Cari Blog Ini

Sabtu, 17 Desember 2011

KESEPAKATAN DAMAI DENGAN YAHUDI DI PALESTINA DAN PERJANJIAN DENGAN NEGARA-NEGARA KOLONIAL YANG MEMUSUHI BANGSA ARAB DAN UMAT ISLAM YANG MENGUNTUNGKAN YAHUDI


DASAR.
  1. Adanya serangan musuh terhadap negara Islam mengharuskan warganya untuk berjihad memberi perlawanan dengan segala kemampuannya. Dalam kondisi semacam ini jihad menjadi fardlu ‘ain hukumnya.
  2. Hukum jihad menjadi fardlu ‘ain dalam tiga kondisi :
-          Bertemunya dua kubu yang bermusuhan.
-          Orang-orang telah berada diwilayah negara Islam.
-          Adanya kebijakan pemerintah tentang wajib militer
  1. Setiap pemeritah Islam harus punya persiapan perang yang tangguh.
  2. Apa yang dilakukan yahudi di Palestina adalah bentuk penjajahan terhadap negara Islam yang – pertama kali – mewajibkan warganya sendiri untuk melakukan perlawanan dan selanjutnya wajib bagi setiap umat Islam diseluruh dunia.
  3. Kesepakatan damai dengan musuh atas dasar pengembalian kekuasaan kepada umat Islam hukumnya boleh. Tetapi kalau untuk mengakui penjajahan mereka, hukumnya tidak boleh.
  4. Perjanjian dengan ahlul harbi dan faksi-faksi-nya, untuk sementara waktu diperbolehkan selama menguntungkan umat Islam. Jika tidak, para ulama sepakat tidak boleh.
  5. Firman Allah SWT :
 وإن جنحوا للسلم فاجنح لها وتوكّل علىالله
“ Dan jika mereka condong kepada perdamain maka condonglah kepadanya dan tawkkal-lah kepada Alloh”.

Meskipun ayat tersebut mutlak, akan tetapi kesepakatan Fukaha mensyaratkan adanya keuntungan bagi umat Islam, berdasarkan firman Allah SWT :
 ولاتهنوا ولا تدعوا الى السلم وأنتم الأعلون .
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang diatas”.
  1. Syari’at membenarkan kesepakatan perjanjian dengan negara-negara non Islam jika membawa maslahat bagi umat Islam. Namun jika untuk mengukuhkan kekuasaan negara-negara koloni diwilayah Islam, maka tidak boleh.
  2. Di Palestina terdapat wilayah pemukiman khusus bagi yahudi yang mendapat legitimasi politik (genjatan senjata anatara kedua belah pihak), yang diprakarsai oleh beberapa negara. Pemerintahan-pemerintahan Islam harus tunduk pada keputusan tersebut, sampai terwujudnya penyelesaian yang independen.
  3. Umat Islam boleh menutup jalur transportasi yahudi untuk mencegah pengiriman senjata dan perbekalan, walaupun yahudi menganggap hal itu adalah bentuk tindakan yang merugikan  mereka.
Pertanyaan :
Bagaimana penjelasan hukum syara’ menyikapi masalah perdamain dengan negara zionis yahudi dan bagaimana menyikapi perjanjian dengan negara-negara kolonial yang menindas umat Islam dan bangsa Arab yang menguntungkan yahudi ?
Jawab :
Sudah jelas dari pertanyaan tersebut bahwasannya Palestina adalah wilayah yang telah ditaklukkan umat Islam dan telah didiami dalam kurun waktu yang lama. Oleh karena itu Palestina sudah menjadi bagian dari negara-negara Islam yang mayoritas penduduknya muslim, ada juga kelompok minoritas dari berbagai agama. Sehingga jadilah Palestina sebagai “Darul Islam” yang memberlakukan syari’at Islam. Kemudian Yahudi telah merampas sebagian wilayah Palestina  dan mendirikan pemerintahan –nya sendiri yang non Islam, serta mengusir penduduknya yang mayoritas muslim. Untuk mengetahui hukum syari’at Islam, tentang kesepakatan damai dengan yahudi di Palestina, tanpa memandang aspek politik, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui hukum penyerangan lawan pada negara Islam manapun, apakah hal tersebut disahkan atau tidak. Jika  tidak sah lalu apa tindakan umat Islam dalam  menghadapi hal ini ?.
Penyerangan terhadap negara islam tidak dibenarkan syari’at, apapun alasan dan motifnya. Negara Islam harus tetap dalam kekuasaan warganya dan tidak boleh dijajah oleh bangsa manapun. Sedangkan tindakan yang harus dilakukan umat Islam dalam menghadapi penjajahan terhadap negara Islam manapun, kaum muslimin sepakat bahwa jihad dengan segenap kemampuan merupakan fardlu ‘ain bagi warganya.
Pengarang kitab Al Mughni berpendapat, jihad menjadi fardlu ‘ain  :
-          Ketika perang sudah tidak bisa dihindari lagi oleh kedua belah pihak.
-          Ketika orang kafir telah menduduki wilayah kedaulatan Islam.
-          Dan ketika ada kebijakan pemerintah tentang wajib militer.
Oleh sebab itu Allah mewajibkan seluruh umat Islam mempersiapkan  segala kemungkinan untuk mengantisipasi musuh menduduki wilayahnya. Firman Allah SWT :
 وأعدّوا لهم مااستطعتم من قوّة ومن رباط الخيل ترهبون به عدوّ الله وعدوّكم .
“ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”.  (Q.S . al Anfal : 60)
Persiapan perang adalah suatu kewajiban setiap pemerintah Islam untuk melawan orang-orang yang menindas agamanya dan menguasai negaranya. Tanpa persiapan yang solid, mereka akan menjadi umat yang lemah dan membuka kesempatan bagi lawan untuk menguasai .
Perbedaan pendapat ulama tentang tetap ada atau tidaknya jihad dengan hukum fardlu ‘ain atau fardlu kifayah, itu hanya berlaku pada situasi damai. Tetapi jika dalam situasi perang, jihad menjadi fardlu ‘ain bagi setiap warganya.
            Al Hafidz Ibnu Hajar telah membahas topik jihad dan sampai pada kesimpulan fardlu kifayah menurut pendapat yang populer, kecuali musuh menyerang secara tiba-tiba. Dan ia juga sampai pada ketetapan bahwa segala bentuk jihad pada orang kafir itu wajib dilakukan dalam bentuk apapun; dengan kekuatan fisik, diplomasi, harta, ataupun dengan hatinya. Berdasarkan keterangan hukum tersebut, maka apa yang dilakukan yahudi di Palestina bisa dihukumi sebagai bentuk penjajahan terhadap negara Islam, yang mewajibkan warganya untuk memberi perlawanan dan mengusir mereka dengan segenap kemampuan, hingga mereka meninggalkan Palestina dan mengembalikan kekuasaan pada negara Islam. Tindakan ini merupakan fardlu ‘ain bagi semua warga negara Palestina. Hukum fardlu kifayah yaitu bila ada sebagian warganya yang melakukannya, maka gugur kewajiban bagi yang lain. Kalau memang semua negara Islam dianggap menjadi negara milik tiap orang Islam, maka mula-mula yang dibebani jihad, tatkala dalam keadaan perang adalah warga negara itu sendiri, baru kemudian umat Islam yang tinggal dinegara-negara yang lain. Karena walaupun serangan tersebut tidak secara langsung ditujukan kepada negara mereka, namun serangan tersebut menimpa salah satu negara yang menjadi barisan dari kesatuan negara-negara Islam.
            Setelah kita mengetahui hukum syara’ tentang serangan terhadap negara Islam, maka kita bisa mengetahui bagaimana hukumnya menyetujui perdamaian dengan negara-negara penjajah, apakah diperbolehkan atau tidak ?.
Jawab :
Apabila perjanjian tersebut disepakati atas dasar harus mengembalikan bagian wilayah yang telah mereka kuasai kepada umat Islam, maka hukumnya boleh. Namun jika didasarkan pada pengakuan dan penetapan kekuasaan mereka, hukumnya bathil, sebab sama halnya dengan mengakui kekuasaan yang bathil. Padahal apapun yang muncul dari bathil hukumnya juga bathil. Para Fukaha memperbolehkan perjanjian damai dengan Ahlul harbis dalam jangka waktu tertentu, jika memang membawa maslahat bagi kaum muslimin, berdasarkan  firman Allah SWT :
 وإن جنحوا للسلم فاجنح لها وتوكّل على الله .
Menurut pendapat mereka, meskipun ayat tersebut mutlak tetapi kesepakatan ilama mensyaratkan harus ada kemaslahat bagi kaum muslimin, berdasarkan ayat lain :
 ولا تهنوا وتدعوا إلى السلم وأنتم الأعلون .
Oleh karena itu tidak boleh mengikat perjanjian jika tidak membawa maslahat.
Kami melihat perdamaian untuk mengakui wilayah yang diduduki yahudi di Palestina dan ketidakinginannya untuk mengembalikan  wilayah itu kepada warga Palestina, hanya akan menguntungkan pihak yahudi bukan menguntungkan umat Islam. Oleh karena itu dari pandangan syara’, kami tidak memperbolehkan perdamaian kecuali dengan syarat harus ada maslahat yang nyata bagi kaum muslimin. Di sini kami tidak akan menyinggung masalah syarat-syarat tersebut karena masih ada orang lain yang lebih berkompeten.
Jawaban dari soal kedua :
Perjanjian yang telah disepakati umat Islam dengan negara-negara non-Islam, dari sudut syari’at adalah boleh, jika hal tersebut membawa maslahat. Namun jika untuk mengukuhkan kekuasaan penjajah atas negara Islam, sebagaimana yahudi di Palestina, hal itu sama saja dengani melanggengkan kekuasaan penjajah. Jadi hukumnya tidak diperbolehkan oleh syara’.
            Yang ingin kami tekankan di sini adalah agar umat Islam saling membantu dalam menentang segala bentuk penindasan yang terjadi di negaranya. Mereka harus saling membantu dalam pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati untuk menangkal orang-orang yang hendak menghancurkan negara Islam.
            Jika ikatan perjanjian tersebut ada kaitannya dengan penyediaan perlengkapan persenjataan, untuk memperkuat pasukan Islam, maka semua itu adalah suatu kewajiban dan keharusan, sebagai bentuk jaminan perdamaian yang menjadi harapan seluruh negara Islam, bahkan negara-negara lain seluruh dunia.
            Jelas sekali yahudi mempunyai wilayah pemukiman khusus yang tidak terikat perjanjian dengan Palestina dan pemerintah Islam manapun dan juga yahudi tidak mau meninggalkan wilayah yang telah dikuasainya, berdasarkan kesepakatan damai yang ditetapkan oleh beberapa negara bagi kedua belah pihak, meski demikian negara-negara Islam harus tunduk pada kesepakatan itu sampai adanya kesepakatan yang independen. Namun yahudi tidak mau tunduk dan melakukan pelanggaran terus menerus. Semua yang dilakukan umat Islam mereka anggap sebagai suatu pelanggaran terhadap hak-hak mereka, yaitu blokade larangan penggunaan senjata dan peralatan perang yang melewati negaranya.
            Untuk mengetahui hukum syari’at dalam kasus ini, kami sebutkan bahwa pengiriman bantuan kepada ahlul harbi ada dua macam :
  1. Persenjataan dan sejenisnya.
  2. Bahan makanan dan lain-lain.
Sedangkan para Fukaha telah larangan penjualan senjata kepada mereka, karena hal itu akan memperkuat mereka untuk memerangi kaum muslimin. Begitu juga bahan-bahan lain seperti peralatan militer, baju besi, besi, kayu dan semua jenis barang yang bisa digunakan untuk pembuatan senjata, baik sebelum ataupun sesudah adanya perjanjian. Karena perjanjian dalam hal itu sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran dan mereka akhirnya akan menyerang kita. Tidak diragukan lagi bahwa bangsa yahudi sangat tipis sekali untuk bisa dipercaya mentaati gencatan senjata. Dengan mengatasnamakan gencatan senjata sebagai bentuk perjanjian, mereka sering melanggarnya dengan menerapkan standar ganda.
Pengiriman Bahan-Bahan Logistik.
            Para Fukaha mengatakan, pengiriman bahan-bahan logistik secara qias juga tidak diperbolehkan. Sejauh yang kami ketahui dengan nash tentang  hukum masalah ini adalah; Nabi SAW pernah mengutus Tsumamah pada warga Makkah, yang posisinya sebagai ahlul harbi, untuk melakukan hubungan baik, meskipun sebelumnya warga Makkah pernah merugikan kaum muslimin. Tapi sikap warga Makkah ini bukanlah sikap zionisme yahudi di Palestina.
Dengan demikian maka saya menjatuhkan pilihan pada hukum “tidak boleh mengirimkan bahan apapun kepada kaum zionis”, dengan mengacu pada qiyas. Toh, mengirimkan selain militer-pun hanya akan menguatkan dan memberanikan mereka untuk terus bertahan di posisinya, dan hal ini jelas tidak akan pernah mendapat pembenaran syari’at.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar