Apakah Air Mani itu
Najis atau tidak?
Dalil-dalil yang
berkaitan dengan hal ini adalah
{1}عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ:
{ كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَذْهَبُ فَيُصَلِّي
فِيهِ }. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari ‘Aisyah, ia
berkata: Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dengan akar rumput idzkir[1],
lalu ia pergi, kemudian ia shalat dengan pakaian itu. (HR Jama’ah , kecuali Bukhari,
Nailur Authar No. 41 )
{2}وَلِأَحْمَدَ
{ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْلُتُ الْمَنِيَّ مِنْ
ثَوْبِهِ بِعِرْقٍ الْإِذْخِرِ ، ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ وَيَحُتُّهُ مِنْ ثَوْبِهِ
يَابِسًا ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ }
Dan bagi Ahmad
(dikatakan) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menghilangkan mani
dari pakaiannya dengan akar idzkhir, kemudian ia shalat dengan pakaian itu dan
mengerik mani dari pakaiannya dalam keadaaan kering, lalu ia shalat dengan
pakaian itu.
{3}وَفِي
لَفْظٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ . { كُنْت أَغْسِلُهُ
مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَخْرُجُ
إلَى الصَّلَاةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ }
Dan dalam lafadz
hadist yang di riwayatkan Bukhari, Muslim dan Ahmad, “Aku pernah mencuci mani
dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”, lalu ia keluar untuk
shalat, sedang bekas cuciannya itu masih nampak pada bajunya, yaitu
basah-basahnya air itu.
{4}وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ
عَنْهَا : { كُنْت
أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إذَا كَانَ رَطْبًا }
Dan bagi
Daraquthni, dari ‘Aisyah : Aku biasa mengerik mani dari pakaian Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dan mencucinya kalau basah.
{5}وَعَنْ
إِسْحَاقَ بْنِ يُوسُفَ قَالَ
: حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
عَطَاءِ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
: { سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ ، فَقَالَ : إنَّمَا هُوَ
بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَإِنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ
بِخِرْقَةٍ أَوْ بِإِذْخِرَةٍ }
. رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ
: لَمْ يَرْفَعْهُ غَيْرُ إِسْحَاقَ
الْأَزْرَقِ عَنْ شَرِيكٍ
Dari Ishaq bin
Yusuf, ia berkata: Telah memberitahu kepadaku, Syarik, dari Muhammad bin
Abdirrahman, dari Atha dari Ibnu Abbas ra, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab : “Sebenarnya
mani itu seperti dahak/lendir dan air liur, karena itu cukup bagimu mengusapnya
dengan kain atau rumput idzkhir” HR Riwayat Daraquthni dan ia berkata: Tidak
ada yang memarfu’kan hadist ini selain Ishaq al Azraq dari Syarik. (Nailur
Authar No. 42)
Penjelasan:
Ada
dua pendapat di kalangan ulama salaf mengenai hal “Apakah najis air mani itu?”
Pertama
وَبِهَذَا الْحَدِيثِ اسْتَدَلَّ مَنْ
قَالَ بِنَجَاسَةِ
الْمَنِيِّ ،
وَهُمْ الْهَادَوِيَّةُ ،
وَالْحَنَفِيَّةُ ، وَمَالِكٌ وَرِوَايَةً
عَنْ أَحْمَدَ قَالُوا
: لِأَنَّ الْغَسْلَ
لَا يَكُونُ إلَّا عَنْ نَجَسٍ
Dengan hadist-hadist tersebut dijadikannya dalil “Kenajisannya
Mani”, mereka adalah Ulama al Hadawiyyah (syi’ah), Hanafiyyah, dan Malik dan
salah satu dari pendapat Imam Ahmad. Mereka mengatakan : “Karena cucian itu
hanyalah yang najis”.[2]
Hal ini juga berdasarkan kias atas yang lainnya seperti kotoran dari
tubuh manusia, diataranya air kencing, air besar, karena itu sisa dari sisa
makanan manusia. Juga berdasarkan alsan bahwa hadas-hadas yang di wajibkan
dicuci itu adalah merupakan najis, dan mani termasuk kedalam najis itu, dank
arena mani keluar dari saluran kencing, maka harus dicuci dengan air seperti
najis-najis lainnya.
Mereka menta’wilkan hadist berikut
كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Aku
pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”
adalah mashdar ta’kid (yang menyungguhkan penegertian fi’il) yang mengaskan
bahwa ‘Aisyah betul-betul pernah menggosoknya.
Kedua
Ulama yang
berpendapat bahwa mani adalah tidak najis adalah ulama-ulama Syafi’iyah, mereka
berkata :
وَقَالَتْ الشَّافِعِيَّةُ: الْمَنِيُّ طَاهِرٌ،
وَاسْتَدَلُّوا عَلَى طَهَارَتِهِ بِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ قَالُوا : وَأَحَادِيثُ
غَسْلِهِ مَحْمُولَةٌ عَلَى النَّدْبِ ، وَلَيْسَ الْغَسْلُ دَلِيلُ النَّجَاسَةِ
Mani adalah
Suci, mereka mengemukakan dalil-dali yang menunjukan kesucian mani dengan
hadist-hadist tersebut diatas, dengan mengatakan Bahwa hadist-hadist yang
menjeleskan tentang pencucian mani itu hanyalah terkandung hukum sunnah
mencucinya saja dan cucian itu bukan menunjukan kenajisan-kenajisan mani itu.[3]
Terkadang
pencucian itu hanya karena sucinya dan sekerdar menghilangkan daki dan
semacamnya. Mereka juga mengatakan bahwa penyamaan mani dengan dahak dan air
liur itu [hadist no 5], menunjukan kesucian mani juga.
Kesimpulan:
Demikanlah yang
dapat saya sampaikan mengenai hal yang terkandung dalam subjek awal tulisan
ini. Bahwa ulama salaf telah berbeda pendapat menganai hal ini dan ikhtilaf ini
terjadi karena perbedaan pemahaman tentang hadist-hadist yang telah di uraikan.
Referensi:
Nailur Authar
syarah Al Muntaqo Syaikhul Ibnu Taimiyyah, oleh Imam Asy Syaukani
Bintaro, 26
Oktober 2009
A Dani Permana
[1] Idzkir adalah semisal rumput yang berbau wangi
[2] Subulus salam Hadist
no. 25
[3] Syarah Bulughul Maram, Hadist
No. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar