Nikah
siri atau yang lebih dikenal nikah di bawah tangan adalah sebuah pernikahan
yang tidak diakui oleh negara karena tidak tercatat di KUA namun bisa sah
menurut agama asal rukun nikahnya ada.
Di
saat hebohnya kasus century ternyata permasalahan akan adanya peraturan
mengenai nikah siri bisa sedikit mengeser berita yang sering muncul di
televisi. Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan yang dikonsep oleh Kementerian Agama menuai kontoversi karena akan
adanya pidana bagi yang melakukan nikah siri. Nikah siri mungkin ada baik
dan buruknya karena sebagaimana sesuatu pasti ada yang baik dan ada yang buruk
hanya saja tidak diketahui takarannya, mana yang lebih baik dan mana yang lebih
buruk.
Bagiku
nikah siri punya segudang dilema di satu sisi mungkin ia bisa membantu mereka
yang kurang mampu dalam hal biaya pernikahan karena kalau ke KUA pasti ada
biaya walaupun mungkin itu cuma biaya administrasi, atau juga bagi mereka yang
ingin menghindari perzinahan karena dengan menikah maka jadi halal. Bisa juga,
ingin poligami namun tak ingin orang banyak tahu, cukup keluarga saja maka
nikah siri bisa jadi pilihan.
Namun
di sisi lain, nikah siri juga punya problem terutama terutama dalam ranah
hukum, bagaimana cara ingin bercerai ketika tidak ada kecocokan ingin lapor ke
KUA tapi tak punya bukti atau bagaimana menuntut warisan secara hukum serta
hal-hal lain atau bisa juga anda dipidana karena dianggap merebut suami/istri
orang.
Tapi
yang jelas nikah siri bagiku boleh-boleh saja asal :
- Semua keluarga tahu
- Rukun Nikah terpenuhi
- Terlaksanakan Hak dan Kewajiban suami istri
- Dan ini yang penting, nikah siri dilakukan karena memang atas dasar keinginan kedua mempelai serta keluarganya.
Walaupun
aku setuju saja dengan nikah siri namun ada baiknya kalau kita memang ingin
menikah dan itu sungguh-sungguh bukan hanya sekedar melegalkan perzinahan ada
baiknya nikah secara resmi karena itu juga sebagai pembuktian bahwa kita memang
serius dalam berumah tangga bukan sekedar melampiaskan nafsu belaka serta
sebagai bentuk penghargaan kepada pasangan kita.
Itu
opiniku tentang nikah siri lalu bagaimana Islam memandang nikah siri, berikut
saya kutip tulisan dari HTI “Hukum Islam tentang Nikah Siri“, berikut kutipannya
:
Bagaimana
pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri
dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki
hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan
Pernikahan Siri
Pernikahan
siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan
tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan
pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan
tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa
mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang
sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu
membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu;
dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau
karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
Adapun
hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun
mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam
telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini
didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra;
bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا
نكاح إلا بولي
“Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy
Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan
dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian
‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli
fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan
oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما
امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita
mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy
Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu
Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
لا
تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang
wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy,
Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan
berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk
dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir,
dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada
seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara,
pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga
Pencatatan Sipil
Adapun
fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan
syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada
dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari
aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang
baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan
perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Begitu
pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum
sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan
perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama,
meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain
sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan
mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan
administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan
mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan
keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga
pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang
ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah
swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua
orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka
pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan
dalam pencatatan sipil.
Adapun
berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka
kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan
pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat
bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan
pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai
bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya
seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai
alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa
yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya
saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat
bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang
menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat
bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti
untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.
Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen
tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain
sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang
menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan
lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang
menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti
syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan
tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui
hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari
pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana
sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita
jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih
dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa
dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu
lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya
sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama
kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah
wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan
hanya dokumen tertulis.
Nabi
saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat
bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya
firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ
تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam,
memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang
melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang
Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan
aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum
ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan
lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah
memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan
ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam
perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa
saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia
telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi
mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah
dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di
sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan
tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk,
penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah
juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta
ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia
berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal
tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan
tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan
tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang
melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian
juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan
aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya,
aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan
semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara
berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke
lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya
di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan
tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar
sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang
diberinya kewenangan.
Yang
menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan
sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum
Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau
orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak
memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah
menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak
ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya
dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara
tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah
penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan
mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para
penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka
rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan
karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh
mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya,
orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya;
sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh
karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib
memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah
mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul
‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum
wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw
bersabda;
حَدَّثَنَا
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah
walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak
hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya
adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2)
memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada
persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk
mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal
semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika
perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari
masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan
pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak
memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia
harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan
sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan
pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan
kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah
adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun
pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi
masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi
munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi,
pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak,
dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui
sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat
nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak
isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada
pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi
sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak
mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti
surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi
menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang
dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara
suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah
bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama,
sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali
hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus
merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah.
Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji,
keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan
menunjukkan surat nikah.
Inilah
beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa
tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga
pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat
dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan
mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah
masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain
itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan
di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai
menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An
Nawiy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar