Cari Blog Ini

Jumat, 13 Januari 2012

*Klasifikasi Lafadz; Dilalah Wadih wa Ghairu Wadih



Prolog

Syariat Islam sebagai syariat Nabi dan Rasul yang terakhir; Muhammad Saw—, memiliki kesempurnaan sistem baik ditinjau dari aspek teks (al-Qur'an dan al-Hadist) maupun dalam implementasinya dalam bentuk konteks sosial. Diantara ciri khas sayariat Islam menurut DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., dalam bukunya Islam Aplikatif, antara lain menyebutkan; kompherensif dan universal. Kompherensif beraarti syariat Islam mecakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik ritual (ibadah Mahdloh) maupun sosial (muamalah temasuk sosio kultural, ekonomi dan civil scoeity ), serta Universal menyangkut segala aspek kehidupan demikian penerapanaya tanpa batas waktu dan tempat.

Namun menurut salah satu tokoh kiri Islam yang layak kita kritisi dalam salah satu seminarnya mengemukakan; bahwa dalam persoalan muamalah tidak ada ketentuan yang pasti di mana Allah menentukan “otoritas kebijakan yang permanen” terhadap bentuk hukum yang wajib dipraktikkan umat Islam. Yang ada hanyalah nilai-nilai pokok universal dalam Islam sebagaimana juga ada dalam semua agama. Karena itu jika ingin menetapkan suatu hukum dalam soal muamalah di suatu masyarakat harus melalui jalan ijtihad tanpa perlu terikat pada sistem hukum yang baku dalam Alquran maupun Sunnah, sebab dalam hal ini tidak ada “Hukum Tuhan” dalam arti ma'na lafadznya secara mutlak dan permanen.
Dengan demikian diperlukan suatu instrumen lain untuk menjembataninya, yaitu suatu perangkat yang menyesuaikan antara ma'na teks dengan konteks yang selalu baru. Dalam hal inil Ushul Fiqhlah yang menjembatani anatara ketetapan-ketetapan al-Qur'an dan as-Sunnah dalam konteks Nash yang permanen dan prisipil dengan konteks sosial masyarakat yang selalu berubah-ubah dan bersipat Variable. Untuk itu dalam pembahasan Syariah muamalah kita kenal istilah Tsawabit wa Muthagoyirat (prinsip dan Variable). Dalam bidang ekonomi, misalanya yang merupakan prinsip adalah larangan riba, pengambilan keuntungan, pengenaan Zakat, dll. Sedangkan variable adalah instrumen untuk melaksanakan prinsip tersebut, misalanya murabahah, mudharabah dan lain-lain yang sesuai dengan perkembangan sosio kultural dan tuntutan zaman.
Walaupun pada dasarnya Ushul Fiqih merupakan kodivikasi kaidah-kaidah universal yang membantu untuk mengintisarikan pokok-pokok Syari'ah furuiyah, yang terambil dari dalil-dali nash secara ekplisit dan terperinci, namun dari sinilah sejatinya ilmu Fiqih terlahir sebagi produk instant dari Usuhul Fiqh.

Maka bentuk kekhawatiran para liberalis terhadap syariah, dimana mereka menuduh syariat sebagai perangkat Islam yang memiliki kejumudan tanpa membangun wacana kesepadanan antara teks dengan kontks rill sosial masyarakat yang terus maju dan berubah-ubah adalah tidak benar adanya. Begitu pula kekhawatiran mereka terhadap Bibliolatry meminjam istilah T.H. Huxley yang dikutip Ulil Absahar Abdala dalam sebuah tulisananuya Menghindari Bibliotary, tentang Pentingnya Menyegarkan kembali pemahaman Islam, yaitu sebuah kecenderungan umat terhadap Holy suprame dalam hal ini (al-Qur'an) dan al-Hadist, sebagai bentuk "penyembahan teks"—menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu"suprame", begitu tinggi, sehingga mengalahkan pengalaman rill kehidupan manusia yang multi tradisi dan sosio kultural adalah pernyataan yang sangat tidak logis dan tidak berdasar.
Demikian dengan Fiqih sebagai instrumen syari'ah, dalam perkembanganya telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang berisikan kodipikasi-kodipikasi syar'iah melalui berbagai kajian serta hasil ijtihad para ulama yang tentunya memiliki cakupan sangat luas, yaitu mencakup segala ilmu , termasuk di dalamnya akhlak, ibadah dan muamalah.
Diantara beberapa bahasan Ushulul Fiqh, Klasifikasi lafadz merupakan salah satu pembahsan yang cukup urgen, bahkan dapat disebut sebgai intisari bahasan. Untuk itu perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam lagi terkhusus dalam hal ini, karena pembahasanya sangat berkaitan erat dengan Istinbhatil Ahkam.
Setelah sedikit berapologi dan agar tidak keluar dari esensi bahasan, dalam pembahsaan kali ini kita masih berkutat pada Klasifikasi Lafadz, Jika kemarin menurut pemakaianya maka kali ini pengkalisifkasian menurut dilalahnya. Untuk lebih lanjut mari kita simak penguraian di bawah ini dimana penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan yang harus dikritisi, mudah-mudahan tidak merasa puas dengan makalah ini dan itu yang sejatinya penulis harapkan.
1.      Klasifikasi Dilalah Wadih
Ada persamaan kategori pengkalsisfikasian Wadihu Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu uhulul Fiqah karya Abdul wahab Khalaf, keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar 4. Muhkam. Penulis menyimpulkan bahwa keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengklsifikasikan dilalah menurut Qoidah Ushulul fiqh. Karena dalam kitab Nuhayat ass-Sul karya imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi yang bermadzhab Syafi'i, pengkalsifikasikan lafadz dalam kitab tersebut sangat dipengaruhi dengan kaidah ilmu manthiq.
Sebelum memebahas Dilalalah berikut kalsifikasinya secara lebih jauh, terlebih dahulu kita akan membahas Takwil sebagai perangkat penting sebelum membahas dan mentafsirkan bentuk lafadz-lafadz dalam ranah dilalah, walaupun penjabaranya hanya bersipat global hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang klasifikasi lafadz.

Takwil

Definisi Takwil secara etimologi: Tafsir. Sedangkan menurut terminologi para ahli ushul mengartikan takwil; sebagai pembebasan arti lafadz dari ma'na aslinya ke ma'na yang lain berdasarkan dalil yang kontradiksi dengan lafadz tersbut, maka seyognyanya pentakwilan (lafadz) harus di barengi dengan suatu dalil yang berlawanan denganya—demikian karena Al aslu adamuhu, dan konsensi wajib terletak pada kejelasan lafazdnya tersbebut.
Contoh pentakwilan: Taqyidul muthlaq (pengikatan hal yang muthlak), Takhsisul Amm (pengkhususan hal yang bersifat global), Sharafahu ann umumahu (pebebasan mana yang global)

Al-majaal Attakwil
Bentuk pentakwilan memasuki dua area dalam nash;
pertama: Nash yang berisikan hukum pentaklifan, dikarenakan keraguan yang tumbuh dalam benak seorang mujtahid dalam mentakwilkan lafadz dalam memahami ma'na bahasanya untuk selanjutnya menjadikanya sebuah kesimpulan hukum syara' dari nash tersebut.
Kedua: Nash-nash permanent yang berisikan keyakinan dan I'tikad, sebagimana ayat-ayat yang membahas sifat-sifat Allah, Ahrufulmiqhoto'ah dll.

Syarat-syarat Takwil
Pertama; suatu lafadz (yang memiliki kontardiksi ma'na) sehingga memrlukan dan menerima pentakwilan, sebagaiamana dilalah Dzohir dan Nash.
Kedua: Sebgaimana lafad muthlaq yang memerlukan pentakyidan/ikatan atau pemgkhusussan lafadz Amm.

Penjabaran takwil dicukupkan demikian walaupun sejatinya masih cukup panjang, masih banyak pembagian-pembagian lain yang belum kami cantumkan, hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang perangkat-perangkat lafadz.

Klasifikasi Lafadz

Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat anatar ulama dalam meng-klasisfikasikan lafadz, diantara yang penulis ketahui; Syafi'iah dan Hanafiah , secara garis besar perbedaan mencolok diantara keduanya, yaitu dalam methode pengklasifikasian, jika Hanafiah cenderung sistematis dan sedikit mudah untuk dipahami, sedangkan Syafi'iah cenderung klasik dan manthiqi sehingga sedikit sulit untuk dipahami.
Namun penulis disini hanya akan mengklasifikasikan lafadz terbatas pada methode Hanafiah, hal tersebut karena mengikuti silabus kajian yang mengikuti methode Hanafiah. diantaranya terdapat dalam Ushulul fiqh al-Islami karya Wahbah Zuhaili serta Al-Imu Ushulul Fiqh karya Abdullah bin Khalaf.

Terdapat persamaan kategori pengkalsisfikasian Wadih Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu Ushulul Fiqah karya Abdul Wahab Khalaf. keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar dan 4. Muhkam. Sehingga ada kemungkinan keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengambil Qoidah Ushulul fiqh.

I. Dzohir

Dzohir secara etimologi; bearti jelas. Sedangkan menurut terminologinya yaitu; setiap lafadz atau kalam yang memiliki ma'na eksplisit terhadap obyek pembaca melalui konotasi bahasanya tanpa harus menukilkan ma'na lafadz terhadap hal-hal skunder diluar maksud lafadz tersebut, baik lafdz tersebut mengandung ma'na yang luas ataupun tidak. Sebagaimana Firman Allah {Ya Ayyuhannasuttaqu rabbakum} atau ayat lainya { Azani wazzaniatu fajlidu kullu wahiddin minhuma} kedua Ayat diatas memiliki Dilalah yang cukup jelas sehingga tidak perlu mentakwilkannya secara lebih ekplisit lagi.
ketika maksud suatu ayat dapat dipahami tanpa memerlukan penukilan terhadap ma'na lainya, akan tetapi bukan merupakan maksud asli dari konotasi bahasanya, maka hal itu dapat mengi'tibarkan kalam tersebut keapada--maksud kalam tersebut secara eksplisit
Contoh: {Fankihu maa thooba lakum minanannisa mastna wa stulasa wu ruba'a} ayat tersebut secara jelas menunjukan ke legalan berpoligami dalam memiliki istri, tetapi ma'nanya tidak menunjukan kepada arti luas dari ayat tersebut karena maksud utama dari konotasi ayat tersebut adalah meminimalisir jumlah istri dari empat atau satu saja sebagaimana diatas.

Hukum Dzohir
Hukum Dzohir wajib mengamalkan petunjuknya secara yakin dan pasti, baik lapadz tersebut bersifat umum ataupun khusus terkecuali apabila terdapat dalil lain yang mengeliminasi ke udhulan-ya, baik mengarah kepada maksud lain atau adanya dalil lain yang menunjukan pendiskualipikasian lafadz yang dimaksud, sebagaimana lafadz muthlaq yang memerlukan taqyid. Contohnya pada ayat tentang kelegalan berpoligami yang masih muthlaq {Wa ahallalohu maa wa'roa dzalikum}, ayat tersebut di taqyid dengan ayat lain {Mastna wa tsulasa wa rubba'a}, dan dalam suatu hadits tentang pelarangan seorang gadis hidup bersama pamanya.

II. Nash
Nash menurut definisi para ahli ushul: setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na atau maksud asli lafadz secara jelas, melalui konotasi lafadz tersebut dengan menggunakan perangkat takwil, takhsis dan menerima nasakh (khusus di masa turunya wahyu).
Contohnya: {wa ahalallohu al-Bai'a wa harroma arriba} disatu pihak ayat tersebut menunjukan pengingkaran "misal" dan di pihak lain menerangkan perbedaan antara; jual beli dengan riba dari segi halal dan haramnya.
Maksud ayat tesebut jelas yaitu pelegalan jual beli dan pelarangan riba, sebagai sanggahan terhadap statemen orang Yahudi terhadap riba yang terdapat pada ayat sebelumnya { Innamal Bai'a mistlu ar-riba}

Hukum Nash
Nash wajib hukumnya, sebagaimanan hukum Dzohir dengan pertimbangan takwil dan nasakh, meskipun pentakwilan tidak di sandarkan kepada suatu dalil atau pentakwilanya berada jauh dari ma'na dzohirnya, kedudukan nash bersifat tetap hukumnya Qat'i dan yakin.

III. Mufassar
Definisi Mufassar yaitu: setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na serta maksud lafadznya secara dzohir tanpa menyertakan perangkat takwil dan takhsis akan tetapi menerima nasakh (terbatsa pada masa turunya wahyu berlangsung).
Dalam menerangkan suatu lafadz, Mufasssar terbagi dua bagaian.
Pertama: Bayanu at-Taqrir.
Yaitu suatu keterangan dengan perfikasi takhsisulafdzi, majaz dan takwil apabila berbentuk umum dan mengubahnya menjadi lafadz muakkad.
Contohnya: {Tholaki nafsiki marrotan wahidatan} lafadz (wahidatan) dalam hadits tersebut menunjukan kemungkinan pentalaqan lebih dari satu kali, sehingga perlu keterangan lain untuk menafsirkanya.

kedua: Bayanu at-Tafsir.

Yaitu suatu keterangan dengan menafsirkan ma'nanya yang tersembunyi meliputi lafadz tersebut serta menjelaskanya sehingga lebih eksplisit.
Contohnya: {Fasajjada al-Malaikat kulluhum ajmaun}" kata mlaikat disini bersifat umum sehingga memerlukan pengkhususan-- karena perkataan yang didahului alif lam akan bersifat jama'(umum). akan tetapi kalimat malaikat disini telah bersifat khusus (dengan maksud) sebagaian malaikat tidak melaksanakan sujud. kalimat (kulluhum) disini menunjukan pembebasan taksis, hal ini menunjukan bayan taqrir. sedangkan kalimat ( ajmaun) menghilangkan ihtimal pelaksanaan sujud yang berbeda-beda; hal ini disebut dengan bayan tafsir, menafsirkan kaifiyah sujud, serta membatasi ihtimal perbdaan takwil.


Hukum Mufassar

Kedudukan hukumnya bersifat wajib qoth'i, tanpa memerlukan ihtimal takwil atau takhsis serta nasakh di masa nabi, dengan syarat apabila hukumnya tersebut bersifat Juz'i; karena masa pemberlakuan nasakh (penghapusan ma'na nash) terbatas pada saat turunnya wahyu berlangsung, adapun setelah wafatnya Nabi Muhammmad. Saw dan terputusnya wahyu, kedudukan hukum syara' dalam al-Qur'an dan Sunnah menjadi ketetapan hukum yang permanen tanpa menerima nasakh dan Ibthol

IV. Muhkam

Muhkam menurut terminologi para ahli Ushul; Yaitu lafadz yang menunjukan kepada ma'nanya melalui konotasi lafadz tersebut secara jelas dan terperinci tanpa menggunakan takwil, takshsis dan nasakh. Hal tersebut karena lafadz Mufassar menyangkut permasalahan asasi, seperti halnya Ushulul Iman, Ushulul fadhail dan Qaidah akhlakiah.

Dalam kitab Ushulul Fiqh Alislami, Wahbah Zuhuaili mengkalsisifikasikan Muhkam kepada dua tema;

Pertama: Almuhkam Lidzatihi, yaitu suatu konsensus hukum yang terambil dari dzat nash tersebut. Sebagaimana Firman Allah {Innalaha Bii kulli syain Alim} maka sifat alim bagi Allah bersifat qadim azali yang artinya berdiri sendiri dengan dzatnya ta'ala, maka pembahasannya ini tidak menerima Nasakh, maupun takwil karena pembahsanya yang bersifat permanen dan tetap mengenai sifat Uluhiyah
Kedua: Al-muhkam Li Ghoirihi, yaitu lafadz yang terhukumi disebabkan perkara lain diluar nash, yaitu setiap Nash yang terputus penasakhan-nya disebabkan terputusnya (masa penurunan) wahyu kerana wafatnya Nabi Saw., Maka hukum tersbut (dapat) datang dari perkara lain diluar Nash, hal tersebut meliputi berbagi macam dilalah wadih yang empat; Dzohir, Nash, Mufassar, dan Al-muhkam.


Hukum Muhkam:

Hukumnya wajib Qoth'i tanpa ada keraguan lagi, dikarenakan tidak ada pertimbangan lain untuk mem'anainya ke arti yang lain serta tidak pula menerima nasakh dan pembatalan nash secara muthlaq, baik dimasa turunya wahyu maupun setelah wafatnya Rasul Saw.


Kesimpulan Dilalah Wadih

Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, Mufassar dan Muhkam), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, aka tetapi ke-empatnya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.

Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang paling kuat dari ke-empat macam lafadz tersebut Karena ke-empatnya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah: Almuhkam, Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.

Contoh kontradiksi; antara dzohir dan nash;

Dalam sebuah Ayat {Wa ahllallohu maa waraa'a dzlikum}, dengan ayat lain: {Fankihuu maa Thoaba lakum min annisa'i mastna wa tsulasa wa rubaa'a}. Kedua ayat tersebut sama-sama menunjukan kelegalan berpoligami, akan tetapi ayat pertama berbentuk dzohir, tanpa ada batasan jumlah (red;istri), sedang pada ayat ke-dua berbentuk nash, karena menunjukan batas jumlah istri dalam ber-poligami (satu sampai empat istri), serta larangan melebihkannya. Secara langsung kedua dilalah ini menunjukan sebauh kontradiksi ma'na. Adapun caranya dengan mendahulukan nash, dengan alasan nash lebih kuat dibandingkan dzohir dalam pengamalan dan pengambilan istinbath hukumnya, karena nash bersifat global mencakup kedua dilalah dengan mempertimbangangkan (lafadz dzohir) sebagai tamtsil terhadap pertimbangan lain yang sepakat dengan nash. Hal ini sesui dengan kaidah umum ushul fiqh; Al-aqwa yuqoddimu ala adh'ap i'nda Att-aarud.


Untuk menghemat penulisan, sekian contoh yang penulis sertakan, untuk contoh lebih lanjut kita akan mencoba membahasnya pada saat diskkusi nanti Insya Allah. Selanjutnya kita akan memebahas judul berikutnya.


Klasifikasi Dilalah Ghairu Wadih


Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih; Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafii, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai dengan kategorinya.


Pandangan Umum.

Kategori peng-klasifikasian tingkatan dilalah Ghairu Wadih berdasarkan kesamaran/ketersembunyian lafadz serta Ma'na yang terkandung di dalamnya. Apabila kesamaranya terdapat pada ma'nanya maka disebut: Khafa. Sedangkan apabila kesamaranya terdapat pada Lafadz terbagi kepada tiga bagian: pertama, apabila maksud atau ma'na dari lafadz tersebut masih dapat diketahui melalui akal disebut: Musykil, kedua, bila diketahuinya dengan dalil Naqli dan tidak dengan akal disebut: Mujmal, ketiga, apabila maksud lafad yang tersembunyi tidak bisa di ketahui dengan akal maupun dalil naqli disebut; Mutasyabih. Untuk emnegtahui dalil mutaysabih lebih lanjut akan penulis uraikan dibawah ini.


I. Khafa


Menurut terminologi para Ahli Ushul: Khafa adalah Suatu lafadz yang menunjukan ma'nanya secara jelas, akan tetapi terdapat beberapa hal yang samar pada sebagian tingkatan ma'nanya yang lain, sehingga membutuhkan penela'ahan dan pengkajian yang mendalam untuk mengetahuinya.

Contohnya: Lafadz {Assariqu} dalam ayat {wassariqu wa sarriqotu faktau' ayidiyahuma} , definisi Assariqu (mencuri) sangat jelas: yaitu merampas hak milik orang lain berupa harta Haraz dengan jalan sembunyi-sembunyi.
Pengambilan hukum menjadi samar bila kata sariqah disandingkan dengan kejahatan yang sejenis akan tetapi terdapat perbedaan dalam cara mengerjakanya, contohnya; Atharar dan Annabasy . Walupun ma'nanya hampir sama ( kegiatan mencuri), namun ada perbedaan cara serta obyek yang diambil, hal inilah yang menjadikan keraguan dan perselisihan pendapat para ulama apakah ke-tiganya dikategorikan hukum sraiqoh (potong tangan), ataukah tidak, dalam hal ini perlu pengkajian dalam menentukan hukumnya.

Diantaranya Imam Syafi'i dan Imam Abu Yusuf sepakat menghukumi ketiganya dengan hukum sariqah, akan tetapi Imam Hanafi memiliki pendapat lain dalam menghukumi Annabasy, menurutnya kasus Annabasy ini tidak bisa dikategorikan dengan hukum sariqoh, alasanya; karena (harta) yang terdapat di pekuburan tidak termasuk harta yang dipelihara/dijaga, dan kafan umumnya termasuk harta yang sifatnya tidak diingini banyak orang oleh karena itu, penamaanya pun berbeda (tidak sriqu kaffan), maka hukum Annabasy, masih menurut Hanafi tidaklah sama dengan hukum sariqoh akan tetapi dihukumi dengan ta'jir. Berbeda halnya dengan Imam Syafi'i dan Imam Yusuf yang mengkategorikanya dengan hukum Sariqah (dipotong tanganya).

Hukum Khafi:

Wajib mengadakan usaha untuk mengetahui pengertianya serta ma'nanya, apabila terdapat lafadz yang justru lebih jelas (Atharar: perampokan), maka hukumnya di kembalikan ke asal lafadz aslinya (sariqoh: pencurian)

II. Musykil


Menurut para ahli Ushul, Musykil adalah: setiap lafad yang tersembunyi ma'nanya disebabkan bentuk asal lafadznya tersebut, oleh karenanya tidaklah mudah mengetahui ma'nanya kecuali dengan pengkajian dan perbandingan ma'na/maksud dengan perangkat lain secara seksama.

Contohnya: {wal muthalaqatu Yatarabbasna bi anfusihinna tsalasatu quruuin} , lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru'sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil. walupun Wahbah Zuhaili dlam kitabya merajihkan pendapat pertama. pada dasarnya keduanya memiliki alasan yang kuat namun penulis disini tidak bermaksud mencantumkanya semoga dapat ditemukan dalam diskusi nanti.


Hykum Musykil

Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk mengetahui maksud serta ma'na lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.


III. Mujmal


Para ahli ushul mendefinisikan Mujmal; setiap lafadz dimana sighohnya tidak menunjukan kepada ma'na asli lafadz tersebut tanpa ada pembanding atau konteks yang menjelaskannya, sehingga dengan kata lain sebab ke abstrakan ma'nanya dikarenakan lafadz bukan maksudnya.



Sebab-sebab dilalah Mujmal;


Pertama: al-Isytirak ma'a adamu al qorinah, kedua: gharabtul isti'mal ketiga: Annaqlu minal ma'na allughowi ilaa ma'na isthilahi.


Hukum Mujmal:

Penetapan ijtihad ma'na dilalah Mujmal terbatas hanya pada masa turunya wahyu sebab ma'nanya yang sangat mubham serta tidak ada sighah lafadz atau dalil lain sebagai pembanding untuk menjelaskan ma'nanaya, maka penafsiran ma'nanya langsung dari Nabi Saw., Tanpa memakai perangkat ijtihad.


IV. Mutasyabih


Definisi Mutasyabih menurut para ahli ushul yaitu: suatu lafadz yang sama sekali tidak menunjukan arti lafdz tersbut dengan sendirinya, tanpa ada Qrinah-qorinah lain yang membantu menjelaskanya, akan tetapi mayakininya secara syara' tanpa menafsirkanya lebih lanjut.

Sebgai pengetahuan bahwa lafadz Mutasyabih ini tidaklah terdapat pada ayat-ayat hukum, akan tetapi lafadz mutasyabih ini terdapat pada tempat/Nash lain, sebgaimana ahruful muqatha'ah pada permulaan beberapa surat; alif lam, Qaaf, Ahad dll. atau dalam sebagian ayat al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah Swt., memiliki perangkat tubuh sebagaimana makhluknya, sebagaimana tercantum dalam beberapa ayat.

Untuk ahruful Hijaiah al-Muqata'ah, seluruh ulama sepakat bahwa tidak ada man'a yang pasti dan tidak adapula penafsiran Allah kepada maksud aslinya, untuk itu Allahu a'lamu bimurodihi. Sedangkan untuk ayat-ayat mutasyabihat terdapat dua perbedaan pendapat, yaitu: ulama salaf dan khalaf dalam menafsirkan Ma'na ayat tersebut.
Pertama: ulama salaf, mereka lebih cenderung tawaquf dalam mema'nai ayat-ayat tesbut dengan meyakini sepenuhnya, tanpa ada usaha untuk mentakwilankan lafadz tersebut ke ma'na lainya, hal tersebut sebagi tindakan kehati-hatian mereka dalam me'ma'nai lafadz tereebut. Landasan ulama salaf adalah dalam menenntukan wuquf dalam bacaan ayat {wamaa ya'lamu ta'wiluhu illallahu } ,

Kedua: ulama Khalaf menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan ma'na mazaji sesui dengaan dzohirul lafadzinya. karena menurut mereka al-Qur'an diturunkan untuk di taddaburi, di kaji dan digali ma'mananya baik yang dzohir maupun yang tersembunyi. Sebagaimana lafadz {alyad}, dima'nai dengan Qudrah yang berarti kekuatan, atau {A'yunina} dengan arti Riayatuna yang berarti penjagaan/pengasuhan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas landasan mereka adalah dalam menentukan wuquf yang berebda dengan ketentuan wuquf ulama salaf {wama ya'lamu ta'wiiluhu illallohu waa arrsosikhuna fil ilmi}.

Kesimpulan

Dari uraian diatas, sedikitnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa klasisfikasi lafadz memiliki tempat yang sangat urgen dalam kaidah ushulul fiqh, hal ini dikarenakan keberadaanya yang menjadi titik vokal dalam pengambilan serta isthinbatul ahkam Ushul Fiqh. Perlu pengkajian lebih, dalam mene'laah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist terkhusus nash-nash hukum, karena setiap lafadz tidak serta merta menunjukan ma'na serta maksud dari konotasi lafadz tersebut, melainkan terdapat berbagai perangkat lain dalam menentukan ma'na serta maksdunya, diantar perangkat tersebut sebagaiaman telah di uraikan diatas; Takwil, Nasakh wal mansukh, Tarjih dll, yang semuanya terangkum dalam ranah ijtihad para ulama dan shalafu sholeh.

Epilog

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah S.W.T, termikasih kepada teman-teman serumah dan seperjuangan yang telah menyokong, membantu serta mengorbankan ketenangannya disaat proses penulisan makalah ini. Tanpa mengurangi rasa syukur, sudah seyogyanya kita sebagai "thalib" warisan para alim ulama agar tidak merasa puas dan cukup terhadap ilmu yang kita miliki, spirit kritis dan bertanya nampaknya masih sangat perlu dibangun, keduanya adalah instrumen istimewa pembuka wawasan pemecah kebekuan dan kejumudan. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu di kritisi dan diluruskan, kurang lebihnya penulis mohon maaf, mudah-mudahan menjadi bekal di masyarakat serta menjadi amal ibadah di sisi Allah.
Aminn

Wallahualam Biishowaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar