DASAR.
- Adanya serangan musuh terhadap negara Islam mengharuskan warganya untuk berjihad memberi perlawanan dengan segala kemampuannya. Dalam kondisi semacam ini jihad menjadi fardlu ‘ain hukumnya.
- Hukum jihad menjadi fardlu ‘ain dalam tiga kondisi :
-
Bertemunya dua kubu yang bermusuhan.
-
Orang-orang telah berada diwilayah negara Islam.
-
Adanya kebijakan pemerintah tentang wajib militer
- Setiap pemeritah Islam harus punya persiapan perang yang tangguh.
- Apa yang dilakukan yahudi di Palestina adalah bentuk penjajahan terhadap negara Islam yang – pertama kali – mewajibkan warganya sendiri untuk melakukan perlawanan dan selanjutnya wajib bagi setiap umat Islam diseluruh dunia.
- Kesepakatan damai dengan musuh atas dasar pengembalian kekuasaan kepada umat Islam hukumnya boleh. Tetapi kalau untuk mengakui penjajahan mereka, hukumnya tidak boleh.
- Perjanjian dengan ahlul harbi dan faksi-faksi-nya, untuk sementara waktu diperbolehkan selama menguntungkan umat Islam. Jika tidak, para ulama sepakat tidak boleh.
- Firman Allah SWT :
وإن جنحوا للسلم فاجنح لها
وتوكّل علىالله
“ Dan jika mereka condong
kepada perdamain maka condonglah kepadanya dan tawkkal-lah kepada Alloh”.
Meskipun ayat tersebut mutlak, akan tetapi kesepakatan
Fukaha mensyaratkan adanya keuntungan bagi umat Islam, berdasarkan firman Allah
SWT :
ولاتهنوا ولا تدعوا الى
السلم وأنتم الأعلون .
“Janganlah kamu lemah dan
minta damai padahal kamulah yang diatas”.
- Syari’at membenarkan kesepakatan perjanjian dengan negara-negara non Islam jika membawa maslahat bagi umat Islam. Namun jika untuk mengukuhkan kekuasaan negara-negara koloni diwilayah Islam, maka tidak boleh.
- Di Palestina terdapat wilayah pemukiman khusus bagi yahudi yang mendapat legitimasi politik (genjatan senjata anatara kedua belah pihak), yang diprakarsai oleh beberapa negara. Pemerintahan-pemerintahan Islam harus tunduk pada keputusan tersebut, sampai terwujudnya penyelesaian yang independen.
- Umat Islam boleh menutup jalur transportasi yahudi untuk mencegah pengiriman senjata dan perbekalan, walaupun yahudi menganggap hal itu adalah bentuk tindakan yang merugikan mereka.
Pertanyaan :
Bagaimana penjelasan hukum syara’ menyikapi masalah
perdamain dengan negara zionis yahudi dan bagaimana menyikapi perjanjian dengan
negara-negara kolonial yang menindas umat Islam dan bangsa Arab yang
menguntungkan yahudi ?
Jawab :
Sudah jelas dari pertanyaan tersebut bahwasannya
Palestina adalah wilayah yang telah ditaklukkan umat Islam dan telah didiami
dalam kurun waktu yang lama. Oleh karena itu Palestina sudah menjadi bagian
dari negara-negara Islam yang mayoritas penduduknya muslim, ada juga kelompok
minoritas dari berbagai agama. Sehingga jadilah Palestina sebagai “Darul Islam”
yang memberlakukan syari’at Islam. Kemudian Yahudi telah merampas sebagian
wilayah Palestina dan mendirikan
pemerintahan –nya sendiri yang non Islam, serta mengusir penduduknya yang mayoritas
muslim. Untuk mengetahui hukum syari’at Islam, tentang kesepakatan damai dengan
yahudi di Palestina, tanpa memandang aspek politik, maka terlebih dahulu kita
harus mengetahui hukum penyerangan lawan pada negara Islam manapun, apakah hal
tersebut disahkan atau tidak. Jika tidak
sah lalu apa tindakan umat Islam dalam
menghadapi hal ini ?.
Penyerangan
terhadap negara islam tidak dibenarkan syari’at, apapun alasan dan motifnya.
Negara Islam harus tetap dalam kekuasaan warganya dan tidak boleh dijajah oleh
bangsa manapun. Sedangkan tindakan yang harus dilakukan umat Islam dalam
menghadapi penjajahan terhadap negara Islam manapun, kaum muslimin sepakat
bahwa jihad dengan segenap kemampuan merupakan fardlu ‘ain bagi warganya.
Pengarang kitab Al
Mughni berpendapat, jihad menjadi fardlu ‘ain :
-
Ketika perang sudah tidak bisa dihindari lagi oleh kedua
belah pihak.
-
Ketika orang kafir telah menduduki wilayah kedaulatan
Islam.
-
Dan ketika ada kebijakan pemerintah tentang wajib
militer.
Oleh sebab itu Allah mewajibkan seluruh umat Islam
mempersiapkan segala kemungkinan untuk
mengantisipasi musuh menduduki wilayahnya. Firman Allah SWT :
وأعدّوا لهم مااستطعتم من
قوّة ومن رباط الخيل ترهبون به عدوّ الله وعدوّكم .
“ Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu”. (Q.S . al Anfal : 60)
Persiapan perang adalah suatu kewajiban setiap pemerintah
Islam untuk melawan orang-orang yang menindas agamanya dan menguasai negaranya.
Tanpa persiapan yang solid, mereka akan menjadi umat yang lemah dan membuka
kesempatan bagi lawan untuk menguasai .
Perbedaan pendapat ulama tentang tetap ada atau tidaknya
jihad dengan hukum fardlu ‘ain atau fardlu kifayah, itu hanya berlaku pada
situasi damai. Tetapi jika dalam situasi perang, jihad menjadi fardlu ‘ain bagi
setiap warganya.
Al
Hafidz Ibnu Hajar telah membahas topik jihad dan sampai pada kesimpulan fardlu
kifayah menurut pendapat yang populer, kecuali musuh menyerang secara
tiba-tiba. Dan ia juga sampai pada ketetapan bahwa segala bentuk jihad pada
orang kafir itu wajib dilakukan dalam bentuk apapun; dengan kekuatan fisik,
diplomasi, harta, ataupun dengan hatinya. Berdasarkan keterangan hukum
tersebut, maka apa yang dilakukan yahudi di Palestina bisa dihukumi sebagai
bentuk penjajahan terhadap negara Islam, yang mewajibkan warganya untuk memberi
perlawanan dan mengusir mereka dengan segenap kemampuan, hingga mereka
meninggalkan Palestina dan mengembalikan kekuasaan pada negara Islam. Tindakan
ini merupakan fardlu ‘ain bagi semua warga negara Palestina. Hukum fardlu
kifayah yaitu bila ada sebagian warganya yang melakukannya, maka gugur
kewajiban bagi yang lain. Kalau memang semua negara Islam dianggap menjadi
negara milik tiap orang Islam, maka mula-mula yang dibebani jihad, tatkala
dalam keadaan perang adalah warga negara itu sendiri, baru kemudian umat Islam
yang tinggal dinegara-negara yang lain. Karena walaupun serangan tersebut tidak
secara langsung ditujukan kepada negara mereka, namun serangan tersebut menimpa
salah satu negara yang menjadi barisan dari kesatuan negara-negara Islam.
Setelah
kita mengetahui hukum syara’ tentang serangan terhadap negara Islam, maka kita
bisa mengetahui bagaimana hukumnya menyetujui perdamaian dengan negara-negara
penjajah, apakah diperbolehkan atau tidak ?.
Jawab :
Apabila perjanjian tersebut disepakati atas dasar harus
mengembalikan bagian wilayah yang telah mereka kuasai kepada umat Islam, maka
hukumnya boleh. Namun jika didasarkan pada pengakuan dan penetapan kekuasaan
mereka, hukumnya bathil, sebab sama halnya dengan mengakui kekuasaan yang
bathil. Padahal apapun yang muncul dari bathil hukumnya juga bathil. Para
Fukaha memperbolehkan perjanjian damai dengan Ahlul harbis dalam jangka waktu tertentu, jika memang membawa
maslahat bagi kaum muslimin, berdasarkan
firman Allah SWT :
وإن جنحوا للسلم فاجنح لها
وتوكّل على الله .
Menurut pendapat mereka, meskipun ayat tersebut mutlak
tetapi kesepakatan ilama mensyaratkan harus ada kemaslahat bagi kaum muslimin,
berdasarkan ayat lain :
ولا تهنوا وتدعوا إلى
السلم وأنتم الأعلون .
Oleh karena itu tidak boleh mengikat perjanjian jika
tidak membawa maslahat.
Kami melihat perdamaian untuk mengakui wilayah yang
diduduki yahudi di Palestina dan ketidakinginannya untuk mengembalikan wilayah itu kepada warga Palestina, hanya
akan menguntungkan pihak yahudi bukan menguntungkan umat Islam. Oleh karena itu
dari pandangan syara’, kami tidak memperbolehkan perdamaian kecuali dengan
syarat harus ada maslahat yang nyata bagi kaum muslimin. Di sini kami tidak
akan menyinggung masalah syarat-syarat tersebut karena masih ada orang lain
yang lebih berkompeten.
Jawaban dari soal kedua :
Perjanjian yang telah disepakati umat Islam dengan
negara-negara non-Islam, dari sudut syari’at adalah boleh, jika hal tersebut
membawa maslahat. Namun jika untuk mengukuhkan kekuasaan penjajah atas negara
Islam, sebagaimana yahudi di Palestina, hal itu sama saja dengani melanggengkan
kekuasaan penjajah. Jadi hukumnya tidak diperbolehkan oleh syara’.
Yang
ingin kami tekankan di sini adalah agar umat Islam saling membantu dalam
menentang segala bentuk penindasan yang terjadi di negaranya. Mereka harus
saling membantu dalam pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati untuk
menangkal orang-orang yang hendak menghancurkan negara Islam.
Jika
ikatan perjanjian tersebut ada kaitannya dengan penyediaan perlengkapan
persenjataan, untuk memperkuat pasukan Islam, maka semua itu adalah suatu
kewajiban dan keharusan, sebagai bentuk jaminan perdamaian yang menjadi harapan
seluruh negara Islam, bahkan negara-negara lain seluruh dunia.
Jelas
sekali yahudi mempunyai wilayah pemukiman khusus yang tidak terikat perjanjian
dengan Palestina dan pemerintah Islam manapun dan juga yahudi tidak mau
meninggalkan wilayah yang telah dikuasainya, berdasarkan kesepakatan damai yang
ditetapkan oleh beberapa negara bagi kedua belah pihak, meski demikian
negara-negara Islam harus tunduk pada kesepakatan itu sampai adanya kesepakatan
yang independen. Namun yahudi tidak mau tunduk dan melakukan pelanggaran terus
menerus. Semua yang dilakukan umat Islam mereka anggap sebagai suatu
pelanggaran terhadap hak-hak mereka, yaitu blokade larangan penggunaan senjata
dan peralatan perang yang melewati negaranya.
Untuk
mengetahui hukum syari’at dalam kasus ini, kami sebutkan bahwa pengiriman
bantuan kepada ahlul harbi ada dua
macam :
- Persenjataan dan sejenisnya.
- Bahan makanan dan lain-lain.
Sedangkan para Fukaha telah larangan penjualan senjata kepada
mereka, karena hal itu akan memperkuat mereka untuk memerangi kaum muslimin.
Begitu juga bahan-bahan lain seperti peralatan militer, baju besi, besi, kayu
dan semua jenis barang yang bisa digunakan untuk pembuatan senjata, baik
sebelum ataupun sesudah adanya perjanjian. Karena perjanjian dalam hal itu
sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran dan mereka akhirnya akan menyerang
kita. Tidak diragukan lagi bahwa bangsa yahudi sangat tipis sekali untuk bisa
dipercaya mentaati gencatan senjata. Dengan mengatasnamakan gencatan senjata
sebagai bentuk perjanjian, mereka sering melanggarnya dengan menerapkan standar
ganda.
Pengiriman
Bahan-Bahan Logistik.
Para
Fukaha mengatakan, pengiriman bahan-bahan logistik secara qias juga tidak
diperbolehkan. Sejauh yang kami ketahui dengan nash tentang hukum masalah ini adalah; Nabi SAW pernah
mengutus Tsumamah pada warga Makkah, yang posisinya sebagai ahlul harbi, untuk melakukan hubungan
baik, meskipun sebelumnya warga Makkah pernah merugikan kaum muslimin. Tapi
sikap warga Makkah ini bukanlah sikap zionisme yahudi di Palestina.
Dengan demikian maka saya menjatuhkan pilihan pada hukum
“tidak boleh mengirimkan bahan apapun kepada kaum zionis”, dengan mengacu pada qiyas. Toh, mengirimkan selain
militer-pun hanya akan menguatkan dan memberanikan mereka untuk terus bertahan
di posisinya, dan hal ini jelas tidak akan pernah mendapat pembenaran syari’at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar