ZAKAT
Konsep pengentasan kemiskinan
Tidak diragukan lagi, zakat
merupakan komponen yang amat penting dalam Syari’at Islam. Bahkan zakat adalah
rukun ketiga dari kelima Rukun Islam,
hingga bisa dikata merupakan penyeimbang bagi rukun Islam lainnya. Zakat
merupakan bagian penting dari konsep Islam dalam mengentaskan kemiskinan
sebagai problem ummat sepanjang masa. Namun untuk mencapai tujuan tersebut,
mutlak dibutuhkan kinerja operasional yang profesional dan efisien. Tidak cukup
hanya dengan pengakuan kita akan kewajibannya. Toh pada zaman kejayaan Islam,
zakat telah mampu memakmurkan Ummat, lalu kenapa hal itu tidak dapat kita capai
untuk masa sekarang ?
I.
Pengertian zakat
Dari segi bahasa
zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zaka yang berarti
berkah, tumbuh, bersih dan baik. Menurut Lisan al-Arab arti dasar dari kata zaka
ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, terpuji. Tetapi yang
terkuat, menurut Wahidi dan ulama yang lain, kata dasar zaka berarti
bertambah dan tumbuh.
Sedang dari segi istilah fikih, zakat berarti “sejumlah
harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang
berhak” disamping berarti “mengeluarkan zakat itu sendiri”. Jumlah yang
dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu
menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari
kebinasaan, demikian Syaikh Nawani mengutip pendapat Wahidi[1]
Arti tumbuh dan suci tidak hanya dipakai hanya buat
kekayaan saja, tetapi lebih dari itu juga buat orang yang menzakatkannya,
sesuai firman Allah Subhanau wa Ta’ala .:
خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم ان صلاتك سكن لهم
“Pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan sucikan mereka dengannya, dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka” (QS. Al-Taubah: 103)
Sekaligus merupakan cambuk
ampuh yang membuat zakat tidak hanya menciptakan pertumbuhan material dan
spiritual bagi orang-orang miskin, tetapi juga mengembangkan jiwa dan kekayaan
orang-orang kaya.
Sesungguhnya dimensi sosial dari
sasaran zakat, jelas tidak diragukan lagi. Dengan memperhatikan pada mustahiq
zakat dengan pandangan yang sekilas saja maka akan tampak jelas bagi kita
seperti terangnya pagi hari bagi orang yang bisa melihat. Apabila kita membaca
ayat Allah dalam surat al-Taubah ayat 60:
انما
الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين
وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله, والله عليم حكيم
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu`allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibakan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Maka jelas bagi kita bahwa
berdasarkan ayat ini ada sasaran zakat yang bersifat identitas agama yang
bersifat politis seperti yang diisyaratkan dengan bagian para mu`allaf
yang dibujuk hatinya dan bagian sabilillah (penegakan agama Allah) dan
membelanya dari musuh-musuhnya. Hal ini dilakukan dengan pembujukan hati dan
berdakwah pada golongan-golongan tertentu, karena hal itu termasuk dalam makna
“sabilillah”.
Juga ada sasaran zakat yang bersifat identitas sosial
seperti menolong orang yang mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang
lemah, seperti fakir, miskin, orang yang berhutang dan ibnu sabil.
Menolong mereka, meskipun sifatnya pribadi, akan tetapi mempunyai dampak sosial
karena masing-masing saling berkaitan erat, Sebab secara pasti antara pribadi
dengan masyarakat akan saling berpengaruh, bahkan tidak lain masyarakat
merupakan tumpuan pribadi-pribadi. Segala sesuatu yang memperkuat pribadi
mengembangkan cita-citanya dan kemampuan material serta spiritualnya, tanpa
diragukan lagi akan memperkuat dan mempertinggi masyarakatnya. Sebaliknya
segala sesuatu yang mengokohkan masyarakat dengan sifatnya yang umum akan
berakibat pada anggotanya, baik disadari maupun tidak. Maka, tidaklah aneh
dengan menyibukkan para penganggur, menolong orang yang lemah dan orang yang
membutuhkan seperti fakir, miskin, budak belian, dan orang yang berhutang akan
mempunyai sasaran kemasyarakatan, karena di dalamnya ada unsur sosial yang pada
waktu yang bersamaan mempunyai sasaran individual jika dilihat dari orang yang
menerima zakat.
Zakat adalah salah satu bagian dari aturan jaminan sosial
dalam Islam. Zakat, adalah jaminan yang mencakup semua ashnaf yang
membutuhkan baik kebutuhan yang bersifat fisik, jiwa maupun akal. Sebagaimana
kita ketahui dalam kitab-kitab para ilmuwan Islam, bagaimana perkawinan
dianggap sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, demikian juga buku-buku
ilmu pengetahuan bagi orang yang ahlinya.
Hal ini bukan khusus bagi kaum muslimin saja akan tetapi
mencakup semua orang yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam seperti
yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar kepada orang-orang Yahudi yang
meminta-minta pada setiap pintu, lalu beliau memrintahkan agar orang tersebut
dipenuhi kebutuhannya dari baitulmal kaum muslimin dan tindakan ini
merupakan tindakan awal untuk hal-hal yang serupa.[2]
Seperti juga ketika beliau dalam perjalanan menuju
Damaskus beliau menemukan orang-orang Nasrani yang berpenyakit kusta atau
lepra, maka beliau memerintahkan agar mereka diberi sumbangan tetap dari baitulmal
Islam.[3]
Kemudian ketika
zakat dikatakan bisa mengembangkan kekayaan orang yang mengeluarkan, mungkin
akan banyak dari mereka yang tidak bisa menerima pengartian seperti itu.
Baiklah mari kita
simak ulasan berikut ini. Sesuai pengertian zakat secara etimologi, yaitu suci,
tumbuh, bersih berkah dan sejenisnya, hal ini mengandung pengertian yang luas
sesuai dengan fungsi dan tujuan zakat itu sendiri. Zakat sebagai ibadah bidang
harta yang mana pada saat memperolehnya tidak lepas dari kemungkinan cacat dan
cela, maka zakatlah sebagai alat pencuci harta kekayaan tersebut sehinga harta
itu menjadi bersih, suci, dan berkah. Harta yang bersih dan berkah akan
berkembang tumbuh dan terhindar dari kebinasaan seperti dinyatakan dalam sebuah
Hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :
حصنوا
اموالكم بالزكاة
“Bentengilah harta kamu
sekalian dengan zakat”[4]
Kalau kita lihat zakat dari segi ekonomi adalah
merangsang si pemilik harta kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang
telah diambil dari mereka. Hal ini terutama jelas sekali pada zakat uang dimana
Islam melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan pengembangan. Dalam
hal ini ada ancaman Allah :
والذين
يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله فبشرهم بعذاب أليم
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka
bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih” (QS. Al-Taubah: 34)
Dan tidak cukup dengan
sekedar ancaman yang berat ini, bahkan Islam mengumumkan perang terhadap usaha
penumpukan dan membuat garis yang tegas dan bijaksana untuk mengeluarkan uang
dari kas dana simpanan. Hal ini tercermin ketika Islam tetap mewajibakan 2,5%
dari kekayaan uang tanpa memandang apakah uang itu diinvestasikan oleh
pemiliknya ataupun tidak. Dengan demikian, maka zakat merupakan suatu cambuk
yang bisa menggiring untuk mengeluarkan harta agar diinvestasikan, diamalkan
dan dikembangkan sehingga tidak habis dimakan waktu. Dalam hal ini juga
terdapat sebuah Hadits:
ألا من ولي يتيما له
مال فاليتجر له فيه ولا يتركه فتأكله الصدقة
“Ingatlah, siapa yang mengasuh anak yatim yang
memiliki kekayaan, maka ia harus memperdagangkannya, jangan dibiarkan saja agar
tidak dimakan oleh zakat” (HR. Tumrudzi dan Daru Quthni)
Kemudian meskipun
secara matematik, zakat berupa pengeluaran sebagian harta kekayaan yang
diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain dalam jumlah tertentu, betapapun
kecilnya pasti berakibat pengurangan secara kuantitatif, tetapi lain halnya
dengan pengeluaran zakat yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, zakat akan memberikan suatu nilai tambah
berlipat ganda baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif di luar
penghitungan matematik manusia.
Untuk mengetahui apakah zakat akan memberi nilai tambah,
bandingkan dengan ilmu dan hukum ekonomi yang dikenal dengan sebuah teori yang
disebut nilai tambah (added value).
Teori tersebut menyatakan bahwa meningkatnya daya beli konsumen terutama golongan
ekonomi lemah, pasti meningkatkan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang pada
gilirannya akan mendatangkan keuntungan bagi pihak produsen yang umumnya milik
orang-orang kaya sebagai pemilik modal. Dengan pemerataan distribusi harta yang
berupa zakat yang diterima golongan ekonomi lemah, selanjutnya digunakan dalam
proses produksi dan berbagai aktivitas ekonomi atau usaha lainnya, lebih dari
itu menyatu dengan kegiatan perdagangan atau produk-produk besar yang dimiliki
oleh orang-orang kaya sebagai mitra usaha, penyalur atau sebagai bapak angkat
yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, menurut Rachmat Djatmika, zakat
mempunyai peranan penting sebagai komponen makro dalam pengembangan dan
pembangunan ekonomi.[5]
Pembayaran zakat oleh orang-orang kaya untuk orang-orang
miskin akan memberi keuntungan dan memberi efek positif bagi berbagai pihak (multiplier effect), karena zakat akan
menumbuhkan kesuburan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara adil dan
merata. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, otomatis akan
melancarkan perputaran modal dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian pada
umumnya.
Sesuai dengan prinsip ekonomi Islam, bahwa modal atau
infestasi harus dikembangkan sedemikian rupa dalam berbagai sektor kegiatan
produksi dan menyerap sekian banyak tenaga manusia sehingga keuntungannya dapat
dinikmati oleh masyarakat luas, terutama mereka yang tidak memiliki modal dan
lapangan usaha. Dengan demikian zakat yang diterima oleh golongan ekonomi lemah
(fakir miskin), pada gilirannya akan berdampak untuk meningkatkan daya beli
masyarakat terhadap produk milik para orang kaya itu sendiri.[6]
Justru itu
syari’at Islam memberikan sanksi kepada orang-orang kaya yang menahan harta
atau modal kekayaan yang tidak diproduktifkan, yaitu tetap dikenakan kewajiban
zakat, hingga pada akhirnya harta itu harus diproduktifkan sebagai modal yang
memberi manfaat bagi pemiliknya dan masyarakat lingkungannya. Dengan demikian
zakat akhirnya hanya akan dikeluarkan dari keuntungannya saja apabila harta itu
telah memenuhi syarat-syarat umum zakat; seperti nishab, haul dan sebagainya.[7]
II. KEDUDUKAN ZAKAT DALAM
ISLAM
Kemiskinan dan orang-orang miskin sudah dikenal oleh
manusia dan catatan sejarah semenjak zaman-zaman lampau. Karenanya beralasan
sekali kalau kita katakan bahwa dalam tiap masa pasti terdapat orang-orang yang
berusaha membawa masa dan kebudayaannya untuk memperhatikan nilai manusiawi
dasar, yaitu perasaan merasa tersentuh melihat penderitaan orang-orang lain dan
berusaha melepaskan mereka dari kemiskinan dan kepapaan. Atau paling tidak
meringankan beban penderitaan mereka. Namun di balik itu didapatkan suatu
keadaan yang menarik yaitu golongan yang berkecukupan selalu semakin makmur
tanpa batas sedangkan golongan yang melarat selalu semakin kirus terhempas tak
berdaya.
Dalam hal ini pada dasarnya semua agama, bahkan
agama-agama ciptaan manusia yang tidak mengenal hubungan dengan kitab suci
samawi, tidak kurang perhatiannya pada segi sosial yang mana tanpa segi ini
persaudaraan dan kehidupan yang sentausa tidak akan terwujud.
Beribu-ribu tahun sebelum Masehi, orang-orang Mesir kuno
selalu merasa menyandang tugas agama sehingga mereka mengatakan: “Orang lapar
kuberi roti, orang yang tidak berpakaian kuberi pakaian, kubimbing kedua tangan
orang tidak mampu berjalan ke seberang, dan aku adalah ayah bagi anak-anak
yatim, suami bagi janda-janda dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang
yang ditimpa hujan badai”. Namun agama-agama langitlah sesungguhnya yang lebih
kuat dan lebih dalam dampak seruannya daripada buah fikiran filsafat, agama
ciptaan, dan ajaran apapun dalam melindungi orang-orang miskin dan lemah.
Apabila kita
melihat Taurat dan Injil (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang ada
sekarang, kita akan bertemu dengan banyak pesan dan nasehat khusus tentang
cinta kasih dan perhatian pada fakir miskin, janda-janda, anak-anak yatim, dan
orang-orang lemah. Tentang perhatian agama-agama selain Islam, dan kitab-kitab
suci selain Al-Qur`an, dapat kita berikan beberapa catatan:
1. Perhatian itu tidak lebih dari sekedar anjuran supaya manusia berbuat
baik dan kasih kepada orang-orang miskin, sekedar tidak senang kepada sikap
individualis dan kekikiran, dan sekedar
seruan konkrit bagi tumbuhnya sikap persaudaraan secara spontan.
2. Perhatian itu belum sampai ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu
instruksi wajib, dimana orang yang tidak melaksanakannya dipandang tidak
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang harus dihukum berat baik di dunia
maupun di akhirat.
3. Realisasi perbuatan baik terserah kepada kemurahan hati pribadi-pribadi
saja, sedangkan negara tidak berwenang mengumpulkan dan mendistribusikannya.
4. Kekayaan apa yang harus didermakan itu tidak jelas, begitu juga
persyaratan dan besarnya. Hal ini mengakibatkan negara tidak mungkin mengambil
inisiatif-inisiatif untuk memungut derma-derma itu, karena bagaimana mungkin
hal itu dilaksanakan bila apa dan berapa yang harus diberikan tidak jelas.
5. Tujuan perhatian terhadap orang-orang miskin itu bukanlah
penanggulangan problematika kemiskinan, memberantas dari akarnya, dan
memperbaiki nasib orang-orang tak punya itu menjadi punya, tetapi tujuannya
tidak lain daripada untuk mengurangi dan meringankan penderitaan mereka.
Dengan demikian
kita sampai pada kesimpulan bahwa nasib orang-orang miskin dan lemah itu
tergantung kepada belas kasih orang-orang kaya. Bila si kaya itu tergerak untuk
berbuat baik, karena takut kepada Tuhannya, takut kepada hari kiamat, maupun
karena ingin dipuji, dan rasa kemanusiaan, maka mereka akan memberikan sesuatu
sekalipun sedikit sekali kepada orang-orang lemah, butuh, dan miskin itu, lalu
pantaslah sudah disebut sebagai orang-orang baik. Tetapi bila mereka sedang
dimabuk harta dan materi, sengsaralah orang-orang miskin itu, dan menjadi
mangsa cengkeraman kemelaratan. Demikianlah bahaya kebajikan yang yang
diserahkan kepada kemurahan hati mereka saja.
Perhatian Islam
terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat dibandingkan
dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi
pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Perhatian Islam yang
besar terhadap penanggulangan kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat
dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di kota Makkah
(saat ummat Islam baru beberapa orang dan hidup tertekan, dikejar-kejar, belum
mempunyai pemerintahan dan organisasi politik) sudah mempunyai al-Qur`an yang
memberikan perhatian penuh dan kontinu pada masalah sosial penanggulangan
kemiskinan tersebut.[8]
Seperti yang terungkap dalam ayat-ayat Makkiyyah di bawah ini:
كل نفس بما كسبت
رهينة الا أصحاب اليمين في جنات يتساءلون عن المجرمين ما سلككم في سقر. قالوا لم
نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين وكنا نخوض مع الخاضعين وكنا نكذب بيوم الدين
“Setiap orang bertanggung jawab atas
perbuatannya, kecuali orang-orang di sebelah kanan, mereka berada di
taman-taman surga saling bertanya tentang orang-orang durjana, “apakah sebabnya
kamu dijebloskan ke dalam neraka?” mereka menjawab, “Kami bukan golongan orang
yang shalat, dan kami tiada memberi makan orang yang miskin. Kami asyik membicarakan
kebatilan dengan orang yang berbuat kebatilan itu, dan kami mendustakan hari
pembalasan” ( QS.
Al-Muddattsir: 38-46)
juga ayat:
كلا بل لا تكرمون اليتيم ولا تحاضون على طعام المسكين
“Tidak, tetapi kalian tidak menghormati
anak-anak yatim dan tidak saling mendorong memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Fajr: 17-18)
Kata tahadl ‘saling mendorong’
dalam ayat ini mengandung arti “bahu-membahu”. Dengan demikian ayat ini
mengandung seruan agar masyarakat bertanggung jawab sepenuhnya dalam menangani
kemiskinan.
فآت ذا القربى حقه والمسكين وابن السبيل ذلك خير للذين يريدون وجه الله
“Berilah para kerabat, fakir miskin, dan orang
yang terlantar dalam perjalanan hak masing-masing, yang demikian itu lebih baik
bagi mereka yang mencari wajah Allah.” (QS.
al-Ruum: 38)
Dalam al-Qur`an surat
al-Ma’un, tindakan kejam terhadap anak-anak yatim dan tidak mau tahu dengan
nasib orang-orang miskin, dinilai sebagai tindakan yang identik dengan
kekufuran dan keingkaran tentang hari kiamat.. Allah berfirman:
أرءيت الذي يكذب باللدين
“apakah kamu melihat orang-orang yang
mendustakan agama ?”
Pertanyaan disini berarti “tahukah kalian siapa yang disebut pendusta
agama?” bila tidak tahu maka jawabnya adalah:
فذلك الذي يدع
اليتيم. ولايحض على طعام المسكين
“Ia adalah orang yang menghardik anak yatim
dan orang yang tidak menganjurkan memberi makan pada orang miskin”[9]
Selanjutnya Allah menjelaskan batasan orang yang mendustakan agama:
فويل للمصلين. الذين
هم عن صلاةهم ساهون. الذين هم يراءون. ويمنعون الماعون
“ Maka celakalah orang-orang yang shalat.
Yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya. Orang-orang yang melakukan riya’
(hanya untuk mencapai pujian dan kemasyhuran di masyarakat). Orang-orang yang
(enggan menolong) dengan barang yang berguna”
Ibnu Katsir menerangkan tafsiran ayat ini sebagai
berikut:
“Mereka itu
adalah orang-orang yang sesungguhnya tidak berbuat kebaikan dalam beribadah
kepada Allah dan tidak pula berbuat kebaikan kepada manusia. Bahkan untuk
sekedar meminjamkan sesuatu barang kepada orang yang membutuhkan saja ia tidak
mau. Sekalipun barang tadi tidak rusak karenanya dan dikembalikan dalam keadaan
utuh. Maka bagaimana mungkin orang-orang yang seperti ini mau membayarkan zakat
ataupun menyumbang.[10]
Orang-orang seperti itulah yang tidak berarti bagi
mereka shalat mereka dan tidak layak masuk barisan orang-orang yang beriman.[11]
Dengan demikian
Al-Qur`an semenjak saat-saat awal kurun Makkah telah menanamkan di dalam dada
orang-orang Islam bahwa para kerabat dan orang yang berkekurangan mempunyai hak
yang pasti dalam kekayaan mereka. Hak itu harus dikeluarkan, tidak hanya berupa
sedekah sunnat yang mereka berikan atau tidak mereka berikan bila mereka
menghendaki.
Ayat-ayat
Makkiyyah merupakan metodologi yang dipakai Al-Qur`an untuk mendorong manusia
agar memperhatikan dan memberikan hak-hak fakir miskin supaya mereka tidak
terlunta-lunta. Metodologi ini ditandai dengan satu cara lain yaitu “dipujinya
orang-orang yang berzakat dan dicercanya orang yang tidak membayarnya”
sebagaimana jelas terlihat pada ayat-ayat Makkiyyah.
Namun hal-hal
yang perlu dicatat dari pernyataan-pernyataan tentang zakat dalam surat-surat
yang turun di Makkah itu adalah bahwa pernyataan-pernyataan itu tidak dalam
bentuk ‘amr (perintah) yang dengan tegas mengandung arti wajib
dilaksanakan, tetapi berbentuk kalimat-kalimat berita biasa. Hal ini karena
zakat hanya dipandang sebagai ‘ciri
utama’ orang-orang yang
beriman, bertaqwa, dan berbuat kebajikan. Atau sebaliknya dinilai sebagai
orang-orang musyrik bila tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
Dan dalam sejarah
perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di Madinah, tetapi mengapa
Al-Qur`an membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu banyak dalam
surat-surat yang turun di Makkah ?
Jawaban atas
pertanyaan ini karena zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di
Makkah itu tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, di mana
nishab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan
membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya.
Tetapi zakat di
Makkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan
kepada kemurahan hati dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain
sesama orang-orang yang beriman. Sedikit sudah memadai tetapi bila kebutuhan
menghendaki, zakat itu bisa lebih banyak atau lebih banyak lagi dari itu.
Kaum muslimin di
Makkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama
mereka, tetapi di Madinah mereka sudah merupakan jama’ah (kelompok) yang
memiliki wilayah, eksistensi, dan pemerintah sendiri. Oleh karena itu beban
tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai perkembangan tersebut, yaitu
bentuk delimitasi bukan generalisasi, bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan
hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran.
Hal ini mengakibatkan penerapannya
memerlukan kekuasaan disamping didasarkan atas perasaan iman tersebut.
Kecenderungan ini terlihat pula pada penerapan zakat. Allah menjelaskan
kekayaan apa yang harus dikeluarkan zakatnya, syarat-syarat terkena hukum wajib,
besarnya, sasaran-sasaran pengeluarannya, dan badan yang bertugas mengatur dan
mengelolanya.
Ayat-ayat yang turun di Madinah
menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi yang
jelas. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 110:
وأقيموا الصلاة وأتوا
الزكاة
“Dan dirikanlah shalat oleh kalian semua dan
bayarlah zakat”
Juga dalam
al-Qur`an surat al-Taubah ayat 11:
فان تابوا واقاموا
الصلاة واتوا الزكاة فاخوانكم فى الدين
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan
mengeluarkan zakat, barulah mereka teman kalian seagama”
Kemudian
Hadits Ibnu Umar dalam kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim
أمرت ان اقاتل الناس
حتى يشهد ان لااله الا الله وان محمدا الرسول الله ويقيم الصلاة ويؤتون الزكاة
“Saya diinstruksikan memerangi manusia kecuali
bila mereka mengikrarkan syahadahnya bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat”.
Dan yang penting diketahui
selanjutnya bahwa zakat itu esensi sekali dalam Islam. Zakat adalah salah satu
rukun Islam. Tidak hanya wajib bagi nabi tetapi juga buat seluruh ummat, dan
wajibnya itu ditegaskan ayat-ayat al-Qur`an yang tegas dan jelas, oleh sunnah
nabi yang disaksikan semua orang mutawatir, dan oleh konsensus (ijma’)
seluruh ummat semenjak dulu sampai sekarang ke generasi demi generasi.
Berdasarkan kedudukan zakat dalam
syari’at Islam itu, para ulama menetapkan bahwa orang yang mengingkari dan
tidak mengakui zakat itu adalah kafir dan sudah keluar dari Islam. Imam Nawawi
berkata: “Bila orang itu mengingkari wajibnya zakat karena ia belum
mengetahuinya karena hidup pada masa-masa Islam baru tersiar, atau ia tinggal
jauh di pedalaman, maka ia tidaklah dinilai kafir tetapi harus diperkenalkan
lebih dulu kepadanya bahwa zakat itu wajib, lalu dipungut. Bila ia tetap mengingkari,
barulah ia dihukumi kafir. Tetapi bila ia hidup di tengah-tengah ummat Islam
maka ia dihukumi kafir dan diperlakukan sebagai orang-orang murtad yang harus
ditundukkan atau dibunuh. Hal ini karena wajibnya zakat sudah diketahui umum,
bahwa yang mengingkari wajibnya zakat itu dinilai tidak mengakui Allah dan
Rasul-Nya dan dihukumi kafir”.[12]
Penjelasan Imam Nawawi diperkuat oleh Ibnu Qudamah[13]
dan ahli fikih Islam lainnya.
Kalau kita amati betapa urgen
kedudukan zakat dalam syari’at Islam dan kita telaah proses taklifnya dari
Makkah hingga diwaijbkan di Madinah, ada hal yang perlu kita cermati yaitu
bahwa sebelum zakat ditetapkan sebagai suatu kewajiban, terlebih dulu ada
proses penanaman nilai-nilai zakat pada diri kaum muslimin. Disebutkan bahwa zakat
merupakan ciri utama orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Setelah nilai-nilai
itu terpatri dalam jiwa mereka, baru kemudian zakat ditetapkan dengan tegas
menjadi suatu kewajiban individual dalam harta mereka. Seperti halnya pada
proses pengharaman khamr (minuman yang memabukkan). Terlebih dulu
ditekankan tentang unsur-unsur negatif dalam khamr, setelah dirasa cukup
memadai baru kemudian secara tegas khamr diharamkan. Dalam hal ini unsur
yang kami amati adalah proses penetapan hukumnya. Bukan langsung ditegaskan
hukum wajib atau haramnya, akan tetapi disitu tetap masih ada proses panjang
dalam rangka menuju penetapan hukumnya.
Dan memandang kondisi riil sekarang
ini, khususnya di Indonesia, dimana pelaksanaan zakat bisa dikata belum mampu
merealisir dimensi sosialnya yaitu sebagai bagian dari konsep Islam dalam
mengentas kemiskinan, kiranya kita perlu menoleh kembali pada proses penegasan
hukum zakat tadi. Memang kita tidak mungkin kembali lagi menapak dalam
sejarahnya, melakoni proses awal tanpa memperdulikan ketetapan kewajiban zakat
yang telah baku. Namun yang hendaknya kita lakukan adalah memaksimalkan
penanaman nilai-nilai syari’at, dalam hal ini khususnya zakat ke dalam sanubari
kaum muslimin, sampai pada akhirnya pengertian zakat sebagai suatu kewajiban
akan masuk ke dalam alam kesadaran mereka dengan seutuhnya. Sehingga ketika
pada waktunya pelaksanaan zakat, akan bisa benar-benar terealisir kedua
dimensinya yaitu ibadah mahdloh sebagai realisasi iman dan taqwa kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan dimensi
sosialnya sebagai salah satu konsep Islam dalam mengentas kemiskinan.
III.
ORANG YANG WAJIB BERZAKAT
Para ulama Islam sepakat bahwa
zakat diwajibkan kepada seorang muslim dewasa yang waras, merdeka, dan memiliki
kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula. Sehingga
dapat kita katakan zakat tidak diwajibkan kepada non muslim, karena zakat
adalah termasuk anggota tubuh Islam yang paling utama, dan karena itu orang
kafir tidak mungkin diminta untuk melengkapinya. Serta tidak pula merupakan
hutang yang harus dibayarnya setelah masuk Islam.
Namun lain halnya dengan orang
murtad atau beralih agama, bila zakat itu sudah diwajibkan kepadanya pada masa
Islamnya, maka zakat itu tidak gugur karena kemurtadannya itu, sebab zakat
merupakan kewajiban tetap yang tidak gugur karena peralihan agama, tak ubahnya
seperti hutang tidak lantas hilang karena bangkrut.
Kemudian tentang qayyid selanjutnya yaitu dewasa dan
waras. Bila si muslim ini masih anak-anak atau gila, apakah dia masih
berkewajiban mengeluarkan zakat ? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Dan perbedaan ini dapat kami golongkan menjadi dua kelompok:
1. Kelompok yang
memastikan bahwa kekayaan atau sebagian kekayaan mereka tidak wajib dikeluarkan
zakatnya.
Diantara
alasan yang dipakai kelompok ini adalah sebagai berikut:
1.
Zakat
adalah ibadah murni seperti halnya shalat, dan ibadah memerlukan niat sedang
anak-anak dan orang gila tidak mempunyai niat, oleh karena itu zakat tidak
wajib atas mereka.
2.
Dan
kenyataan ini didukung dengan Hadits:
رفع
القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق
“Pena terangkat dari tiga
orang: dari anak-anak hingga dia dewasa, dan dari orang tidur hingga dia
bangun, dan dari orang gila hingga dia waras.”[14]
3.
Juga
diperkuat lagi dengan ayat:
“Pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan sucikan mereka dengannya, dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka” (QS. Al-Taubah: 103)
Pensucian dan pembersihan tentunya
dari dosa, padahal anak-anak dan orang gila tidak mempunyai dosa yang perlu
disucikan atau dibersihkan. Karena itu keduanya tentulah tidak termasuk ke
dalam orang-orang yang harus membayar zakat.
2.
Kelompok yang mengatakan bahwa kekayaan anak-anak dan
orang gila wajib dikeluarkan zakatnya.
Dengan
alasan diantaranya sebagai berikut:
1.
Keumuman
teks ayat-ayat dan Hadits-hadits shahih yang menegaskan secara mutlak wajibnya
zakat atas kekayaan orang-rang kaya, tidak terkecuali apakah mereka anak-anak
atau orang gila. Seperti dalam surat al-Taubah ayat 103 di atas. Dan Hadits
yang berisi pesan Nabi kepada Mu`adz bin Jabal sewaktu ditugaskan ke Yaman:
فأعلمهم
أن الله افترض عليهم صدقة في اموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم
“Ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan
zakat yang diambil dari kekayaan orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang miskin di antara mereka”
2.
Imam
Turmudzi meriwayatkan sebuah Hadits dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya,dari Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam:
من ولى يتيما فليتجر
له ولا يتركه حتى تأكله الصدقة
“Siapa yang mengasuh anak yatim, niagakanlah
kekayaanya, jangan dibiarkan saja, supaya tidak dimakan oleh zakat”
Tentang sanad Hadits ini memang ada kritikan, tetapi maksud Hadits
ini shahih karena sejalan dengan ucapan Umar bin al-Khattab.
3.
Tindakan
para shahabat dalam hal ini. Abu Ubaid, Baihaqi dan Ibnu Hazm meriwayatkan
bahwa Umar, Ali, Abdullah bin Umar, A’isyah, dan Jabir bin Abdullah mewajibkan
zakat atas kekayaan anak-anak.[15]
Dan tidak terdengar ada diantara para shahabat yang tidak setuju akan hal itu,
kecuali satu periwayatan yang dlaif dari Ibnu Abbas, dan tidak dapat
dijadikan alasan.
Juga mereka memberikan bantahan terhadap dalil-dalil yang dipakai
kelompok pertama yaitu:
1.
Memang
adalah ibadah sebagaimana shalat, dan memerlukan adanya niat. Tetapi menurut
mereka zakat berbeda dari ibadat-ibadat yang lain oleh karena sifat material
sosialnya. Zakat adalah ibadah material yang memungkinkan berlakunya hukum
perwalian sehingga dapat dibayarkan melalui wakil.
2.
Tentang
Hadits رفع القلم عن ثلاث...الخ. di atas, memang mereka tidak
wajib berzakat, tetapi yang wajib mengeluarkan zakat dari kekayaan mereka
adalah wali mereka. Hal ini tidak berbeda dengan wajibnya wali mengeluarkan
kekayaan mereka untuk makan mereka. Di samping itu “terangkatnya pena dari mereka” tidak menggugurkan kewajiban mereka
membayar nafkah istri dan anggota keluarga yang lain, lalu oleh karena itu
mengapa hak-hak fakir miskin dan musafir harus gugur dari kekayaan mereka?
3.
Sedang
dari ayat خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها yang menurut mereka menunjukkan pensucian dari dosa sedangkan
anak-anak dan orang gila tidaklah berdosa, dibantah dengan pendapat bahwa
pensucian tidaklah hanya terbatas pada dosa saja, tetapi meliputi pensucian
akhlak dan jiwa supaya berkembang dengan
baik dan melatih supaya selalu merasa kasih dan mau memberi bantuan, dan
ini termasuk ke dalamnya pensucian kekayaan. Dengan demikian pengertian “kau sucikan mereka” di atas berarti “kau sucikan kekayaan mereka”.[16]
IV. KEKAYAAN YANG WAJIB DI ZAKATI
Tidak semua harta
kekayaan manusia meskipun kita ketahui dia memiliki harta yang berlimpah, wajib
dikeluarkan zakatnya. Suatu kekayaan
wajib dizakati paling tidak setelah memenuhi syarat-syarat umum di bawah ini:
1.
Milik penuh (ملك
تام)
2.
Berkembang (النماء)
3.
Cukup senishab (النصاب)
4.
Lebih dari kebutuhan pokok
rutin (الفضل من الحاجة الاصلية)
5.
Berlalu setahun (الحول)
IV.1. Milik penuh
Definisi Milik
penuh adalah “Kekeayaan tersebut harus berada dalam kontrol dan kekuasaannya,
atau seperti pendenifian para ulama fikih ; bahwa harta tersebut harus berada
di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan
dan faedahnya dapat dinikmatinya”[17]
Jadi, kekayaan yang tidak
masuk dalam kategori milik penuh, maka tidak wajib untuk dikeluarkan zakatnya.
Diantaranya yaitu:
a. Harta yang tidak mempunyai pemilik tertentu Dalam hal ini semisal harta
milik milik pemerintah, karena harta itu adalah milik rakyat, termasuk fakir
miskin.
b. Barang wakaf yang diberikan kepada fihak yang umum semisal fakir
miskin, masjid, anak yatim, sekolah dan
lain-lain. Tetapi lain halnya dengan wakaf yang diberikan kepada
seseorang atau pihak tertentu seperti wakaf untuk anak-anaknya, atau
cucu-cucunya, atau keturunan seseorang. Dalam kasus ini zakat masih wajib,
karena kepemilikan di sini berpindah yang menerima wakaf dan kepemilikannya
bersifat tetap. Oleh karena itu dipandang sama dengan kekayaan bukan wakaf.[18]
Tidak dapatnya kekayaan itu diperlakukan penuh seperti milik pribadi tidaklah
mengurangi arti pemilikan di sini, oleh karena ciri pemilikan terpenting adalah
bahwa pemiliknya lebih berhak menggunakan barang itu dari pada orang lain dan
bahwa orang lain tidak diperkenankan mencampurinya. Ciri-ciri itu terdapat di
dalam kekayaan tersebut.
c. Harta haram tidak wajib zakat meskipun telah mencapai satu nishob,
karena pada hakikatnya harta yang diperolehnya dengan jalan tidak sah tersebut
bukan miliknya. Misalnya harta yang diperoleh dengan perampasan, pencurian,
penipuan, penyuapan, riba, spekulasi dan berbagai perolehan harta dengan cara
yang tidak benar. Dalam hal ini terdapat sebuah Hadits shahih:
لايقبل الله صدقة من غلول
“Tidak diterima sedekah dari harta ghulul”
Ghulul adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak sah
dari kekayaan umum seperti rampasan perang (ghanimah) dan lain-lain.
IV.2. Berkembang (النماء)
Ketentuan syarat ini karena Nabi
tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi
seperti yang ditegaskan oleh sebuah Hadits shahih:
ليس على مسلم في فرسه
ولاعبده صدقة
“ Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan
zakat dari kuda atau budaknya”
Imam Nawawi
berkata bahwa Hadits ini merupakan landasan bahwa kekayaan untuk pemakaian
pribadi tidak wajib zakat.[19]
Nabi hanya mewajibkan zakat pada kekayaan yang berkembang dan diinvestasikan.
Dalam hal ini terdapat dua macam yaitu
a.
Berkembang secara konkrit;
berkembangnya harta tersebut dengan jalan perdagangan ataupun pembiakan dan
lain-lain
b.
Berkembang secara tidak
konkrit : harta tersebut berpontensi untuk berkembang baik berada di tangannya
sendiri ataupun di tangan orang lain dengan atas namanya.[20]
Ibnu Humam
berkata: bahwa maksud dari pensyariatan zakat adalah penyantunan atas
orang-orang miskin sebesar yang tidak akan membuat orang yang bersangkutan
tidak jatuh miskin pula, yaitu dengan
memberikan kelebihan dari harta yang banyak itu. Mewajibkan zakat atas
harta yang sifatnya tidak mungkin berkembang akan mengakibatkan hal-hal yang
tidak diinginkan bila terjadi tahun demi tahun, khususnya bila diperlukan untuk
kebutuhan sehari-hari.[21]
IV.3. Cukup Satu
Nishab
Ketentuan
bahwa harta yang terkena zakat itu harus
sampai senishab sudah disepakati oleh para ulama, kecuali tentang hasil
pertanian, buah-buahan dan hasil tambang. Abu Hanifah berpendapat bahwa banyak
atau sedikit barang yang dikeluarkann oleh bumi harus dikeluarkan zakatnya. Hal
ini senada dengan pendapat Ibn Abbas, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain, bahwa
dalam sepuluh ikat sayur yang tumbuh dari tanah harus dikeluarkan sedekahnya
sebanyak satu ikat. Namun Jumhur ulama menegaskan bahwa ‘nishab’ merupakan
syarat wajibnya zakat. pada setiap harta baik yang dikeluarkan dari bumi
ataupun harta yang lainnya dengan dasar Hadits:
ليس فيما دون خمسة
أوسق صدقة
“Dibawah lima wasaq tidak ada zakatnya”
Ketentuan ini dapat dikiyaskan pada harta-harta yang
lain.[22]
Hikmah adanya
ketentuan nishob ini jelas sekali, yaitu zakat merupakan pajak yang dikenakan
atas orang kaya untuk memberi bantuan kepada orang miskin dan untuk ikut
berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kesejahteraan kaum muslimin oleh
karena itu Nabi bersabda:
لا
صدقة الا على ظهر غني
“zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang
kaya.”
IV.4. Lebih dari kebutuhan pokok rutin (primer)
Diantara ulama fikih ada
yang menambahkan ketentuan nishab kekayaan yang berkembang itu dengan lebihnya
kekayaan itu dari kebutuhan pokok rutin pemiliknya (seperti ulama-ulama
Hanafiyyah dalam kebanyakan kitab-kitab mereka).
Dan ada pula ulama-ulama
yang tidak memasukkan ketentuan ini kedalam kekayaan yang berkembang. Hal ini
karena sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan primer, biasanya tidak berkembang
ataupun berpotensi untuk berkembang, sebagaimana jelas terlihat dalam hal rumah
tinggal, hewan yang ditunggangi, pakaian yang dipakai, senjata perlengkapan,
buku-buku koleksi, alat-alat kerja. Semuanya itu adalah kebutuhan primer dan
tidak termasuk kekayaan yang berkembang.
Dalam hal ini kami ungkapkan
dengan kata “kebutuhan primer”, karena kebutuhan manusia tidaklah terbatas. Apalagi pada zaman sekarang ini, di mana barang-barang
mewah dianggap sebagai kebutuhan, dan setiap kebutuhan berarti kebutuhan primer.
Maka kami katakan tidak semua hal yang diinginkan manusia dapat dikategorikan
sebagai kebutuhan primer, karena yang namanya manusia meski sudah mempunyai dua
gunung emas niscaya dia akan mencari gunung emas yang ketiga. Akan tetapi
kebutuhan primer yang kami maksudkan di sini adalah sesuatu yang mau tidak mau
harus ada demi kelestarian hidupnya. Seperti makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal, dan alat-alat yang diperlukan untuk menunjang kebutuhannya tersebut
semisal buku-buku ilmu pengetahuan, keterampilan, peralatan kerja dan
lain-lain.
Sebagian ulama Hanafiyyah
memberikan penafsiran ilmiah yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan
kebutuhan primer. Yaitu sesuatu yang secara nyata benar-benar dibutuhkan untuk
kelestarian hidup seperti belanja sehari-hari, rumah tempat tinggal,
senjata-senjata untuk mempertahankan diri, pakaian yang dibutuhkan untuk
melindungi tubuh dari panas dan dingin, atau sesuatu yang dikategorikan
termasuk kebutuhan primer semisal hutang. Karena orang yang berhutang mempunyai
kebutuhan untuk membayar hutangnya itu dengan sesuatu yang dimilikinya, walau
telah sampai senishob guna membebaskan diri dari keterikatan yang merupakan
kehancuran. Contoh lain adalah peralatan kerja, perabot rumah tangga, hewan
tunggangan dan buku-buku ilmu pengetahuan untuk keluarga, karena kebodohan
menurut mereka adalah sama dengan kehancuran. Oleh karena itu bila seseorang
mempunyai sejumlah uang yang hanya cukup dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan
di atas, maka ia berati tidak mempunyai apa-apa.[23]
Satu hal yang menarik untuk
kita catat dan kita hargai dari para ulama kita adalah mereka menilai ilmu
pengetahuan itu sama dengan kehidupan, dan kebodohan sama dengan ajal dan
kehancuran. Kebutuhan untuk memerangi kebodohan bagi mereka sama dengan
kebutuhan primer seperti halnya makanan untuk menghilangkan perasaan lapar dan
pakaian untuk menjaga tubuh dari telanjang dan penyakit. Serta pandangan mereka
bahwa kemerdekaan adalah kehidupan dan keterikatan pada orang lain sama dengan
kehancuran
Dan yang terpenting yang
dapat kami telaah di sini adalah bahwa kebutuhan primer manusia itu berubah-ubah dan berkembang
sesuai dengan perubahan zaman, kondisi setempat. Kita sebaiknya menyerahkan
persoalan ini kepada para ahli dan ketetapan pihak yang berwenang. Dan yang
menjadi titik tekan di sini adalah kebutuhan-kebutuhan primer orang yang
terkena kewajiban zakat itu serta kebutuhan primer orang-orang yang di bawah
tanggungannya seperti istri, anak-anak berapapun jumlahnya, orang tua, dan
anggota keluarga lain yang harus ditanggungnya; kebutuhan mereka itu berarti
juga kebutuhannya.
Salah satu landasan disyaratkannya
“lebih dari kebutuhan rutin” selain dari dalil-dalil logika para ulama fikih
yang kami kemukakan diatas adalah Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya
yang bersumber dari Abu Hurairah :
"انما الصدقة عن ظهر غني" وفي رواية "لا صدقة الا
عن ظهر غني"
“Zakat hanya dibebankan
ke atas pundak orang kaya” dan dalam periwayatan lain “Zakat tidak dibebankan selain ke atas pundak orang kaya”[24]
IV.5.
Berlalu Satu Tahun
Maksudnya adalah bahwa pemilikan
yang berada di tangan pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan Qomariyyah.
Persyaratan setahun ini hanya buat ternak, uang, dan harta perdagangan yaitu
yang dapat dimasukkan ke dalam istilah “zakat modal”. Tetapi hasil pertanian,
buah-buahan dan yang sejenisnya tidak
dipersyaratkan setahun, dan semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam istilah
“Zakat pendapatan”.[25]
Letak perbedaan kekayaan yang
dipersyaratkan berlalunya masa setahun (haul) dan yang tidak
dipersyaratkan adanya haul adalah seperti yang diungkapkan oleh Ibnu
Qudamah, bahwa harta kekayaan kekayaaan yang wajib zakat setelah setahun adalah
mempunyai potensi untuk berkembang. Pensyaratan ini karena pertumbuhannya tidak
pasti, agar dapat dikeluarkan dari keuntungan supaya lebih ringan, dan karena
zakat dikeluarkan untuk tujuan penyantunan. Dan juga karena zakat dipungut
berkali-kali dari kekayaan tersebut, yang oleh karena itu perlu tolok ukur
supaya tidak terjadi pemungutan berkali-kali pada satu kekayaan dalam satu masa
yang akan mengakibatkan kekayaan itu habis.
Tetapi hasil pertanian dan buah-buahan
adalah berkembang sendiri yang mencapai puncaknya pada saat zakat dikeluarkan,
yang karena itu zakat harus dikeluarkan pada waktu itu juga. Selanjutnya
kekayaan itu akan terus berkurang dan tidak berkembang, maka zakat tidak bisa
dipungut sekali lagi, karena sudah tidak mempuyai potensi berkembang lagi.[26]
V. AZAZ PELAKSANAAN ZAKAT
Pelaksanaan zakat didasarkan pada
firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu`allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibakan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Dan konsep operasional zakat secara
umum telah digariskan dalam al-Qur`an antara lain termaktub dalam surat al
Taubah ayat 103:
خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم ان صلاتك سكن لهم
Dalil yang
paling jelas dalam tindakan terhadap orang-orang yang tidak mau mengeluarkan
zakat di zaman Abu Bakar adalah berpegangan pada ayat ini. Dan ayat ini
menunjukkan, bahwa yang mengambil zakat itu adalah Nabi shallallah ‘alaihi
wa sallam. sendiri, sambil mendoakan mereka.
Demikian pula petunjuk yang telah
diberikan oleh Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam
Hadits Shahih Bukhari-Muslim dan yang lain- yakni ketika Mu’adz bin
Jabal beliau kirim ke Yaman:
اعلمهم
ان الله افترض عليهم صدقة في اموالهم تؤخذ من اغتيائهم وترد علي فقرائهم, فان
أطاعون لذلك فاياكم وكرائم أموالهم, واتق دعوة المظلوم فانه ليس بينها وبين الله
حجاب
“ Beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan
dari sebagian harta-harta mereka, untuk disedekahkan. Diambil dari orang kaya
untuk diberikan kepada mereka yang fakir. Apabila mereka menaatimu dalam hal
ini, maka peliharalah akan kedermawanan harta mereka, dan takutlah akan doa
orang yang teraniaya. Sungguh tidak ada penghalang antara doa mereka itu dengan
Allah subhanahu wa ta’ala”. (HR jamaah dari Ibnu Abbas)
Hadits ini menjelaskan, bahwa
urusan zakat itu diambil petugas untuk dibagikan, tidak dikerjakan sendiri oleh
orang yang mengeluarkan zakat. Syaikh Islam al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini bisa dijadikan alasan, bahwa penguasa adalah
orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat, baik ia sendiri
secara langsung maupun wakilnya. Maka barang siapa di antara mereka
menolak mengeluarkan zakat, hendaknya zakat diambil dari orang itu dengan
secara paksa.”[27]
Pendapat ini dikutip oleh Imam
Syaukani dengan nashnya dalam Nail
al-Authar.[28]
Ibadah zakat tidak sekedar amal
karitatif (kedermawanan), tetapi ia suatu kewajiban otoritatif (ijbari).[29]
Oleh karena itu pelaksanaan zakat tidak seperti ibadah-ibadah lainnya seperti
shalat, puasa, haji yang telah dibakukan dengan nash yang penerapannya
dipertanggung jawabkan kepada masing-masing. Ibadah zakat dipertanggung
jawabkan kepada pemerintah, karena dalam pengamalannya lebih berat dibanding
ibadah-ibadah lainnya. Untuk itu perlu diperhitungkan adanya kepastian dan
ketegasan dalam pelaksanaannya agar hak-hak para ashnaf delapan terutama
fakir miskin yang terdapat dalam harta orang kaya, dapat diterimanya dengan
pasti dan demi tegaknya keadilan. Untuk itu pula demi terlaksananya ibadah
zakat secara pasti, ditetapkan pula sanksi bagi mereka yang membangkang.
Sanksi terhadap pembangkang zakat (mani’ul
zakat) tidak sama dengan pembangkang ibadah-ibadah lainnya yang hanya
bersifat ukhrowiyyah dan preventif (pencegahan). Pembangkang zakat dapat dikenakan
sanksi berganda yaitu sanksi di dunia dan di akhirat. Karena pembangkang zakat
ini telah melakukan kesalaha ganda pula, yaitu kesalahan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dan kepada orang-orang yang mempuyai hak dalam hartanya itu.
والذين في اموالهم حق
معلوم. للسائلين والمحروم
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia
bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta-minta.”(QS al Ma’arij :24-25)
Sesuai dengan sifat zakat yang ilzami-ijbari (kewajiban mutlak) yang
harus dilaksanakan dengan pasti, maka zakat harus diimplementasikan dalam suatu
tugas operasional oleh suatu lembaga yang fungsional, yaitu badan `amil zakat
sebagai administrator dan manajemen zakat. Tugas pokok badan `amil zakat
ini meliputi tugas-tugas sebagai pemungut (kolektor), penyalur (distributor),
pengorganisasian, motivator, pengawas dan evaluasi. Secara manajemen tugas dan
fungsi `amil zakat itu tidak jauh berbeda dengan tugas umum sistem
perpajakan, agar kewajiban zakat betul-betul berjalan dan berfungsi dengan
baik, sehingga pengamalan zakat akan lebih meningkat baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.[30]
Justru itu pelaksanaan zakat
seharusnya ditangani oleh pemerintah melalui suatu lembaga khusus (`Amil Zakat)
yang memiliki sistem manajemen yang fungsional dan profesional.[31]
Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hasil yang optimal dan efektif. Dan untuk
mengantisipasi terjadinya hambatan dalam pemungutan zakat dari orang-orang
kaya, maka pemerintah dapat menetepkan sanksi pidana dan sejenisnya terhadap
mereka yang membangkang tidak mau mengeluarkan zakatnya.[32]
Pengelolahan zakat oleh pemerintah
adalah logis, karena beberapa pertimbangan: pertama,
untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat
apabila berhadapan langsung menerima haknya dari para wajib zakat (Muzakki). Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektifitas dan sasaran yang
tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu
tempat. Keempat, untuk memperlihatkan
syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami.
Sebaliknya jika pelaksanaan zakat langsung diserahkan kepada setiap wajib zakat
(muzakki), maka nasib dan hak-hak
orang-orang miskin dan para mustahik lainnya dalam harta
orang-orang kaya tidak memperoleh jaminan yang pasti.[33]
Azas operasionalisasi dan
pelaksanaan zakat seperti dikemukakan diatas tidak mengabaikan sifat dan
kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah mahdloh (murni) yang harus
dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian azas ikhlas dan sukarela tetap
dominan dalam pelaksanaan dan penerapan zakat sebagaimana yang berlaku pada
masa Rosulullah, Khulafa al Rasyidin dan pemerintahan Islam di belakangnya.
Model operasionalisasi dan
penerapan zakat pada masa klasik Islam secara garis besar dapat dilihat sebagai
berikut:
V.1. Zakat Pada Masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Syari’at
zakat baru diterapkan secara efektif pada tahun kedua Hijriyah. Ketika itu Nabi
Muhammad Shallahu alaihi wa sallam telah mengemban dua fungsi, yaitu sebagai
Rasulullah dan pemimpin umat. Zakat juga mempunyai dua fungsi, yaitu ibadah
bagi muzakki dan sumber utama pendapatan negara. Dalam pengelolaan
zakat, nabi sendiri turun tangan memberikan contoh dan petunjuk operasionalnya.
Tentang
prosedur pengumpulan dan pendistribusiannya untuk daerah di luar kota Madinah,
nabi mengutus petugas untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Diantara
petugas itu adalah Muaz bin Jabal untuk memungut dan mendistribusikan zakat
dari dan untuk penduduk Yaman.[34]
Para
petugas yang ditunjuk oleh Nabi itu dibekali dengan petunjuk-petunjuk teknis
operasional dan bimbingan serta peringatan keras dan ancaman sanksi agar dalam
pelaksanaan dan pengelolaan zakat benar-benar dapat berjalan dengan
sebaik-baiknya.[35] Nabi
beserta keluarganya tidak dibenarkan oleh syara’ sebagai penerima zakat.
V.2. Zakat Pada Masa Khalifah
Abu Bakar (11-13 H./632-634 M.)
Khalifah
Abu Bakar memandang masalah ini sangat serius, karena fungsi zakat sebagai
pajak dan sumber utama pendapatan negara. Pada masa nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam masih hidup zakat berjalan dengan baik dan lancar, sehingga
tugas-tugas nabi baik sebagai rasul maupun sebagai pemimpin negara dan
masyarakat dapat berjalan lancar karena dukungan dari berbagai sumber
pendapatan terutama dari sektor zakat.
Dalam
pelaksanaan dan pengelolahan zakat, khalifah Abu Bakar langsung turun tangan
dan mengangkat beberapa petugas (`amil zakat) diseluruh wilayah
kekuasaan Islam waktu itu, sehingga pemungutan dan penyaluran harta zakat
berjalan dengan baik. Harta-harta zakat yang dipungut segera didistribusikan
kepada golongan yang berhak, agar tidak sampai menumpuk di Baitulmal kecuali
untuk bagian fi sabilillah (jihad). Bagian yang menjadi haknya
sebagai `amil diambil sekedarnya saja.[36]
V.3. Zakat Pada Masa Khalifah
Umar bin al-Khattab (13-25 H./634-644 M.)
Perhatian
Khalifah Umar terhadap pelaksanaan zakat sangat besar. Untuk itu ia selalu
mengontrol para petugas `amil zakat dan mengawasi keamanan gudang
penyimpanan harta zakat, khususnya harta-harta dhahirah. Untuk itu ia
tidak segan-segan mengeluarkan ancaman akan menindak tegas petugas yang lalai
atau menyalahgunakan harta zakat.
Meskipun
penerimaan harta zakat melimpah-ruah, karena semakin luasnya wilayah Islam
namun kehidupan ekonomi khalifah tetap sederhana seperti sebelum ia menjabat
sebagai khalifah.
V.4. Zakat Pada Masa Khalifah
Usman bin Affan (24-36 H./644-656 M.)
Sebagaimana
khalifah sebelumnya yang mempunyai perhatian besar terhadap pelaksanaan zakat,
ia juga demikian. Bahkan harta dia sendiri tidak sedikit dikeluarkannya untuk
memperbesar penerimaan demi kepentingan negara. Dia dikenal sebagai orang yang
dermawan, dan memiliki kekayaan pribadi yang banyak sebelum menjabat khalifah.[37]
Bagi
Khalifah Utsman, urusan zakat ini demikian penting; untuk itu dia mengangkat
pejabat yang khusus menanganinya yaitu Zaid ibn Tsabit, sekaligus mengangkatnya
mengurus lembaga keuangan negara (baitulmal).
V.5. Pelaksanaan Zakat Pada Masa
Ali bin Abi Thalib (36-41 H./656-661 M.)
Dalam
penerapan dan pelaksanaan zakat, Ali bin Abi Thalib selalu mengikuti
kebijaksanaan khalifah-khalifah pendahulunya. Harta zakat yang sudah terkumpul
ia perintahkan kepada petugas supaya segera membagi-bagikannya kepada mereka
yang berhak yang sangat membutuhkannya, dan jangan sampai terjadi penumpukan
harta zakat dalam baitulmal.
V.6.Pelaksanaan Zakat Pada Masa
Umar bin Abdul Aziz
Pola
kepemimpinan dan sistem yang diterapkannya banyak mencontoh para khulafa`
al-rasyidin sebelumnya. Khalifah mempunyai perhatian yang besar terhadap
petugas zakat. Sewaktu-waktu dia sendiri turun tangan membagi-bagikan harta
zakat kepada mereka yang berhak menerimanya, bahkan mengantarkannya ke tempat
mereka masing-masing.[38]
Pada
masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, sistem dan manajemen zakat sudah mulai maju
dan profesional. Jenis ragam harta dan kekayaan yang dikenakan zakat sudah
bertambah banyak. Yusuf al-Qardlawi, menuturkan bahwa khalifah
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang
mujaddid pada kurun abad pertama yang mewajibakan zakat atas harta kekayaan
yang diperoleh dari penghasilan usaha atau jasa, termasuk gaji, honorarium, dan
berbagai mal al-mustafad lainnya.[39]
Gambaran umum tentang operasional
penerapan zakat yang dicontohkan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam seperti yang diterapkan para Khukafa’ al-Rasyidin dan
khalifah-khalifah di kemudianya, pada masa klasik Islam menunjukkan bahwa
penanganan zakat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penguasa (pemerintah).
Seyogyanya konsep operasionalisasi
penerapan zakat sejak dulu sampai sekarang harus berkembang dan
diaktualisasikan sesuai pertumbuhan masyarakat, budaya, ekonomi. Namun karena
beberapa faktor tertentu menjadi
terhambat baik secara internal maupun eksternal.
Dari faktor eksternal atau faktor
politis adalah masih dirasakan adanya hambatan dari segolongan masyarakat yang
berfikiran sekuler, dimana mereka
mengatakan urusan agama tidak dapat dikaitkan dengan urusan pemerintahan.
Keduanya harus berjalan sendiri-sendiri. Ataupun hambatan dari penganut agama
lain, bahwa persoalan zakat tidak dapat dimasukkan ke dalam urusan pemerintahan
secara formal, karena hal itu akan mengarah pada negara Islam dan menghidupkan
Piagam Jakarta.
Lebih jauh lagi akan berakibat
fatal bagi kelancaran penerimaan pajak sebaagai sumber pendapatan keuangan
negara. Karena, sebagian umat Islam akan lebih mengutamakan kewajiban zakat
daripada kewajiban membayar pajak. Jika keduanya sama-sama diwajibkan oleh
pemerintah (double tax), hal itu
dinilai oleh masyarakat pada umumnya tidak adil karena sangat memberatkan.
Sedang dari faktor internal lebih
banyak, karena penguasa yang ada sekaranga dianggap bukan pemerintahan Islam
seperti masa Rosulullah dan Khulafa al Rasyidin. Dan sangat diragukan zakatnya
tidak akan sampai kepada yang berhak karena digelapkan oleh oknum pemerintah
tersebut. Namun faktor internal yang paling dominan menurut kami adalah masih
rendahnya tingkat pendidikan (bahkan
untuk kategori Ilmu al-Chal) sebagian
besar ummat Islam. Bahkan hal ini juga terjadi pada kebanyakan aparat
pemerintahan. Kesadaran mereka akan kewajiban menuntut ilmu, -utamanya tentang
ilmu agama- masih belum memadai. Bahkan amat nyata terjadi ketimpangan fan ilmu
yang diprioritaskan. Sehingga penilaian pada hampir setiap permasalahan bisa
dikata timpang. Sehingga kesadaran untuk menerapkan syariat secara lurus dan
konsekuen, belum bisa mencapai taraf yang memadai. Apalagi dalam persoalan
zakat yang menyangkut materi.
Tentang hukum menyerahkan zakat
pada penguasa yang dhalim, perbedaan pendapat para ulama dikelompokkan
oleh Yusuf Qardhawi menjadi tiga bagian:
1.
Pendapat
yang memperbolehkan secara mutlak mereka mendasarkan pada beberapa Hadits sharih
diantaranya yaitu:
“Dari Wa`il bin Hijr beliau berkata: aku mendengar
seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.: “bagaimana
pendapatmu, jika kami mempunyai penguasa yang tidak mau memberikan haknya
kepada kami, akan tetapi meminta haknya dari kami?”, Rasul menjawab: “dengarlah
dan taatlah, sesungguhnya bagi mereka apa yang mereka perbuat, dan bagi kamu
sekalian apa yang kalian kerjakan”.[40]
Karena, daulah Islamiyah mempunyai
kebutuhan tetap terhadap harta untuk mengurus masyarakat agar dapat terpenuhi
semua kebutuhan bersama yang bersifat umum. Apabila seseorang tidak mau
mengeluarkan harta yang tetap untuk menolong pemerintah karena dhalimnya
penguasa, maka akan rusaklah keseimbangan daulah (negara), berantakanlah
persatuan umat dan akan mudah dicaplok musuh-musuh negara yang senantiasa
menanti kesempatan.
2.
Pendapat
yang melarang yang secara mutlak yaitu salah satu dari dua pendapat Imam
Syafi’i dan dihikayatkan oleh al-Mahdi dalam al-Bahr, dari `Utrah:
“Bahwa tidak boleh
menyerahkan zakat kepada penguasa yang dhalim, serta tidak mencukupi kewajiban.
Dengan bertendensi pada firman Allah:
لاينال عهدى الظالمين
“Janji-Ku ini tidak
mengenai orang yang dzalim”. (QS. Al-Baqarah: 124)
Namun Imam Syaukani membatahnya dan
menyatakan bahwa keumuman ayat ini ditakhshish oleh Hadits-hadits yang
diterangkan dalam bab ini.[41]
3.
Pendapat
yang mentafsil (memerinci) sebagian ulama Syafi’i, Maliki dan Hanbali
berpendapat bahwa pemilik harta boleh menyerahkan zakat kepada petugas dan
penguasa walaupun keadaannya fasik, apabila ia menempatkan zakat dan
menyalurkannya sesuai dengan perintah Allah. Tetapi apabila ia tidak benar
dalam menempatkan dan tidak menyalurkan kepada para mustahiknya, maka
haram menyerahkan zakat kepadanya dan wajib menyembunyikannya.[42]
Bahkan imam Mawardi dari Madzhab Syafi’i berpendapat tentang penguasa yang
semacam ini: “Apabila ia mengambil zakat dari si pemilik harta baik dengan
kesadaran maupun secara paksa maka tidak dapat memenuhi kewajiban zakat si
pemilik harta dan ia wajib mengeluarkan serta memberikannya sendiri pada
mustahiknya”.[43]
Menanggapi perbedaan pendapat ini
Yusuf Qardlawi memilih menyerahkan zakat pada penguasa apabila ia menyalurkan
tepat sasaran sesuai perintah syara’, walaupun ia berlaku dzalim pada
urusan-urusan yang lain. Apabila ia dalam mendistribusikan zakat tidak sesuai
dengan perintah syara’, maka jangan diserahkan padanya kecuali kalau ia
meminta, maka tidak diperkenankan menolaknya, berdasarkan Hadits-hadits tadi
dan berdasarkan fatwa-fatwa sahabat yang berulangkali dalam menyerahkan zakat
pada penguasa walaupun mereka dzalim.
Dan pendapat yang ditetapkan ulama muhaqqiq
sebagaimana terdapat dalam syarah Muhadzab dan yang lain, bahwa penguasa
apabila tidak adil dengan tidak menyalurkan zakat pada sasaran, tidak sesuai
dengan aturan agama, maka yang utama bagi muzakki adalah mengeluarkan
dan memberikan sendiri zakatnya pada mustahiknya apabila tidak diminta
oleh penguasa atau petugas.[44]
Untuk pembahasan seputar zakat, kiranya
kami cukupkann sekian dulu, namun tentunya materi yang kami suguhkan kali ini
amat jauh dari mencukupi. Karena dalam materi ini memang kami lebih terfokus
pada dimensi sosial zakat. Untuk itu, kalau kami masih berkesempatan dan
mendapat taufik dari Alloh subhanahu wa ta’ala., insya Allah akan
kami ungkap materi zakat lebih spesifik lagi, utamanya tentang jenis-jenis
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kuda, madu, gaji pegawai negeri, upah
buruh pabrik apakah wajib dizakati? Bagaimana syarat-syaratnya? Juga akan kami
jelaskan -insya Alloh- gambaran tentang sasaran-sasaran (mustahik)
pendistribusian zakat, dalam mencapai kedua dimensi `ubudiyyah mahdloh dan
dimensi sosialnya. Tentunya hal ini hanya dapat kami jawab pada edisi
selanjutnya. Insya Allah.
* Kelas II Aliyah; aktivis M3S
[1] Al majmu’ 5;324
[2] Al-Amwal, hal. 46
[3] Tarikh al-Balazuri, hal. 177
[4] HR Abu Daud, Thabrani dan Baihaqi
[5] Rachmat Djatmika, infak,
sadakah – zakat dan wakaf sebagai komponen dalam pembnagunan, al-Ikhlas,
Surabaya, t.t, hlm 20
[6] Muhammad Ali al-Khulid, The
Light of Islam, ed. Suaileh Yordan, 1987, hal. 49
[7] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, juz II, Dar al-Fikr Damaskus cet. III, 1989 hal.
736-738
[8] Lihat Yusuf Qardlawi, Fiqhuz
Zakat, hal 51-51
[9] tafsir juz ‘amma, Mesir,
cetakan ketiga, hal 83
[10] Ibnu Katsir, jilid IV, hal 555
[11] Yusuf Qardlawi, Fiqhuz Zakat,
hal 56
[12] Al-Majmu’ juz 5
hal 334.
[13] Al-Mughni juz 11 hal
573 terbitan al Manaar yang ketiga.
[14] Imam Nawawi
mengatakan bahwa Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i
dalam sunan mereka dalam bab Chudud diriwayatkan dari Ali bin Abi
Tholib dengan sanad shahih. Juga Nasa’i dan Ibnu Majah dalam bab tholaq dengan riwayat dari Aisyah dengan
sanad chasan. Lihat Majmu’ jilid 6 hal 253.
[15] Lihat Abu Ubaid, al Amwal: 448, as-Sunan al Kubro: 107; al
Muhalla jilid 5 hal 208, Ibnu Hajar, at-talkhish:
176. Nawawi dalam al-Majmu’ jilid
5 hal 329 menambahkan nama-nama itu dengan Hasan bin Ali.
[16] Dr Yusuf
Qordlowi, Fiqhuz zakat juz I hal 114
[18] Nawawi, al Majmu’
jilid 5 hal 339-340.
[19] Shahih Muslim
dengan komentar imam NAwawi juz 7 hal 55.
[21] Fath al-Qodir
jilid II hal 482.
[23] Chasyiah Ibnu ‘Abidin jilid 2 hal 6, dan
al Bahr al Roiq jilid 2 hal 222, yang
dikutip dari Ibnu al Malik, Syarh al
Mujma’
[24] Hadits no.7155,
Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanadnya shahih
[25] Fiqhuz Zakat,
hal: 161
[26] Tentang
syarat-syarat umum harta yang terkena zakat ini kami banyak mengutip dari Fiqhuz Zakat, Yusuf Qardlawi hal
130-162.
[27] Fathul Bari, Ibnu Hajar,
jilid 3 hal 23, ketika mensyarah Hadits wasiat Mu’adz dari Hadits shahih
Bukhari: kitab zakat, bab mengambil shodaqoh dari orang kaya untuk
diberikan kepada mereka yang fakir, dimana mereka berada.
[28] Nail al-Author, jilid 4
hal 124, cet. Kedua, Musthafa al-Halabi.
[29] Afif Abdul Fatah
Thabarah, Ruh al-din al-Islami, Dar
al-Ilmi al-Malayiin, Beirut cet.VII 1966 hal 333s
[30] Lihat Dr. Abdurrahman Qadir, ZAKAT dalam dimensi mahdah dan sosial,
hal168-170
[31] Yusuf Qardlawi, Musykilah al-Faqr wa kaifa ‘alajaha
al-Islam, maktabah Wahbah, cet. II, 1975 hal 85.
[32] Menurut
al-Qardlawi, sanksi pidana atas pembangkang tersebut boleh diganti dengan
ta’zir atau hukum lain yang diteapkan oleh hakim berdasarkna pertimbangan
mashlahah. Lihat al-Qardlawi, ibid, hlm 77-78.
Bahkan khalifah Abu Bakar mengambil sikap paling tegas, yaitu menganggap
pembangkang zakat sebagai murtad, maka mereka halal diperangi.
[33] Di berbaga negara
Islam, pelaksanaan zakat diatur dalam suaatu undang-undang khusus, seperti di
Paakistan, mesir, malaysia, daan lain-lain. Di Saudi Arabia persolalan zakat di
tangani oleh suatu lembaga yang disebut Mashlahah
al-Zakat, dibawah kementerian keuangan (Wizaroh
al-Maaliyyah). Sedangkan di Indonesia, pelaksanaanzakat baru di atur dalam SKB menteri agama dan menteri
dalam negeri no: 29 tahun 1991 dan 47 tahun 1991, tentang pembinaan BAZIS. SKB
tersebut ditindak lanjuti dengan instruksi menteri agama no 5 tahun 1991
tentang pembinaan teknis BAZIS.
[34] HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
juz II, hal. 90
[35] Al-Thayyar, Op. Cit.,
hal. 48
[36] Al-Thayyar, Op. Cit., hal.
84-85
[37] Ibid.
[38] lihat Dr. Abdurrachman Qadir, MA., Zakat (dalam dimensi mahdhah dan sosial) hal 91-96
[39] Al-Qardlawi, Fiqh al-Zakah,
juz I, hal. 502-503.
[40] Riwayat Muslim dan Turmudzi dan dishahihkan oleh Turmudzi, Nail al-Authar, jilid IV, hal. 155, cet.
Utsmaniyah
[41] Nail al-Authar, jilid IV,
hal. 165
[42] Ibid.
[43] Ahkam al-Sulthaniyah,
Mawardi, hal. 117 cet. Mahmudiyah Tijariyah, Mesir.
[44] Tafsir al-Manar, jilid I,
hal. 595-596 cet. ke II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar