konsensus pendapat mereka menganggap bahwa bunga merupakan tambahan tetap bagi modal; biaya yang layak bagi digunakannya uang dalam suatu proses produksi. Sedangkan riba mengacu pada bunga uang yang terlalu tinggi pada pinjaman tidak produktif (padahal dalam sejarahnya, pra-Islam, orang Yahudi Madinah meminjamkan uang tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk perdagangan). Lihat keterangan lengkap dalam M. Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice, Terj. M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), p.118-121.
[51] Dengan mempertahankan rangsangan bekerja melalui motif keuntungan, perekonomian Islam yang bebas bunga, di satu pihak, akan menjamin adanya produksi yang maksimum, sehingga memelihara salah satu ciri penting sistem kapitalis. Dengan melarang bunga atas modal dan tidak diperkenankannya pertumbuhan kelas kapitalis dalam perekonomian, di lain pihak akan menjamin adanya distribusi pendapatan nasional yang adil yang dikehendaki oleh sistem sosialis.
[52] Ia tidak hanya mengorbankan faktor produksi lain tetapi juga mengorbankan para konsumen miskin. Bunga merupakan suatu sarana pendapatan tanpa kerja yang mencolok. Hal ini dibenci oleh pekerja yang menganggap bahwa dengan demikian sebagian dari hasil pekerjaannya dirampas, para konsumen pun dihisap, karena bunga masuk sebagai biaya produksi, oleh karena itu akan memperlambat pulihnya keadaan jika depresi menyerang perniagaan, perdagangan, dan industri. Harga tidak dapat dinaikkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas; biaya untuk menjalankan usaha naik dan mengurangi keuntungan; cadangan bank turun dan menjadi sulit untuk mendapatkan laba tambahan. Bila laba berangsur hilang ditambah bunga yang tinggi, maka para kreditor menjadi gelisah, sehingga permintaan untuk likuidasi menjadi pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar