PENDAHULUAN
Konsep bahwa
Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang
harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat
tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa
ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap
tradisi masyarakat pra-Islam.
S. Waqar
Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi
masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan
penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip
demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau
yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan
kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
Sehingga
sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah
satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan
dalam kehidupan ini.
PENGERTIAN
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu”
dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara
bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang
dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi
kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu
bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga
kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat
kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan
antar manusia.
Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering
disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini
dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima
oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun
kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang
apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat
kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk
menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh
shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah
’Urf
|
’Adah
|
Adat memiliki makna yang lebih sempit
|
Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
|
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid
|
Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
|
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
|
Adat mencakup kebiasaan pribadi
|
Adat juga muncul dari sebab alami
|
|
Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
|
DALIL KAIDAH
Lafadl al-‘adah
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat
pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan
hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:
Dalil aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
(QS
Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Juga
firman-Nya:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ (
$)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
(QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf
Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf
atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua
ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan
manusia yang berlaku.
Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat
Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul
fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
QAWAID FIQHIYAH YANG BERKAITAN
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah
fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:
“Menetapkan
(suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar
nash”.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat
dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan.
Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan
prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana
contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal
dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang
perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk
menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan
kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di
kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita
untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang
menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf)
untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum
merupakan suatu keharusan.
KLASIFIKASI
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
- ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
- ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar
untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah
tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2%
dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka
inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali
kalau ada perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
- ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Misalnya:
a. Ada seseorang berkata: “Demi
Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata kemudian dia maka
ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena kata ”daging”
dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang
darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b. Ada seorang penjual berkata: “Saya
jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima
puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
- ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:
a. Dalam masyarakat tertentu ada ’urf
orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu
kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan
dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur
setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya,
yaitu:
- ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a. Seperti mengadakan pertunangan
sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
- ‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a. Seperti kebiasaan mengadakan
sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini
tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan
agama Islam.
SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran
hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk
istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh
Azza wa Jalla berfirman:
(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
- ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan
makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata
tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima
tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua
daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang
tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak
didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
- Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,-
tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari
termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk
Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
- ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan
dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma)
maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya
bertentangan dengan dalil syar’i.
PERBANDINGAN DENGAN METODE LAIN
’Urf lebih kuat dari qiyas karena
’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang
dibutuhkan (Ibn Abidin). Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang
terjadi pada mesjid2 bahkan masjid al-haram. Ini tidak bisa diqiyaskan
pada korotan ayam.
Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma
Tabel 2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf
’Ijma
|
’Urf
|
Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syar’i setelah
Nabi SAW wafat
|
Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan tidak harus dalam
bentuk kesepakatan
|
Harus berdasarkan dalil Syara
|
Tidak harus berdasarkan dalil Syara
|
’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak
|
Relatif sama dengan sejarah
|
Merupakan hujjah yang mesti dilakukan
|
Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih
dan ada yang bathil
|
PANDANGAN ULAMA
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf
dalam masing-masing mahzab:
- Fiqh Hanafy
a. Dalam akad jual beli. Seperti
standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak
disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang
masih dipohon karena ’urf.
c. Bolehnya mengolah lahan pertanian
orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan
pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d. Bolehnya mudharib mengelola harta
shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e. Menyewa rumah meskipun tidak
dijelaskan tujuan penggunaaannya
- Fiqh Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan
menunjukkan sample
b. Pembagian nisbah antara mudharib
dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan
- Fiqh Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang
dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi
c. Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna
- Fiqh Hanbali
a. Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat
dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa
amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan
seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan
menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus
dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam
keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya.
Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat
dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i
terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian
tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di
Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid).
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum
yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat,
karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu
ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan
siatuasi (kondisi)”.
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat
masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama
dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena
berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum
atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim
mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid
mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan
adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh.
Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah
pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf
tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf
tersebut.
CONTOH
PRAKTEK ‘URF
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat
diterima dengan ’Urf, yaitu
1. Konsep Aqilah dalam asuransi
2. Jual beli barang elektronik
dengan akad garansi
3. Dalam sewa menyewa rumah. Biaya
kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik
rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.
KESIMPULAN
Karakteristik hukum Islam adalah syumul
(universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan
(penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan
tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku,
pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan
atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan
perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat
merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat).
Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan
keniscayaan.
Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya
aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi–
akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam
dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang
plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat
diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode
ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat
memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-A’jam, Rafiq. 1983. Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha. Beirut: Dar al-Ilmi.
Al-Bugha, Musthafa Dib. Atsar al-Adillah al-Mukhtalafah fiha fi al-Fiqh
al-Islamy. Damaskus: Dar el-Qalam, 1420 H/1999M, cet. III
Al-Jawaziyah, Ibnu Qayyim. TT. I’lam al-Muwaqi’in. Beirut: Dal
al-Jil.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar
al-Fikr.
Al-Nadawi, Ali Ahmad. 1986. Al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Damaskus: Dar
al-Qalam.
Al-Qarrafi, Syaihabuddin Ahmad ibd Idris. TT. al-Furuq fi Anwa’il Buruq.
Beirut: ‘Alam al-Kutb.
Al-Yamani, Abu Bakar al-Ahdal. TT. al-Fara’id al-Bahiyyah. Semarang:
al-Munawar.
Al-Zarqa’, Ahmad bin Muhammad. 1988. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah.
Beirut: al-Qalam.
Al-Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh
al-Islamy. Beirut: Dar el- Fikr al-Mu’ashir, 1424 H/2004 M, vol. 2, cet. II
Bisri, M. Adib. 1977. Risalah Qawa’id Fiqh. Kudus: Menara Kudus.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar
al-Ittihad al’Arabi.
Haidar, Ali. TT. Darru al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam. Beirut:
Maktabah al-Nahdhah.
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/8/1/pustaka-129.html
Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem Pembinaan
Masyarakat Islam (Terj.). Bandung: Pustaka.
Ibnu Nujaim, Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim. 1985. al-Asybah
wa al-Naqza’ir. Beirut: Dar al Kutb al-Alamiah.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Fiqh. Damaskus: Dar el-Qalam, 1398
H/1978 M, cet. XII
Madjid, Nurcholish. 1995. “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis:
Implikasinya dalam Pengembangan Syari’ah”, dalam Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Muhsin, Abdullah bin Abdul. 1980. Ushul al-Madzahib al-Imam Ahmad.
TTP: TP.
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar
al-Fikr.
Sabiq, Ahmad bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Majalah Al Furqon Edisi
Khusus, Romadhon/Syawal 1427 (Okt/Nov ’06)
Syarifuddin, Amir. 1990. Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic
Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing House.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar