Cari Blog Ini

Sabtu, 17 Desember 2011

ZAKAT


ZAKAT
Konsep pengentasan kemiskinan
Oleh: Mohammad Anwari *

Tidak diragukan lagi, zakat merupakan komponen yang amat penting dalam Syari’at Islam. Bahkan zakat adalah rukun ketiga dari  kelima Rukun Islam, hingga bisa dikata merupakan penyeimbang bagi rukun Islam lainnya. Zakat merupakan bagian penting dari konsep Islam dalam mengentaskan kemiskinan sebagai problem ummat sepanjang masa. Namun untuk mencapai tujuan tersebut, mutlak dibutuhkan kinerja operasional yang profesional dan efisien. Tidak cukup hanya dengan pengakuan kita akan kewajibannya. Toh pada zaman kejayaan Islam, zakat telah mampu memakmurkan Ummat, lalu kenapa hal itu tidak dapat kita capai untuk masa sekarang ?

I. Pengertian zakat
Dari segi bahasa zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Menurut Lisan al-Arab arti dasar dari kata zaka ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, terpuji. Tetapi yang terkuat, menurut Wahidi dan ulama yang lain, kata dasar zaka berarti bertambah dan tumbuh.
            Sedang dari segi istilah fikih, zakat berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak” disamping berarti “mengeluarkan zakat itu sendiri”. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan, demikian Syaikh Nawani mengutip pendapat Wahidi[1]
            Arti tumbuh dan suci tidak hanya dipakai hanya buat kekayaan saja, tetapi lebih dari itu juga buat orang yang menzakatkannya, sesuai firman Allah Subhanau wa Ta’ala .:

خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم ان صلاتك سكن لهم

 “Pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan sucikan mereka dengannya, dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka”   (QS. Al-Taubah: 103)


Sekaligus merupakan cambuk ampuh yang membuat zakat tidak hanya menciptakan pertumbuhan material dan spiritual bagi orang-orang miskin, tetapi juga mengembangkan jiwa dan kekayaan orang-orang kaya.
Sesungguhnya dimensi sosial dari sasaran zakat, jelas tidak diragukan lagi. Dengan memperhatikan pada mustahiq zakat dengan pandangan yang sekilas saja maka akan tampak jelas bagi kita seperti terangnya pagi hari bagi orang yang bisa melihat. Apabila kita membaca ayat Allah dalam surat al-Taubah ayat 60:
انما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله, والله عليم حكيم
 “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu`allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibakan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Maka jelas bagi kita bahwa berdasarkan ayat ini ada sasaran zakat yang bersifat identitas agama yang bersifat politis seperti yang diisyaratkan dengan bagian para mu`allaf yang dibujuk hatinya dan bagian sabilillah (penegakan agama Allah) dan membelanya dari musuh-musuhnya. Hal ini dilakukan dengan pembujukan hati dan berdakwah pada golongan-golongan tertentu, karena hal itu termasuk dalam makna “sabilillah”.
            Juga ada sasaran zakat yang bersifat identitas sosial seperti menolong orang yang mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang lemah, seperti fakir, miskin, orang yang berhutang dan ibnu sabil. Menolong mereka, meskipun sifatnya pribadi, akan tetapi mempunyai dampak sosial karena masing-masing saling berkaitan erat, Sebab secara pasti antara pribadi dengan masyarakat akan saling berpengaruh, bahkan tidak lain masyarakat merupakan tumpuan pribadi-pribadi. Segala sesuatu yang memperkuat pribadi mengembangkan cita-citanya dan kemampuan material serta spiritualnya, tanpa diragukan lagi akan memperkuat dan mempertinggi masyarakatnya. Sebaliknya segala sesuatu yang mengokohkan masyarakat dengan sifatnya yang umum akan berakibat pada anggotanya, baik disadari maupun tidak. Maka, tidaklah aneh dengan menyibukkan para penganggur, menolong orang yang lemah dan orang yang membutuhkan seperti fakir, miskin, budak belian, dan orang yang berhutang akan mempunyai sasaran kemasyarakatan, karena di dalamnya ada unsur sosial yang pada waktu yang bersamaan mempunyai sasaran individual jika dilihat dari orang yang menerima zakat.
            Zakat adalah salah satu bagian dari aturan jaminan sosial dalam Islam. Zakat, adalah jaminan yang mencakup semua ashnaf yang membutuhkan baik kebutuhan yang bersifat fisik, jiwa maupun akal. Sebagaimana kita ketahui dalam kitab-kitab para ilmuwan Islam, bagaimana perkawinan dianggap sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, demikian juga buku-buku ilmu pengetahuan bagi orang yang ahlinya.
            Hal ini bukan khusus bagi kaum muslimin saja akan tetapi mencakup semua orang yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam seperti yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar kepada orang-orang Yahudi yang meminta-minta pada setiap pintu, lalu beliau memrintahkan agar orang tersebut dipenuhi kebutuhannya dari baitulmal kaum muslimin dan tindakan ini merupakan tindakan awal untuk hal-hal yang serupa.[2]
            Seperti juga ketika beliau dalam perjalanan menuju Damaskus beliau menemukan orang-orang Nasrani yang berpenyakit kusta atau lepra, maka beliau memerintahkan agar mereka diberi sumbangan tetap dari baitulmal Islam.[3]
Kemudian ketika zakat dikatakan bisa mengembangkan kekayaan orang yang mengeluarkan, mungkin akan banyak dari mereka yang tidak bisa menerima pengartian seperti itu.
Baiklah mari kita simak ulasan berikut ini. Sesuai pengertian zakat secara etimologi, yaitu suci, tumbuh, bersih berkah dan sejenisnya, hal ini mengandung pengertian yang luas sesuai dengan fungsi dan tujuan zakat itu sendiri. Zakat sebagai ibadah bidang harta yang mana pada saat memperolehnya tidak lepas dari kemungkinan cacat dan cela, maka zakatlah sebagai alat pencuci harta kekayaan tersebut sehinga harta itu menjadi bersih, suci, dan berkah. Harta yang bersih dan berkah akan berkembang tumbuh dan terhindar dari kebinasaan seperti dinyatakan dalam sebuah Hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :
حصنوا اموالكم بالزكاة
 “Bentengilah harta kamu sekalian dengan zakat”[4]
            Kalau kita lihat zakat dari segi ekonomi adalah merangsang si pemilik harta kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari mereka. Hal ini terutama jelas sekali pada zakat uang dimana Islam melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan pengembangan. Dalam hal ini ada ancaman Allah :
والذين يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله فبشرهم بعذاب أليم
 “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih” (QS. Al-Taubah: 34)
Dan tidak cukup dengan sekedar ancaman yang berat ini, bahkan Islam mengumumkan perang terhadap usaha penumpukan dan membuat garis yang tegas dan bijaksana untuk mengeluarkan uang dari kas dana simpanan. Hal ini tercermin ketika Islam tetap mewajibakan 2,5% dari kekayaan uang tanpa memandang apakah uang itu diinvestasikan oleh pemiliknya ataupun tidak. Dengan demikian, maka zakat merupakan suatu cambuk yang bisa menggiring untuk mengeluarkan harta agar diinvestasikan, diamalkan dan dikembangkan sehingga tidak habis dimakan waktu. Dalam hal ini juga terdapat sebuah Hadits:
ألا من ولي يتيما له مال فاليتجر له فيه ولا يتركه فتأكله الصدقة
 “Ingatlah, siapa yang mengasuh anak yatim yang memiliki kekayaan, maka ia harus memperdagangkannya, jangan dibiarkan saja agar tidak dimakan oleh zakat” (HR. Tumrudzi dan Daru Quthni)
Kemudian meskipun secara matematik, zakat berupa pengeluaran sebagian harta kekayaan yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain dalam jumlah tertentu, betapapun kecilnya pasti berakibat pengurangan secara kuantitatif, tetapi lain halnya dengan pengeluaran zakat yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, zakat akan memberikan suatu nilai tambah berlipat ganda baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif di luar penghitungan matematik manusia.
            Untuk mengetahui apakah zakat akan memberi nilai tambah, bandingkan dengan ilmu dan hukum ekonomi yang dikenal dengan sebuah teori yang disebut nilai tambah (added value). Teori tersebut menyatakan bahwa meningkatnya daya beli konsumen terutama golongan ekonomi lemah, pasti meningkatkan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang pada gilirannya akan mendatangkan keuntungan bagi pihak produsen yang umumnya milik orang-orang kaya sebagai pemilik modal. Dengan pemerataan distribusi harta yang berupa zakat yang diterima golongan ekonomi lemah, selanjutnya digunakan dalam proses produksi dan berbagai aktivitas ekonomi atau usaha lainnya, lebih dari itu menyatu dengan kegiatan perdagangan atau produk-produk besar yang dimiliki oleh orang-orang kaya sebagai mitra usaha, penyalur atau sebagai bapak angkat yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, menurut Rachmat Djatmika, zakat mempunyai peranan penting sebagai komponen makro dalam pengembangan dan pembangunan ekonomi.[5]
            Pembayaran zakat oleh orang-orang kaya untuk orang-orang miskin akan memberi keuntungan dan memberi efek positif bagi berbagai pihak (multiplier effect), karena zakat akan menumbuhkan kesuburan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara adil dan merata. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, otomatis akan melancarkan perputaran modal dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian pada umumnya.
            Sesuai dengan prinsip ekonomi Islam, bahwa modal atau infestasi harus dikembangkan sedemikian rupa dalam berbagai sektor kegiatan produksi dan menyerap sekian banyak tenaga manusia sehingga keuntungannya dapat dinikmati oleh masyarakat luas, terutama mereka yang tidak memiliki modal dan lapangan usaha. Dengan demikian zakat yang diterima oleh golongan ekonomi lemah (fakir miskin), pada gilirannya akan berdampak untuk meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk milik para orang kaya itu sendiri.[6]
Justru itu syari’at Islam memberikan sanksi kepada orang-orang kaya yang menahan harta atau modal kekayaan yang tidak diproduktifkan, yaitu tetap dikenakan kewajiban zakat, hingga pada akhirnya harta itu harus diproduktifkan sebagai modal yang memberi manfaat bagi pemiliknya dan masyarakat lingkungannya. Dengan demikian zakat akhirnya hanya akan dikeluarkan dari keuntungannya saja apabila harta itu telah memenuhi syarat-syarat umum zakat; seperti nishab, haul dan sebagainya.[7]

II. KEDUDUKAN ZAKAT DALAM ISLAM
            Kemiskinan dan orang-orang miskin sudah dikenal oleh manusia dan catatan sejarah semenjak zaman-zaman lampau. Karenanya beralasan sekali kalau kita katakan bahwa dalam tiap masa pasti terdapat orang-orang yang berusaha membawa masa dan kebudayaannya untuk memperhatikan nilai manusiawi dasar, yaitu perasaan merasa tersentuh melihat penderitaan orang-orang lain dan berusaha melepaskan mereka dari kemiskinan dan kepapaan. Atau paling tidak meringankan beban penderitaan mereka. Namun di balik itu didapatkan suatu keadaan yang menarik yaitu golongan yang berkecukupan selalu semakin makmur tanpa batas sedangkan golongan yang melarat selalu semakin kirus terhempas tak berdaya.
            Dalam hal ini pada dasarnya semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang tidak mengenal hubungan dengan kitab suci samawi, tidak kurang perhatiannya pada segi sosial yang mana tanpa segi ini persaudaraan dan kehidupan yang sentausa tidak akan terwujud.
            Beribu-ribu tahun sebelum Masehi, orang-orang Mesir kuno selalu merasa menyandang tugas agama sehingga mereka mengatakan: “Orang lapar kuberi roti, orang yang tidak berpakaian kuberi pakaian, kubimbing kedua tangan orang tidak mampu berjalan ke seberang, dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang yang ditimpa hujan badai”. Namun agama-agama langitlah sesungguhnya yang lebih kuat dan lebih dalam dampak seruannya daripada buah fikiran filsafat, agama ciptaan, dan ajaran apapun dalam melindungi orang-orang miskin dan lemah.
Apabila kita melihat Taurat dan Injil (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang ada sekarang, kita akan bertemu dengan banyak pesan dan nasehat khusus tentang cinta kasih dan perhatian pada fakir miskin, janda-janda, anak-anak yatim, dan orang-orang lemah. Tentang perhatian agama-agama selain Islam, dan kitab-kitab suci selain Al-Qur`an, dapat kita berikan beberapa catatan:
1.      Perhatian itu tidak lebih dari sekedar anjuran supaya manusia berbuat baik dan kasih kepada orang-orang miskin, sekedar tidak senang kepada sikap individualis dan kekikiran,  dan sekedar seruan konkrit bagi tumbuhnya sikap persaudaraan secara spontan.
2.      Perhatian itu belum sampai ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu instruksi wajib, dimana orang yang tidak melaksanakannya dipandang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang harus dihukum berat baik di dunia maupun di akhirat.
3.      Realisasi perbuatan baik terserah kepada kemurahan hati pribadi-pribadi saja, sedangkan negara tidak berwenang mengumpulkan dan mendistribusikannya.
4.      Kekayaan apa yang harus didermakan itu tidak jelas, begitu juga persyaratan dan besarnya. Hal ini mengakibatkan negara tidak mungkin mengambil inisiatif-inisiatif untuk memungut derma-derma itu, karena bagaimana mungkin hal itu dilaksanakan bila apa dan berapa yang harus diberikan tidak jelas.
5.      Tujuan perhatian terhadap orang-orang miskin itu bukanlah penanggulangan problematika kemiskinan, memberantas dari akarnya, dan memperbaiki nasib orang-orang tak punya itu menjadi punya, tetapi tujuannya tidak lain daripada untuk mengurangi dan meringankan penderitaan mereka.
Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa nasib orang-orang miskin dan lemah itu tergantung kepada belas kasih orang-orang kaya. Bila si kaya itu tergerak untuk berbuat baik, karena takut kepada Tuhannya, takut kepada hari kiamat, maupun karena ingin dipuji, dan rasa kemanusiaan, maka mereka akan memberikan sesuatu sekalipun sedikit sekali kepada orang-orang lemah, butuh, dan miskin itu, lalu pantaslah sudah disebut sebagai orang-orang baik. Tetapi bila mereka sedang dimabuk harta dan materi, sengsaralah orang-orang miskin itu, dan menjadi mangsa cengkeraman kemelaratan. Demikianlah bahaya kebajikan yang yang diserahkan kepada kemurahan hati mereka saja.
Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat dibandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di kota Makkah (saat ummat Islam baru beberapa orang dan hidup tertekan, dikejar-kejar, belum mempunyai pemerintahan dan organisasi politik) sudah mempunyai al-Qur`an yang memberikan perhatian penuh dan kontinu pada masalah sosial penanggulangan kemiskinan tersebut.[8] Seperti yang terungkap dalam ayat-ayat Makkiyyah di bawah ini:
كل نفس بما كسبت رهينة الا أصحاب اليمين في جنات يتساءلون عن المجرمين ما سلككم في سقر. قالوا لم نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين وكنا نخوض مع الخاضعين وكنا نكذب بيوم الدين
 “Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya, kecuali orang-orang di sebelah kanan, mereka berada di taman-taman surga saling bertanya tentang orang-orang durjana, “apakah sebabnya kamu dijebloskan ke dalam neraka?” mereka menjawab, “Kami bukan golongan orang yang shalat, dan kami tiada memberi makan orang yang miskin. Kami asyik membicarakan kebatilan dengan orang yang berbuat kebatilan itu, dan kami mendustakan hari pembalasan” ( QS. Al-Muddattsir: 38-46)
juga ayat:

كلا بل لا تكرمون اليتيم ولا تحاضون على طعام المسكين

 “Tidak, tetapi kalian tidak menghormati anak-anak yatim dan tidak saling mendorong memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Fajr: 17-18)

Kata tahadl ‘saling mendorong’ dalam ayat ini mengandung arti “bahu-membahu”. Dengan demikian ayat ini mengandung seruan agar masyarakat bertanggung jawab sepenuhnya dalam menangani kemiskinan.
فآت ذا القربى حقه والمسكين وابن السبيل ذلك خير للذين يريدون وجه الله
 “Berilah para kerabat, fakir miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan hak masing-masing, yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah.” (QS. al-Ruum: 38)
            Dalam al-Qur`an surat al-Ma’un, tindakan kejam terhadap anak-anak yatim dan tidak mau tahu dengan nasib orang-orang miskin, dinilai sebagai tindakan yang identik dengan kekufuran dan keingkaran tentang hari kiamat.. Allah berfirman:

أرءيت الذي يكذب باللدين

 “apakah kamu melihat orang-orang yang mendustakan agama ?”
Pertanyaan disini berarti “tahukah kalian siapa yang disebut pendusta agama?” bila tidak tahu maka jawabnya adalah:
فذلك الذي يدع اليتيم. ولايحض على طعام المسكين
 “Ia adalah orang yang menghardik anak yatim dan orang yang tidak menganjurkan memberi makan pada orang miskin”[9]
Selanjutnya Allah menjelaskan batasan orang yang mendustakan agama:
فويل للمصلين. الذين هم عن صلاةهم ساهون. الذين هم يراءون. ويمنعون الماعون
 “ Maka celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya. Orang-orang yang melakukan riya’ (hanya untuk mencapai pujian dan kemasyhuran di masyarakat). Orang-orang yang (enggan menolong) dengan barang yang berguna”
Ibnu Katsir menerangkan tafsiran ayat ini sebagai berikut:
“Mereka itu adalah orang-orang yang sesungguhnya tidak berbuat kebaikan dalam beribadah kepada Allah dan tidak pula berbuat kebaikan kepada manusia. Bahkan untuk sekedar meminjamkan sesuatu barang kepada orang yang membutuhkan saja ia tidak mau. Sekalipun barang tadi tidak rusak karenanya dan dikembalikan dalam keadaan utuh. Maka bagaimana mungkin orang-orang yang seperti ini mau membayarkan zakat ataupun menyumbang.[10]
Orang-orang seperti itulah yang tidak berarti bagi mereka shalat mereka dan tidak layak masuk barisan orang-orang yang beriman.[11]
Dengan demikian Al-Qur`an semenjak saat-saat awal kurun Makkah telah menanamkan di dalam dada orang-orang Islam bahwa para kerabat dan orang yang berkekurangan mempunyai hak yang pasti dalam kekayaan mereka. Hak itu harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah sunnat yang mereka berikan atau tidak mereka berikan bila mereka menghendaki.
Ayat-ayat Makkiyyah merupakan metodologi yang dipakai Al-Qur`an untuk mendorong manusia agar memperhatikan dan memberikan hak-hak fakir miskin supaya mereka tidak terlunta-lunta. Metodologi ini ditandai dengan satu cara lain yaitu “dipujinya orang-orang yang berzakat dan dicercanya orang yang tidak membayarnya” sebagaimana jelas terlihat pada ayat-ayat Makkiyyah.
Namun hal-hal yang perlu dicatat dari pernyataan-pernyataan tentang zakat dalam surat-surat yang turun di Makkah itu adalah bahwa pernyataan-pernyataan itu tidak dalam bentuk ‘amr (perintah) yang dengan tegas mengandung arti wajib dilaksanakan, tetapi berbentuk kalimat-kalimat berita biasa. Hal ini karena zakat hanya dipandang sebagai ‘ciri utamaorang-orang yang beriman, bertaqwa, dan berbuat kebajikan. Atau sebaliknya dinilai sebagai orang-orang musyrik bila tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
Dan dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di Madinah, tetapi mengapa Al-Qur`an membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu banyak dalam surat-surat yang turun di Makkah ?
Jawaban atas pertanyaan ini karena zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Makkah itu tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, di mana nishab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya.
Tetapi zakat di Makkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan kepada kemurahan hati dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama orang-orang yang beriman. Sedikit sudah memadai tetapi bila kebutuhan menghendaki, zakat itu bisa lebih banyak atau lebih banyak lagi dari itu.
Kaum muslimin di Makkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama mereka, tetapi di Madinah mereka sudah merupakan jama’ah (kelompok) yang memiliki wilayah, eksistensi, dan pemerintah sendiri. Oleh karena itu beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai perkembangan tersebut, yaitu bentuk delimitasi bukan generalisasi, bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran.
Hal ini mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan disamping didasarkan atas perasaan iman tersebut. Kecenderungan ini terlihat pula pada penerapan zakat. Allah menjelaskan kekayaan apa yang harus dikeluarkan zakatnya, syarat-syarat terkena hukum wajib, besarnya, sasaran-sasaran pengeluarannya, dan badan yang bertugas mengatur dan mengelolanya.
Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi yang jelas. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 110:
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة
 “Dan dirikanlah shalat oleh kalian semua dan bayarlah zakat”
Juga dalam al-Qur`an surat al-Taubah ayat 11:
فان تابوا واقاموا الصلاة واتوا الزكاة فاخوانكم فى الدين
 “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat, barulah mereka teman kalian seagama”
Kemudian Hadits Ibnu Umar dalam kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim
أمرت ان اقاتل الناس حتى يشهد ان لااله الا الله وان محمدا الرسول الله ويقيم الصلاة ويؤتون الزكاة
 “Saya diinstruksikan memerangi manusia kecuali bila mereka mengikrarkan syahadahnya bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat”.
Dan yang penting diketahui selanjutnya bahwa zakat itu esensi sekali dalam Islam. Zakat adalah salah satu rukun Islam. Tidak hanya wajib bagi nabi tetapi juga buat seluruh ummat, dan wajibnya itu ditegaskan ayat-ayat al-Qur`an yang tegas dan jelas, oleh sunnah nabi yang disaksikan semua orang mutawatir, dan oleh konsensus (ijma’) seluruh ummat semenjak dulu sampai sekarang ke generasi demi generasi.
Berdasarkan kedudukan zakat dalam syari’at Islam itu, para ulama menetapkan bahwa orang yang mengingkari dan tidak mengakui zakat itu adalah kafir dan sudah keluar dari Islam. Imam Nawawi berkata: “Bila orang itu mengingkari wajibnya zakat karena ia belum mengetahuinya karena hidup pada masa-masa Islam baru tersiar, atau ia tinggal jauh di pedalaman, maka ia tidaklah dinilai kafir tetapi harus diperkenalkan lebih dulu kepadanya bahwa zakat itu wajib, lalu dipungut. Bila ia tetap mengingkari, barulah ia dihukumi kafir. Tetapi bila ia hidup di tengah-tengah ummat Islam maka ia dihukumi kafir dan diperlakukan sebagai orang-orang murtad yang harus ditundukkan atau dibunuh. Hal ini karena wajibnya zakat sudah diketahui umum, bahwa yang mengingkari wajibnya zakat itu dinilai tidak mengakui Allah dan Rasul-Nya dan dihukumi kafir”.[12] Penjelasan Imam Nawawi diperkuat oleh Ibnu Qudamah[13] dan ahli fikih Islam lainnya.
Kalau kita amati betapa urgen kedudukan zakat dalam syari’at Islam dan kita telaah proses taklifnya dari Makkah hingga diwaijbkan di Madinah, ada hal yang perlu kita cermati yaitu bahwa sebelum zakat ditetapkan sebagai suatu kewajiban, terlebih dulu ada proses penanaman nilai-nilai zakat pada diri kaum muslimin. Disebutkan bahwa zakat merupakan ciri utama orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Setelah nilai-nilai itu terpatri dalam jiwa mereka, baru kemudian zakat ditetapkan dengan tegas menjadi suatu kewajiban individual dalam harta mereka. Seperti halnya pada proses pengharaman khamr (minuman yang memabukkan). Terlebih dulu ditekankan tentang unsur-unsur negatif dalam khamr, setelah dirasa cukup memadai baru kemudian secara tegas khamr diharamkan. Dalam hal ini unsur yang kami amati adalah proses penetapan hukumnya. Bukan langsung ditegaskan hukum wajib atau haramnya, akan tetapi disitu tetap masih ada proses panjang dalam rangka menuju penetapan hukumnya.
Dan memandang kondisi riil sekarang ini, khususnya di Indonesia, dimana pelaksanaan zakat bisa dikata belum mampu merealisir dimensi sosialnya yaitu sebagai bagian dari konsep Islam dalam mengentas kemiskinan, kiranya kita perlu menoleh kembali pada proses penegasan hukum zakat tadi. Memang kita tidak mungkin kembali lagi menapak dalam sejarahnya, melakoni proses awal tanpa memperdulikan ketetapan kewajiban zakat yang telah baku. Namun yang hendaknya kita lakukan adalah memaksimalkan penanaman nilai-nilai syari’at, dalam hal ini khususnya zakat ke dalam sanubari kaum muslimin, sampai pada akhirnya pengertian zakat sebagai suatu kewajiban akan masuk ke dalam alam kesadaran mereka dengan seutuhnya. Sehingga ketika pada waktunya pelaksanaan zakat, akan bisa benar-benar terealisir kedua dimensinya yaitu ibadah mahdloh sebagai realisasi iman dan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala  dan dimensi sosialnya sebagai salah satu konsep Islam dalam mengentas kemiskinan.

III. ORANG YANG WAJIB BERZAKAT

Para ulama Islam sepakat bahwa zakat diwajibkan kepada seorang muslim dewasa yang waras, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula. Sehingga dapat kita katakan zakat tidak diwajibkan kepada non muslim, karena zakat adalah termasuk anggota tubuh Islam yang paling utama, dan karena itu orang kafir tidak mungkin diminta untuk melengkapinya. Serta tidak pula merupakan hutang yang harus dibayarnya setelah masuk Islam.
Namun lain halnya dengan orang murtad atau beralih agama, bila zakat itu sudah diwajibkan kepadanya pada masa Islamnya, maka zakat itu tidak gugur karena kemurtadannya itu, sebab zakat merupakan kewajiban tetap yang tidak gugur karena peralihan agama, tak ubahnya seperti hutang tidak lantas hilang karena bangkrut.
Kemudian tentang qayyid selanjutnya yaitu dewasa dan waras. Bila si muslim ini masih anak-anak atau gila, apakah dia masih berkewajiban mengeluarkan zakat ? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Dan perbedaan ini dapat kami golongkan menjadi dua kelompok:
1. Kelompok yang memastikan bahwa kekayaan atau sebagian kekayaan mereka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Diantara alasan yang dipakai kelompok ini adalah sebagai berikut:
1.    Zakat adalah ibadah murni seperti halnya shalat, dan ibadah memerlukan niat sedang anak-anak dan orang gila tidak mempunyai niat, oleh karena itu zakat tidak wajib atas mereka.
2.    Dan kenyataan ini didukung dengan Hadits:
رفع القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق
 “Pena terangkat dari tiga orang: dari anak-anak hingga dia dewasa, dan dari orang tidur hingga dia bangun, dan dari orang gila hingga dia waras.”[14]
3.    Juga diperkuat lagi dengan ayat:

 “Pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan sucikan mereka dengannya, dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka”   (QS. Al-Taubah: 103)

Pensucian dan pembersihan tentunya dari dosa, padahal anak-anak dan orang gila tidak mempunyai dosa yang perlu disucikan atau dibersihkan. Karena itu keduanya tentulah tidak termasuk ke dalam orang-orang yang harus membayar zakat.

2.      Kelompok yang mengatakan bahwa kekayaan anak-anak dan orang gila wajib dikeluarkan zakatnya.
Dengan alasan diantaranya sebagai berikut:
1.      Keumuman teks ayat-ayat dan Hadits-hadits shahih yang menegaskan secara mutlak wajibnya zakat atas kekayaan orang-rang kaya, tidak terkecuali apakah mereka anak-anak atau orang gila. Seperti dalam surat al-Taubah ayat 103 di atas. Dan Hadits yang berisi pesan Nabi kepada Mu`adz bin Jabal sewaktu ditugaskan ke Yaman:
فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في اموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم
 “Ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat yang diambil dari kekayaan orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka”
2.      Imam Turmudzi meriwayatkan sebuah Hadits dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya,dari Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam:
من ولى يتيما فليتجر له ولا يتركه حتى تأكله الصدقة
 “Siapa yang mengasuh anak yatim, niagakanlah kekayaanya, jangan dibiarkan saja, supaya tidak dimakan oleh zakat”
Tentang sanad Hadits ini memang ada kritikan, tetapi maksud Hadits ini shahih karena sejalan dengan ucapan Umar bin al-Khattab.
3.      Tindakan para shahabat dalam hal ini. Abu Ubaid, Baihaqi dan Ibnu Hazm meriwayatkan bahwa Umar, Ali, Abdullah bin Umar, A’isyah, dan Jabir bin Abdullah mewajibkan zakat atas kekayaan anak-anak.[15] Dan tidak terdengar ada diantara para shahabat yang tidak setuju akan hal itu, kecuali satu periwayatan yang dlaif dari Ibnu Abbas, dan tidak dapat dijadikan alasan.
Juga mereka memberikan bantahan terhadap dalil-dalil yang dipakai kelompok pertama yaitu:
1.      Memang adalah ibadah sebagaimana shalat, dan memerlukan adanya niat. Tetapi menurut mereka zakat berbeda dari ibadat-ibadat yang lain oleh karena sifat material sosialnya. Zakat adalah ibadah material yang memungkinkan berlakunya hukum perwalian sehingga dapat dibayarkan melalui wakil.
2.      Tentang Hadits رفع القلم عن ثلاث...الخ.  di atas, memang mereka tidak wajib berzakat, tetapi yang wajib mengeluarkan zakat dari kekayaan mereka adalah wali mereka. Hal ini tidak berbeda dengan wajibnya wali mengeluarkan kekayaan mereka untuk makan mereka. Di samping itu “terangkatnya pena dari mereka” tidak menggugurkan kewajiban mereka membayar nafkah istri dan anggota keluarga yang lain, lalu oleh karena itu mengapa hak-hak fakir miskin dan musafir harus gugur dari kekayaan mereka?
3.      Sedang dari ayat خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها yang menurut mereka menunjukkan pensucian dari dosa sedangkan anak-anak dan orang gila tidaklah berdosa, dibantah dengan pendapat bahwa pensucian tidaklah hanya terbatas pada dosa saja, tetapi meliputi pensucian akhlak dan jiwa supaya berkembang dengan  baik dan melatih supaya selalu merasa kasih dan mau memberi bantuan, dan ini termasuk ke dalamnya pensucian kekayaan. Dengan demikian pengertian “kau sucikan mereka”  di atas berarti “kau sucikan kekayaan mereka”.[16]
IV. KEKAYAAN YANG WAJIB DI ZAKATI
Tidak semua harta kekayaan manusia meskipun kita ketahui dia memiliki harta yang berlimpah, wajib dikeluarkan zakatnya.  Suatu kekayaan wajib dizakati paling tidak setelah memenuhi syarat-syarat umum di bawah ini:
1.      Milik penuh (ملك تام)
2.      Berkembang (النماء)
3.      Cukup senishab (النصاب)
4.      Lebih dari kebutuhan pokok rutin (الفضل من الحاجة الاصلية)
5.      Berlalu setahun (الحول)

IV.1. Milik penuh
            Definisi  Milik penuh adalah “Kekeayaan tersebut harus berada dalam kontrol dan kekuasaannya, atau seperti pendenifian para ulama fikih ; bahwa harta tersebut harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dinikmatinya”[17]
Jadi, kekayaan yang tidak masuk dalam kategori milik penuh, maka tidak wajib untuk dikeluarkan zakatnya. Diantaranya yaitu:
a.      Harta yang tidak mempunyai pemilik tertentu Dalam hal ini semisal harta milik milik pemerintah, karena harta itu adalah milik rakyat, termasuk fakir miskin.
b.      Barang wakaf yang diberikan kepada fihak yang umum semisal fakir miskin, masjid, anak yatim, sekolah dan  lain-lain. Tetapi lain halnya dengan wakaf yang diberikan kepada seseorang atau pihak tertentu seperti wakaf untuk anak-anaknya, atau cucu-cucunya, atau keturunan seseorang. Dalam kasus ini zakat masih wajib, karena kepemilikan di sini berpindah yang menerima wakaf dan kepemilikannya bersifat tetap. Oleh karena itu dipandang sama dengan kekayaan bukan wakaf.[18] Tidak dapatnya kekayaan itu diperlakukan penuh seperti milik pribadi tidaklah mengurangi arti pemilikan di sini, oleh karena ciri pemilikan terpenting adalah bahwa pemiliknya lebih berhak menggunakan barang itu dari pada orang lain dan bahwa orang lain tidak diperkenankan mencampurinya. Ciri-ciri itu terdapat di dalam kekayaan tersebut.
c.      Harta haram tidak wajib zakat meskipun telah mencapai satu nishob, karena pada hakikatnya harta yang diperolehnya dengan jalan tidak sah tersebut bukan miliknya. Misalnya harta yang diperoleh dengan perampasan, pencurian, penipuan, penyuapan, riba, spekulasi dan berbagai perolehan harta dengan cara yang tidak benar. Dalam hal ini terdapat sebuah Hadits shahih:
لايقبل الله صدقة من غلول

 “Tidak diterima sedekah dari harta ghulul”

Ghulul adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dari kekayaan umum seperti rampasan perang (ghanimah) dan lain-lain.
IV.2. Berkembang (النماء)
           Ketentuan syarat ini karena Nabi tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi seperti yang ditegaskan oleh sebuah Hadits shahih:
ليس على مسلم في فرسه ولاعبده صدقة
 “ Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya”
Imam Nawawi berkata bahwa Hadits ini merupakan landasan bahwa kekayaan untuk pemakaian pribadi tidak wajib zakat.[19] Nabi hanya mewajibkan zakat pada kekayaan yang berkembang dan diinvestasikan. Dalam hal ini terdapat dua macam yaitu
a.      Berkembang secara konkrit; berkembangnya harta tersebut dengan jalan perdagangan ataupun pembiakan dan lain-lain
b.      Berkembang secara tidak konkrit : harta tersebut berpontensi untuk berkembang baik berada di tangannya sendiri ataupun di tangan orang lain dengan atas namanya.[20]
Ibnu Humam berkata: bahwa maksud dari pensyariatan zakat adalah penyantunan atas orang-orang miskin sebesar yang tidak akan membuat orang yang bersangkutan tidak jatuh miskin pula, yaitu dengan  memberikan kelebihan dari harta yang banyak itu. Mewajibkan zakat atas harta yang sifatnya tidak mungkin berkembang akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan bila terjadi tahun demi tahun, khususnya bila diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari.[21]
IV.3. Cukup Satu Nishab
           Ketentuan bahwa harta  yang terkena zakat itu harus sampai senishab sudah disepakati oleh para ulama, kecuali tentang hasil pertanian, buah-buahan dan hasil tambang. Abu Hanifah berpendapat bahwa banyak atau sedikit barang yang dikeluarkann oleh bumi harus dikeluarkan zakatnya. Hal ini senada dengan pendapat Ibn Abbas, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain, bahwa dalam sepuluh ikat sayur yang tumbuh dari tanah harus dikeluarkan sedekahnya sebanyak satu ikat. Namun Jumhur ulama menegaskan bahwa ‘nishab’ merupakan syarat wajibnya zakat. pada setiap harta baik yang dikeluarkan dari bumi ataupun harta yang lainnya dengan dasar Hadits:
ليس فيما دون خمسة أوسق  صدقة
 “Dibawah lima wasaq tidak ada zakatnya”
Ketentuan ini dapat dikiyaskan pada harta-harta yang lain.[22]
Hikmah adanya ketentuan nishob ini jelas sekali, yaitu zakat merupakan pajak yang dikenakan atas orang kaya untuk memberi bantuan kepada orang miskin dan untuk ikut berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kesejahteraan kaum muslimin oleh karena itu Nabi bersabda:
لا صدقة الا على ظهر غني
 “zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya.”
IV.4. Lebih dari kebutuhan pokok rutin (primer)
Diantara ulama fikih ada yang menambahkan ketentuan nishab kekayaan yang berkembang itu dengan lebihnya kekayaan itu dari kebutuhan pokok rutin pemiliknya (seperti ulama-ulama Hanafiyyah dalam kebanyakan kitab-kitab mereka).
Dan ada pula ulama-ulama yang tidak memasukkan ketentuan ini kedalam kekayaan yang berkembang. Hal ini karena sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan primer, biasanya tidak berkembang ataupun berpotensi untuk berkembang, sebagaimana jelas terlihat dalam hal rumah tinggal, hewan yang ditunggangi, pakaian yang dipakai, senjata perlengkapan, buku-buku koleksi, alat-alat kerja. Semuanya itu adalah kebutuhan primer dan tidak termasuk kekayaan yang berkembang.
Dalam hal ini kami ungkapkan dengan kata “kebutuhan primer”, karena kebutuhan manusia tidaklah terbatas. Apalagi pada zaman sekarang ini, di mana barang-barang mewah dianggap sebagai kebutuhan, dan setiap kebutuhan berarti kebutuhan primer. Maka kami katakan tidak semua hal yang diinginkan manusia dapat dikategorikan sebagai kebutuhan primer, karena yang namanya manusia meski sudah mempunyai dua gunung emas niscaya dia akan mencari gunung emas yang ketiga. Akan tetapi kebutuhan primer yang kami maksudkan di sini adalah sesuatu yang mau tidak mau harus ada demi kelestarian hidupnya. Seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan alat-alat yang diperlukan untuk menunjang kebutuhannya tersebut semisal buku-buku ilmu pengetahuan, keterampilan, peralatan kerja dan lain-lain.
Sebagian ulama Hanafiyyah memberikan penafsiran ilmiah yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan primer. Yaitu sesuatu yang secara nyata benar-benar dibutuhkan untuk kelestarian hidup seperti belanja sehari-hari, rumah tempat tinggal, senjata-senjata untuk mempertahankan diri, pakaian yang dibutuhkan untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin, atau sesuatu yang dikategorikan termasuk kebutuhan primer semisal hutang. Karena orang yang berhutang mempunyai kebutuhan untuk membayar hutangnya itu dengan sesuatu yang dimilikinya, walau telah sampai senishob guna membebaskan diri dari keterikatan yang merupakan kehancuran. Contoh lain adalah peralatan kerja, perabot rumah tangga, hewan tunggangan dan buku-buku ilmu pengetahuan untuk keluarga, karena kebodohan menurut mereka adalah sama dengan kehancuran. Oleh karena itu bila seseorang mempunyai sejumlah uang yang hanya cukup dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan di atas, maka ia berati tidak mempunyai apa-apa.[23]
Satu hal yang menarik untuk kita catat dan kita hargai dari para ulama kita adalah mereka menilai ilmu pengetahuan itu sama dengan kehidupan, dan kebodohan sama dengan ajal dan kehancuran. Kebutuhan untuk memerangi kebodohan bagi mereka sama dengan kebutuhan primer seperti halnya makanan untuk menghilangkan perasaan lapar dan pakaian untuk menjaga tubuh dari telanjang dan penyakit. Serta pandangan mereka bahwa kemerdekaan adalah kehidupan dan keterikatan pada orang lain sama dengan kehancuran
Dan yang terpenting yang dapat kami telaah di sini adalah bahwa kebutuhan primer  manusia itu berubah-ubah dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman, kondisi setempat. Kita sebaiknya menyerahkan persoalan ini kepada para ahli dan ketetapan pihak yang berwenang. Dan yang menjadi titik tekan di sini adalah kebutuhan-kebutuhan primer orang yang terkena kewajiban zakat itu serta kebutuhan primer orang-orang yang di bawah tanggungannya seperti istri, anak-anak berapapun jumlahnya, orang tua, dan anggota keluarga lain yang harus ditanggungnya; kebutuhan mereka itu berarti juga kebutuhannya.
Salah satu landasan disyaratkannya “lebih dari kebutuhan rutin” selain dari dalil-dalil logika para ulama fikih yang kami kemukakan diatas adalah Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya yang bersumber dari Abu Hurairah :
"انما الصدقة عن ظهر غني" وفي رواية "لا صدقة الا عن ظهر غني"
 “Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya” dan dalam periwayatan lain “Zakat tidak dibebankan selain ke atas pundak orang kaya”[24]

IV.5. Berlalu Satu Tahun
Maksudnya adalah bahwa pemilikan yang berada di tangan pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan Qomariyyah. Persyaratan setahun ini hanya buat ternak, uang, dan harta perdagangan yaitu yang dapat dimasukkan ke dalam istilah “zakat modal”. Tetapi hasil pertanian, buah-buahan dan yang sejenisnya  tidak dipersyaratkan setahun, dan semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam istilah “Zakat pendapatan”.[25]
Letak perbedaan kekayaan yang dipersyaratkan berlalunya masa setahun (haul) dan yang tidak dipersyaratkan adanya haul adalah seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Qudamah, bahwa harta kekayaan kekayaaan yang wajib zakat setelah setahun adalah mempunyai potensi untuk berkembang. Pensyaratan ini karena pertumbuhannya tidak pasti, agar dapat dikeluarkan dari keuntungan supaya lebih ringan, dan karena zakat dikeluarkan untuk tujuan penyantunan. Dan juga karena zakat dipungut berkali-kali dari kekayaan tersebut, yang oleh karena itu perlu tolok ukur supaya tidak terjadi pemungutan berkali-kali pada satu kekayaan dalam satu masa yang akan mengakibatkan kekayaan itu habis.
Tetapi hasil pertanian dan buah-buahan adalah berkembang sendiri yang mencapai puncaknya pada saat zakat dikeluarkan, yang karena itu zakat harus dikeluarkan pada waktu itu juga. Selanjutnya kekayaan itu akan terus berkurang dan tidak berkembang, maka zakat tidak bisa dipungut sekali lagi, karena sudah tidak mempuyai potensi berkembang lagi.[26]

V. AZAZ PELAKSANAAN ZAKAT
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 60:
 “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu`allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibakan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Dan konsep operasional zakat secara umum telah digariskan dalam al-Qur`an antara lain termaktub dalam surat al Taubah ayat 103:

خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم ان صلاتك سكن لهم

Dalil yang paling jelas dalam tindakan terhadap orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Abu Bakar adalah berpegangan pada ayat ini. Dan ayat ini menunjukkan, bahwa yang mengambil zakat itu adalah Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam. sendiri, sambil mendoakan mereka.
Demikian pula petunjuk yang telah diberikan oleh Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam Hadits Shahih Bukhari-Muslim dan yang lain- yakni ketika Mu’adz bin Jabal beliau kirim ke Yaman:
اعلمهم ان الله افترض عليهم صدقة في اموالهم تؤخذ من اغتيائهم وترد علي فقرائهم, فان أطاعون لذلك فاياكم وكرائم أموالهم, واتق دعوة المظلوم فانه ليس بينها وبين الله حجاب
 “ Beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala  telah mewajibkan dari sebagian harta-harta mereka, untuk disedekahkan. Diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang fakir. Apabila mereka menaatimu dalam hal ini, maka peliharalah akan kedermawanan harta mereka, dan takutlah akan doa orang yang teraniaya. Sungguh tidak ada penghalang antara doa mereka itu dengan Allah subhanahu wa ta’ala”. (HR jamaah dari Ibnu Abbas)

Hadits ini menjelaskan, bahwa urusan zakat itu diambil petugas untuk dibagikan, tidak dikerjakan sendiri oleh orang yang mengeluarkan zakat. Syaikh Islam al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini bisa dijadikan alasan, bahwa penguasa adalah orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat, baik ia sendiri secara langsung maupun wakilnya. Maka barang siapa di antara mereka menolak mengeluarkan zakat, hendaknya zakat diambil dari orang itu dengan secara paksa.”[27]
Pendapat ini dikutip oleh Imam Syaukani dengan nashnya dalam Nail al-Authar.[28]
Ibadah zakat tidak  sekedar amal karitatif (kedermawanan), tetapi ia suatu kewajiban otoritatif (ijbari).[29] Oleh karena itu pelaksanaan zakat tidak seperti ibadah-ibadah lainnya seperti shalat, puasa, haji yang telah dibakukan dengan nash yang penerapannya dipertanggung jawabkan kepada masing-masing. Ibadah zakat dipertanggung jawabkan kepada pemerintah, karena dalam pengamalannya lebih berat dibanding ibadah-ibadah lainnya. Untuk itu perlu diperhitungkan adanya kepastian dan ketegasan dalam pelaksanaannya agar hak-hak para ashnaf delapan terutama fakir miskin yang terdapat dalam harta orang kaya, dapat diterimanya dengan pasti dan demi tegaknya keadilan. Untuk itu pula demi terlaksananya ibadah zakat secara pasti, ditetapkan pula sanksi bagi mereka yang membangkang.
Sanksi terhadap pembangkang zakat (mani’ul zakat) tidak sama dengan pembangkang ibadah-ibadah lainnya yang hanya bersifat ukhrowiyyah dan preventif (pencegahan). Pembangkang zakat dapat dikenakan sanksi berganda yaitu sanksi di dunia dan di akhirat. Karena pembangkang zakat ini telah melakukan kesalaha ganda pula, yaitu kesalahan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada orang-orang yang mempuyai hak dalam hartanya itu.
والذين في اموالهم حق معلوم. للسائلين والمحروم
 “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta-minta.”(QS al Ma’arij :24-25)

Sesuai dengan sifat zakat yang ilzami-ijbari (kewajiban mutlak) yang harus dilaksanakan dengan pasti, maka zakat harus diimplementasikan dalam suatu tugas operasional oleh suatu lembaga yang fungsional, yaitu badan `amil zakat sebagai administrator dan manajemen zakat. Tugas pokok badan `amil zakat ini meliputi tugas-tugas sebagai pemungut (kolektor), penyalur (distributor), pengorganisasian, motivator, pengawas dan evaluasi. Secara manajemen tugas dan fungsi `amil zakat itu tidak jauh berbeda dengan tugas umum sistem perpajakan, agar kewajiban zakat betul-betul berjalan dan berfungsi dengan baik, sehingga pengamalan zakat akan lebih meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif.[30]
Justru itu pelaksanaan zakat seharusnya ditangani oleh pemerintah melalui suatu lembaga khusus (`Amil Zakat) yang memiliki sistem manajemen yang fungsional dan profesional.[31] Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hasil yang optimal dan efektif. Dan untuk mengantisipasi terjadinya hambatan dalam pemungutan zakat dari orang-orang kaya, maka pemerintah dapat menetepkan sanksi pidana dan sejenisnya terhadap mereka yang membangkang tidak mau mengeluarkan zakatnya.[32]
Pengelolahan zakat oleh pemerintah adalah logis, karena beberapa pertimbangan: pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung menerima haknya dari para wajib zakat (Muzakki). Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektifitas dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya jika pelaksanaan zakat langsung diserahkan kepada setiap wajib zakat (muzakki), maka nasib dan hak-hak orang-orang  miskin dan  para mustahik lainnya dalam harta orang-orang kaya tidak memperoleh jaminan yang pasti.[33]
Azas operasionalisasi dan pelaksanaan zakat seperti dikemukakan diatas tidak mengabaikan sifat dan kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah mahdloh (murni) yang harus dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan dan ketaqwaan seseorang  kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian azas ikhlas dan sukarela tetap dominan dalam pelaksanaan dan penerapan zakat sebagaimana yang berlaku pada masa Rosulullah, Khulafa al Rasyidin dan pemerintahan Islam di belakangnya.
Model operasionalisasi dan penerapan zakat pada masa klasik Islam secara garis besar dapat dilihat sebagai berikut:

V.1. Zakat Pada Masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Syari’at zakat baru diterapkan secara efektif pada tahun kedua Hijriyah. Ketika itu Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam  telah mengemban dua fungsi, yaitu sebagai Rasulullah dan pemimpin umat. Zakat juga mempunyai dua fungsi, yaitu ibadah bagi muzakki dan sumber utama pendapatan negara. Dalam pengelolaan zakat, nabi sendiri turun tangan memberikan contoh dan petunjuk operasionalnya.
Tentang prosedur pengumpulan dan pendistribusiannya untuk daerah di luar kota Madinah, nabi mengutus petugas untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Diantara petugas itu adalah Muaz bin Jabal untuk memungut dan mendistribusikan zakat dari dan untuk penduduk Yaman.[34]
Para petugas yang ditunjuk oleh Nabi itu dibekali dengan petunjuk-petunjuk teknis operasional dan bimbingan serta peringatan keras dan ancaman sanksi agar dalam pelaksanaan dan pengelolaan zakat benar-benar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.[35] Nabi beserta keluarganya tidak dibenarkan oleh syara’ sebagai penerima zakat.

V.2. Zakat Pada Masa Khalifah Abu Bakar (11-13 H./632-634 M.)
Khalifah Abu Bakar memandang masalah ini sangat serius, karena fungsi zakat sebagai pajak dan sumber utama pendapatan negara. Pada masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup zakat berjalan dengan baik dan lancar, sehingga tugas-tugas nabi baik sebagai rasul maupun sebagai pemimpin negara dan masyarakat dapat berjalan lancar karena dukungan dari berbagai sumber pendapatan terutama dari sektor zakat.
Dalam pelaksanaan dan pengelolahan zakat, khalifah Abu Bakar langsung turun tangan dan mengangkat beberapa petugas (`amil zakat) diseluruh wilayah kekuasaan Islam waktu itu, sehingga pemungutan dan penyaluran harta zakat berjalan dengan baik. Harta-harta zakat yang dipungut segera didistribusikan kepada golongan yang berhak, agar tidak sampai menumpuk di Baitulmal kecuali untuk bagian fi sabilillah (jihad). Bagian yang menjadi haknya sebagai `amil diambil sekedarnya saja.[36]
V.3. Zakat Pada Masa Khalifah Umar bin al-Khattab (13-25 H./634-644 M.)
Perhatian Khalifah Umar terhadap pelaksanaan zakat sangat besar. Untuk itu ia selalu mengontrol para petugas `amil zakat dan mengawasi keamanan gudang penyimpanan harta zakat, khususnya harta-harta dhahirah. Untuk itu ia tidak segan-segan mengeluarkan ancaman akan menindak tegas petugas yang lalai atau menyalahgunakan harta zakat.
Meskipun penerimaan harta zakat melimpah-ruah, karena semakin luasnya wilayah Islam namun kehidupan ekonomi khalifah tetap sederhana seperti sebelum ia menjabat sebagai khalifah.
V.4. Zakat Pada Masa Khalifah Usman bin Affan (24-36 H./644-656 M.)
Sebagaimana khalifah sebelumnya yang mempunyai perhatian besar terhadap pelaksanaan zakat, ia juga demikian. Bahkan harta dia sendiri tidak sedikit dikeluarkannya untuk memperbesar penerimaan demi kepentingan negara. Dia dikenal sebagai orang yang dermawan, dan memiliki kekayaan pribadi yang banyak sebelum menjabat khalifah.[37]
Bagi Khalifah Utsman, urusan zakat ini demikian penting; untuk itu dia mengangkat pejabat yang khusus menanganinya yaitu Zaid ibn Tsabit, sekaligus mengangkatnya mengurus lembaga keuangan negara (baitulmal).

V.5. Pelaksanaan Zakat Pada Masa Ali bin Abi Thalib (36-41 H./656-661 M.)
Dalam penerapan dan pelaksanaan zakat, Ali bin Abi Thalib selalu mengikuti kebijaksanaan khalifah-khalifah pendahulunya. Harta zakat yang sudah terkumpul ia perintahkan kepada petugas supaya segera membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak yang sangat membutuhkannya, dan jangan sampai terjadi penumpukan harta zakat dalam baitulmal.

V.6.Pelaksanaan Zakat Pada Masa Umar bin Abdul Aziz
Pola kepemimpinan dan sistem yang diterapkannya banyak mencontoh para khulafa` al-rasyidin sebelumnya. Khalifah mempunyai perhatian yang besar terhadap petugas zakat. Sewaktu-waktu dia sendiri turun tangan membagi-bagikan harta zakat kepada mereka yang berhak menerimanya, bahkan mengantarkannya ke tempat mereka masing-masing.[38]
Pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, sistem dan manajemen zakat sudah mulai maju dan profesional. Jenis ragam harta dan kekayaan yang dikenakan zakat sudah bertambah banyak. Yusuf al-Qardlawi, menuturkan bahwa khalifah Umar  bin Abdul Aziz adalah seorang mujaddid pada kurun abad pertama yang mewajibakan zakat atas harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau jasa, termasuk gaji, honorarium, dan berbagai mal al-mustafad lainnya.[39]
Gambaran umum tentang operasional penerapan zakat yang dicontohkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam seperti yang diterapkan para Khukafa’ al-Rasyidin dan khalifah-khalifah di kemudianya, pada masa klasik Islam menunjukkan bahwa penanganan zakat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penguasa (pemerintah).
Seyogyanya konsep operasionalisasi penerapan zakat sejak dulu sampai sekarang harus berkembang dan diaktualisasikan sesuai pertumbuhan masyarakat, budaya, ekonomi. Namun karena beberapa faktor tertentu menjadi  terhambat baik secara internal maupun eksternal.
Dari faktor eksternal atau faktor politis adalah masih dirasakan adanya hambatan dari segolongan masyarakat yang berfikiran sekuler, dimana  mereka mengatakan urusan agama tidak dapat dikaitkan dengan urusan pemerintahan. Keduanya harus berjalan sendiri-sendiri. Ataupun hambatan dari penganut agama lain, bahwa persoalan zakat tidak dapat dimasukkan ke dalam urusan pemerintahan secara formal, karena hal itu akan mengarah pada negara Islam dan menghidupkan Piagam Jakarta.
Lebih jauh lagi akan berakibat fatal bagi kelancaran penerimaan pajak sebaagai sumber pendapatan keuangan negara. Karena, sebagian umat Islam akan lebih mengutamakan kewajiban zakat daripada kewajiban membayar pajak. Jika keduanya sama-sama diwajibkan oleh pemerintah (double tax), hal itu dinilai oleh masyarakat pada umumnya tidak adil karena sangat memberatkan.
Sedang dari faktor internal lebih banyak, karena penguasa yang ada sekaranga dianggap bukan pemerintahan Islam seperti masa Rosulullah dan Khulafa al Rasyidin. Dan sangat diragukan zakatnya tidak akan sampai kepada yang berhak karena digelapkan oleh oknum pemerintah tersebut. Namun faktor internal yang paling dominan menurut kami adalah masih rendahnya  tingkat pendidikan (bahkan untuk kategori Ilmu al-Chal) sebagian besar ummat Islam. Bahkan hal ini juga terjadi pada kebanyakan aparat pemerintahan. Kesadaran mereka akan kewajiban menuntut ilmu, -utamanya tentang ilmu agama- masih belum memadai. Bahkan amat nyata terjadi ketimpangan fan ilmu yang diprioritaskan. Sehingga penilaian pada hampir setiap permasalahan bisa dikata timpang. Sehingga kesadaran untuk menerapkan syariat secara lurus dan konsekuen, belum bisa mencapai taraf yang memadai. Apalagi dalam persoalan zakat yang menyangkut materi.
Tentang hukum menyerahkan zakat pada penguasa yang dhalim, perbedaan pendapat para ulama dikelompokkan oleh Yusuf Qardhawi menjadi tiga bagian:
1.        Pendapat yang memperbolehkan secara mutlak mereka mendasarkan pada beberapa Hadits sharih diantaranya yaitu:
“Dari Wa`il bin Hijr beliau berkata: aku mendengar seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.: “bagaimana pendapatmu, jika kami mempunyai penguasa yang tidak mau memberikan haknya kepada kami, akan tetapi meminta haknya dari kami?”, Rasul menjawab: “dengarlah dan taatlah, sesungguhnya bagi mereka apa yang mereka perbuat, dan bagi kamu sekalian apa yang kalian kerjakan”.[40]
Karena, daulah Islamiyah mempunyai kebutuhan tetap terhadap harta untuk mengurus masyarakat agar dapat terpenuhi semua kebutuhan bersama yang bersifat umum. Apabila seseorang tidak mau mengeluarkan harta yang tetap untuk menolong pemerintah karena dhalimnya penguasa, maka akan rusaklah keseimbangan daulah (negara), berantakanlah persatuan umat dan akan mudah dicaplok musuh-musuh negara yang senantiasa menanti kesempatan.
2.        Pendapat yang melarang yang secara mutlak yaitu salah satu dari dua pendapat Imam Syafi’i dan dihikayatkan oleh al-Mahdi dalam al-Bahr, dari `Utrah:
“Bahwa tidak boleh menyerahkan zakat kepada penguasa yang dhalim, serta tidak mencukupi kewajiban. Dengan bertendensi pada firman Allah:
لاينال عهدى الظالمين
“Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang dzalim”. (QS. Al-Baqarah: 124)
Namun Imam Syaukani membatahnya dan menyatakan bahwa keumuman ayat ini ditakhshish oleh Hadits-hadits yang diterangkan dalam bab ini.[41]
3.        Pendapat yang mentafsil (memerinci) sebagian ulama Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa pemilik harta boleh menyerahkan zakat kepada petugas dan penguasa walaupun keadaannya fasik, apabila ia menempatkan zakat dan menyalurkannya sesuai dengan perintah Allah. Tetapi apabila ia tidak benar dalam menempatkan dan tidak menyalurkan kepada para mustahiknya, maka haram menyerahkan zakat kepadanya dan wajib menyembunyikannya.[42] Bahkan imam Mawardi dari Madzhab Syafi’i berpendapat tentang penguasa yang semacam ini: “Apabila ia mengambil zakat dari si pemilik harta baik dengan kesadaran maupun secara paksa maka tidak dapat memenuhi kewajiban zakat si pemilik harta dan ia wajib mengeluarkan serta memberikannya sendiri pada mustahiknya”.[43]
Menanggapi perbedaan pendapat ini Yusuf Qardlawi memilih menyerahkan zakat pada penguasa apabila ia menyalurkan tepat sasaran sesuai perintah syara’, walaupun ia berlaku dzalim pada urusan-urusan yang lain. Apabila ia dalam mendistribusikan zakat tidak sesuai dengan perintah syara’, maka jangan diserahkan padanya kecuali kalau ia meminta, maka tidak diperkenankan menolaknya, berdasarkan Hadits-hadits tadi dan berdasarkan fatwa-fatwa sahabat yang berulangkali dalam menyerahkan zakat pada penguasa walaupun mereka dzalim.
Dan pendapat yang ditetapkan ulama muhaqqiq sebagaimana terdapat dalam syarah Muhadzab dan yang lain, bahwa penguasa apabila tidak adil dengan tidak menyalurkan zakat pada sasaran, tidak sesuai dengan aturan agama, maka yang utama bagi muzakki adalah mengeluarkan dan memberikan sendiri zakatnya pada mustahiknya apabila tidak diminta oleh penguasa atau petugas.[44]
Untuk pembahasan seputar zakat, kiranya kami cukupkann sekian dulu, namun tentunya materi yang kami suguhkan kali ini amat jauh dari mencukupi. Karena dalam materi ini memang kami lebih terfokus pada dimensi sosial zakat. Untuk itu, kalau kami masih berkesempatan dan mendapat taufik dari Alloh subhanahu wa ta’ala., insya Allah akan kami ungkap materi zakat lebih spesifik lagi, utamanya tentang jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kuda, madu, gaji pegawai negeri, upah buruh pabrik apakah wajib dizakati? Bagaimana syarat-syaratnya? Juga akan kami jelaskan -insya Alloh- gambaran tentang sasaran-sasaran (mustahik) pendistribusian zakat, dalam mencapai kedua dimensi `ubudiyyah mahdloh dan dimensi sosialnya. Tentunya hal ini hanya dapat kami jawab pada edisi selanjutnya. Insya Allah.


* Kelas II Aliyah; aktivis M3S
[1] Al majmu’ 5;324
[2] Al-Amwal, hal. 46
[3] Tarikh al-Balazuri, hal. 177
[4] HR Abu Daud, Thabrani dan Baihaqi
[5] Rachmat Djatmika, infak, sadakah – zakat dan wakaf sebagai komponen dalam pembnagunan, al-Ikhlas, Surabaya, t.t, hlm 20
[6] Muhammad Ali al-Khulid, The Light of Islam, ed. Suaileh Yordan, 1987, hal. 49
[7] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz II, Dar al-Fikr Damaskus cet. III, 1989 hal. 736-738
[8] Lihat Yusuf Qardlawi, Fiqhuz Zakat, hal 51-51
[9] tafsir juz ‘amma, Mesir, cetakan ketiga, hal 83
[10] Ibnu Katsir, jilid IV, hal 555
[11] Yusuf Qardlawi, Fiqhuz Zakat, hal 56
[12] Al-Majmu’ juz 5 hal 334.
[13] Al-Mughni juz 11 hal 573 terbitan al Manaar yang ketiga.
[14] Imam Nawawi mengatakan bahwa Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i dalam sunan mereka dalam bab Chudud diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dengan sanad shahih. Juga Nasa’i dan Ibnu Majah dalam bab tholaq dengan riwayat dari Aisyah dengan sanad chasan. Lihat Majmu’ jilid 6 hal 253.
[15] Lihat Abu Ubaid, al Amwal: 448, as-Sunan al Kubro: 107; al Muhalla jilid 5 hal 208, Ibnu Hajar, at-talkhish: 176. Nawawi dalam al-Majmu’ jilid 5 hal 329 menambahkan nama-nama itu dengan Hasan bin Ali.
[16] Dr Yusuf Qordlowi, Fiqhuz zakat juz I hal 114
 7 Fiqhuz Zakat 1:130
[18] Nawawi, al Majmu’ jilid 5 hal 339-340.
[19] Shahih Muslim dengan komentar imam NAwawi juz 7 hal 55.
10 Hasyiah Ibn Abidin juz II hal 7 dikutip dari al Bahr
[21] Fath al-Qodir jilid II hal 482.
11 Fiqhuz Zakat  1:150-151
[23] Chasyiah Ibnu ‘Abidin jilid 2 hal 6, dan al Bahr al Roiq jilid 2 hal 222, yang dikutip dari Ibnu al Malik, Syarh al Mujma’
[24] Hadits no.7155, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanadnya shahih
[25] Fiqhuz Zakat, hal: 161
[26] Tentang syarat-syarat umum harta yang terkena zakat ini kami banyak mengutip dari Fiqhuz Zakat, Yusuf Qardlawi hal 130-162.
[27] Fathul Bari, Ibnu Hajar, jilid 3 hal 23, ketika mensyarah Hadits wasiat Mu’adz dari Hadits shahih Bukhari: kitab zakat, bab mengambil shodaqoh dari orang kaya untuk diberikan kepada mereka yang fakir, dimana mereka berada.
[28] Nail al-Author, jilid 4 hal 124, cet. Kedua, Musthafa al-Halabi.
[29] Afif Abdul Fatah Thabarah, Ruh al-din al-Islami, Dar al-Ilmi al-Malayiin, Beirut cet.VII 1966 hal 333s
[30] Lihat Dr. Abdurrahman Qadir, ZAKAT dalam dimensi mahdah dan sosial, hal168-170
[31] Yusuf Qardlawi, Musykilah al-Faqr wa kaifa ‘alajaha al-Islam, maktabah Wahbah, cet. II, 1975 hal 85.
[32] Menurut al-Qardlawi, sanksi pidana atas pembangkang tersebut boleh diganti dengan ta’zir atau hukum lain yang diteapkan oleh hakim berdasarkna pertimbangan mashlahah. Lihat al-Qardlawi, ibid, hlm 77-78. Bahkan khalifah Abu Bakar mengambil sikap paling tegas, yaitu menganggap pembangkang zakat sebagai murtad, maka mereka halal diperangi.
[33] Di berbaga negara Islam, pelaksanaan zakat diatur dalam suaatu undang-undang khusus, seperti di Paakistan, mesir, malaysia, daan lain-lain. Di Saudi Arabia persolalan zakat di tangani oleh suatu lembaga yang disebut Mashlahah al-Zakat, dibawah kementerian keuangan (Wizaroh al-Maaliyyah). Sedangkan di Indonesia, pelaksanaanzakat baru  di atur dalam SKB menteri agama dan menteri dalam negeri no: 29 tahun 1991 dan 47 tahun 1991, tentang pembinaan BAZIS. SKB tersebut ditindak lanjuti dengan instruksi menteri agama no 5 tahun 1991 tentang pembinaan teknis BAZIS.
[34] HR. Bukhari, Shahih Bukhari, juz II, hal. 90
[35] Al-Thayyar, Op. Cit., hal. 48
[36] Al-Thayyar, Op. Cit., hal. 84-85
[37] Ibid.
[38] lihat Dr. Abdurrachman Qadir, MA., Zakat (dalam dimensi mahdhah dan sosial) hal 91-96
[39] Al-Qardlawi, Fiqh al-Zakah, juz I, hal. 502-503.
[40] Riwayat Muslim dan Turmudzi dan dishahihkan oleh Turmudzi, Nail al-Authar, jilid IV, hal. 155, cet. Utsmaniyah
[41] Nail al-Authar, jilid IV, hal. 165
[42] Ibid.
[43] Ahkam al-Sulthaniyah, Mawardi, hal. 117 cet. Mahmudiyah Tijariyah, Mesir.
[44] Tafsir al-Manar, jilid I, hal. 595-596 cet. ke II

Tidak ada komentar:

Posting Komentar