Pendidikan dalam Islam merupakan
sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif [kedewasaan],
baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan
yang diemban-sebagai seorang hamba [abd] dihadapan Khaliq-nya dan
sebagai “pemelihara” [khalifah] pada semesta [Tafsir, 1994]. Dengan
demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik [generasi
penerus] dengan kemampuan dan keahlian [skill] yang diperlukan agar
memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat [lingkungan],
sebagai tujuan akhir dari pendidikan.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam,
sebagai proses pembentukan diri peserta didik [manusia] agar sesuai dengan fitrah
keberadaannya [al-Attas, 1984]. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak
bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan - terutama peserta didik -- untuk
mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa
kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah
pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia
pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam
paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi
pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses 'isolasi diri' dan
termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dalam lintasan
sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan
pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan
benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi
peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab,
Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan
yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan
peradaban dan kebudayaan Islam pada masa kejayaan sepanjang abad pertengahan,
di mana peradaban dan kebudayaan Islam berhasil menguasai jazirah Arab, Asia
Barat dan Eropa Timur, tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan paradigma
pendidikan yang dilaksanakan pada masa tersebut [M. Khoirul Anam,From:
http://www. pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003].
Proses pendidikan
yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi
dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan.
Kita memerlukan suatu perubahan paradigma [paradigma shift] dari
pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan
masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu
masyarakat madani Indonesia [H.A.R. Tilaar, 1999:168], oleh karena itu, arah
perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya
masyarakat madani Indonesia tersebut.
Arah perubahan
paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai
aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu, Pertama, paradigma
lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada : sentralistik, kebijakan
lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih
bersifat parsial, pendidikan didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi,
stabilitas politik, keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah
sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran institusi
pendidikan dan institusi non-sekolah. Kedua,
paradigma baru, orientasi pendidikan pada:
disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi
pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan
ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya,
kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama,
kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Peran serta masyarakat
secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan,
pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia
usaha [Fasli Jalal, 2001: 5], lemabag-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya
pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada
terbentuknya masyarakat Indonesia berkualitas dan kritis.
Berdasarkan
pandangan ini, pendidikan yang dikelola lembaga-pelmabaga Islam sudah harus
diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu [abad
pertengahan] ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan
dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma
pendidikan yang merintis kemajuan, mengalihkan paradigma dari yang berwatak feodal
ke paradigma pendidikan berjiwa demokrati [Winarno Surakhmad, From:
http://www. Bpk penabur.or.id / kps-jkt/berita/200006/ artikel2.htm, 27 Mei
2002]. Mengalihkan paradigma dari pendidikan sentralisasi ke paradigma
pendidikan desentralisasi, sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam
keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan peserta didik. Proses
pendidikan perlu dilakukan “kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan
sektor lain, pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam
rangka pemberdayaan umat dan bangsa, pemberdayaan infrastruktur sosial untuk
kemajuan pendidikan. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai
keunggulan, penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan
konsensus dalam kemajemukan. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan
terpadu secara horizontal antarsektor dan vertikal antar jenjang – bottom-up
dan top-down planning, pendidikan harus berorientasi pada peserta
didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan
perspektif global” [Fasli Jalal, 2001: 5].
Rumusan paradigma
pendidikan tersebut, paling tidak memberikan arah sesuai dengan arah
pendidikan, yang secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju
masyarakat Indonesia yang demokratis, relegius, kritis. Berkualitas, dan
tangguh dalam menghadapi lingkungan global. Maka upaya pembaruan pendidikan
Islam, perlu ada ikhtiar yaitu strategi kebijakan perubahan diletakan pada
upaya menangkap kesempatan perubahan, maka mau tidak maun, pendidikan Islam
harus meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru, berorientasi pada masa
depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat desentralistik,
berorientasi pada peserta didik, bersifat multicultural, berorientasi pada
perspektif global, sehingga terbentuk paradigma pendidikan yang berkualitas
dalam menghadapi tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat
Indonesia yang demokratis, kritis, dan berkualitas. Pada dataran konsep,
pendidikan baik formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran penting
melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan
sebaliknya pendidikan merupakan proses perubahn sosial. Tetapi, peran
pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada
paradigma pendidikan yang mendasarinya” [Mansour Fakih,2002: 18].
Dari pandangan di
atas, dapat dikatakan peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami
dalam konteks mikro [kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses
interaksi pendidikan], melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan
masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan
juga kemanusiaan pada umumnya” [ Fasli Jalal, 2001:16-17.], sehingga pendidikan
Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat
[learning society]. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of
Education [1978], menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup
hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan
negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya
masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu
memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi,
politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangkan, secara mikro pendidikan
senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara
individu peserta didik [Fasli Jalal, 2001: 16], dalam kerangka interaksi proses
belajar.
Kerangka acuan
pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam, harus mampu
mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat
keterpaduan dalam konsep, yaitu : Pertama, pendidikan harus
membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor
lain. Pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain untuk
mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang berkualitas dan kritis. Oleh
karena itu, pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari
masyarakat dan sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka
dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Kedua, pendidikan
merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan
pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa,
dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan
segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang
dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Seperti pesantren,
keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan untuk dapat
mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu
dari pendidikan. Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan
dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif
untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima,
dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan
konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan
mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik.
Keenam, prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu
dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya
yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat Indonesia baru.
Pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan,
sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Ketujuh, prinsip
rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan
mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang
dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan
pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil.
Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan
pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap
berpijak pada kondisi sekarang. Kedelapan, prinsip pendidikan
berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan,
sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi
pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan remaja
dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan
fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah
terpencil tidak dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan. Kesembilan,
prinsip pendidikan multicultural, bahwa sistem pendidikan harus
memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme
harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat
mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif
dan konstruktif. Kesepuluh,
pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan
harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat
global [Fasli Jalal, 2001:16-17].
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam pada
pendahuluan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya
untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran
yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga
kembali bersifat aktif-progresif, yakni : Pertama, menempatkan kembali
seluruh aktifitas pendidikan [talab al-ilm] di bawah frame work agama.
Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai
agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya
menegakkan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan [balancing]
antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum
pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan
Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan
memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan
menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi
agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika
ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Ketiga,
perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan
pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam,
tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan
pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan
menghilangkan ,minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama
ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan
semakin luas yang, tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan
keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi.
Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu,
materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan
kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam
akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan
jaman dan peka terhadap lingkungan [M. Khoirul Anam,From: http://www.
pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003]. Faktor lain yang membantu adalah
adanya perhatian dan dukungan para pemimpin [pemerintah] atas proses penggalian
dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Perhatian dan dukungan pemerintah
akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang
aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali
mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat
Dari pandangan di
atas, dapat dikatakan bahwa untuk membangun pendidikan Islam berwawasan global
bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus
memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai-nilai ajaran Islam dan
dipihak lain berusaha untuk menanamkan karaktek budaya nasional Indonesia dan
budaya global. Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global
dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis.
Misalnya saja, bangsa Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal
dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa, meskipun saat
sekarang ini “konsep nationalstate mulai diragukan, dan diganti dengan nelfare
state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless)
karena kemajuan teknologi informasi, tetapi pembinaan karaktek nasional tetap
relevan dan bahkan harus dilakukan” [Fasli Jalal, 2001:18] yang maju dengan
tetap kental dengan nilai-nilai tradisi
dan nilai-nilai relegius. Dengan contoh bangsa Jepang
tersebut, sebenarnya pembinaan dan pembentukan nilai-nilai Islam tetap relevan,
bahkan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan sebagai “kapital spritual” untuk
masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan global menuju
masyarakat madani Indonesia. Dari pandangan ini, tergambar bahwa peran
pendidikan sangatlah senteral dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami
penggeseran, sementara “sistem sosial, politik, dan ekonomi bangsa selalu
menjadi penentu dalam penetapan dan pengembangan peran pendidikan” Fasli Jalal,
2001: 6].
Pendidikan Islam
harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab
tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat Indonesia yang
demokratis, berkualitas, dan kritis. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan
tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat yang
demokratis, berkualitas dan kritis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan
global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan
kemampuan berkompetisi, kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif,
serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan terjadi
adalah penggeseran paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi
pengembangan pendidikan perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan
semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak, maka pendidikan Islam
akan menjadi pendidikan yang “termarginalkan” dan tertinggal
ditengah-tengah kehidupan masyarakat global.
Pergeseran
drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi
dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi
informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang,
birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung
dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total diberbagai
aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk
pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga
diakui sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa
keinginan untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis,
berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan
terbuka menuju masyarakat madani Indonesia.
Selanjutnya,
terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari “percepatan aliran
ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara
lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal
[SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar
dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa
kesulitan. Paradigma
ini dikenal sebagai distributed intelligence [distributed knowledge]”
[Onno W. Purbo, From: http:// www. detik. com/net/ onno/ jurnal/ 20004/
aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml. 2000]. Kondisi ini, akan berpengaruh pada
fungsi tenaga pendidik [guru dan dosen] dan lembaga pendidikan “akhirnya
beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi “mediator” dari ilmu
pengetahuan tersebut. Proses long life learning dalam dunia pendidikan
informal yang sifatnya lebih learning based dari pada teaching based akan
menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Peranan web, homepage,
cd-rom merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed
knowledge semakin berkembang. Hal ini, secara langsung akan menetang sistem
kurikulum yang rigid dan sifatnya terpusat dan mapan yang kini lebih
banyak dianut dan lebih difokuskan pada pengajaran [teaching] dan kurang
pada pendidikan [learning-based]” [Onno W. Purbo, From: http:// www. detik.
com/net/ onno/ jurnal/ 20004/ aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml.2000]. Ilmu
pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang sifatnya
konsensus bersama dan tidak terikat pada dimensi birokrasi atau struktural.
Pendidikan Islam
harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan
dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan
Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi
untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan
beberapa ciri, yaitu: [a] Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau
“lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada
mengajar [teaching]”. [b] Pendidikan Islam dapat “diorganisir dalam
suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel”. [c] Pendidikan Islam dapat
“memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik
khusus dan mandiri”, dan [d] Pendidikan Islam, “merupakan proses yang
berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan”
[Zamroni,2000:9]. Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik
yang menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan
sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika
masyarakat.
Dalam
“pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan
kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena
keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh
apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga
ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada
umumnya” [ Zamroni, 2000:9]. Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double
tracks, menekankan pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu
antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan
formal persekolahan, sehingga “sistem pendidikan akan mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk
menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat”
[Zamroni,2000:9].
Berdasarkan
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa “paradigma baru pendidikan Islam
yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus-menerus harus dikembangkan
melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan Iptek, sebagaimana zaman
keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam dimulai dari
konsep manusia menurut Islam, pandangan Islam terhadap Iptek, dan setelah itu
baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh” [Mastuhu,
1999:15]. Pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang
berorientasi pada: [1] Paradigma baru pendidikan Islam harus didasarkan pada
filsafat teocentris dan antroposentris sekaligus. Pendidikan
Islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak
ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas
dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak
hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan juga sisi rasional”
[Mastuhu,1999:15]. [2] Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan dan kemajuan
kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi
kehidupan manusia. [3] Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan
mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif,
inovatif berdasarkan nilai-nilai Islam. [4] Pendidikan Islam harus disusun atas
dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada
masa akan datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan
peluang yang harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan Islam yang
dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan
masa lalu hanya cocok untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika
diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan sering kali menimbulkan problem yang
dapat memundurkan dunia pendidikan. [5] Pembaruan pendidikan Islam diupayakan
untuk memberdayakan potensi umat yang
disesuai dengan
kebutuhan kehidupan masyarakat madani. Sistem pendidikan Islam harus
dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratisasi,
memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati dan menghargai supermasi hukum,
menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan [pluralisme], memiliki
kemampuan kompotetif dan kemampuan inovatif. [6] Penyelenggaraan pendidikan
Islam harus diubah berdasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang
bersifat sentralistik baik dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum
harus disesuaikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralistik.
Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi di
dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta
meningkatkan kualitas manusia. [7] Pendidikan Islam lebih menekankan dan
diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih
bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu
yang memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses
berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. [8]
Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama, dimensi
dialektika [horizontal] yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan
pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan
sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui
pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketunduhan vertikal, yaitu
pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan
lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah
Swt” [ Hujair AH. Sanaky,1999:11]. [9] Pendidikan Islam lebih diorientasikan
pada upaya “pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses
pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak, pendidikan menghasilkan
tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia,
pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif, pendidikan sebagai wahana
membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik,
pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”, dan harus
dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya instrumen
pendidikan” [ Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong Kosong, Tanpa Mengubah
UU No.2/89”, Kedaulatan Rakyat, 4 Mei 1999, Yogyakarta], karena pada era
informasi sekarang ini, informasi ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari
berbagai media ilektornik dan media massa, seperti : internet dengan peran web,
homepage, cd-rom, diskusi di internet, dan televisi, radio, surat kabar,
majalah yang merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed
knowledge.
Paradigma lama pendidikan Islam yang telah terbangun
sejak abad pertengahan [periode Islam], dengan mengkaji dan mempelajari
teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan
pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan untuk menuju paradigma baru
pendidikan. Faisal Ismail, menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran dalam
Islam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta kebudayaan dari generasi
terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya memungkinkan bersifat
reseptif, pasif, menerima begitu saja. Akan tetapi pendidikan Islam harus
berusaha mengembangkan dan melatih peserta didik untuk lebih bersifat direktif,
mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun.
Pendidikan Islam harus berorientasi kepada pembangunan
dan pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan,
kecakapan penalaran yang dilandasai dengan “keluhuran moral” dan “kepribadian”,
sehingga pendidikan Islam akan mampu mempertahankan relevansinya di
tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga
pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang belajar terus [long life
education], mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan
menyelesaikan berbagai problem kehidupan [Faisal Ismail,1998:97-98], serta
berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat.
Paradigma baru
pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan, pembaruan,
pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran,
inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural,
dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan
dilandasi keanggunan moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan
masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong Kosong,Tanpa
Mengubah UU No.2/89”, Kedaulatan Rakyat,4 Mei 1999, Yogyakarta.
Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam Studi
Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta.
Fasli Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah, Aditia Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar, 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan
Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset.
Hujair AH. Sanaky, 1999, “Studi Pemikiran Pendidikan
Islam Modern”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi, Volume V
Th IV, ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII, Yogyakarta, Agustus 1999.
Mansour Fakih, 2002, Pendidikan Popular Membangun
Kesadaran Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mastuhu, 1999, Pemberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos,
Jakarta.
M. Khoirul Anam,From: http://www.
pendidikan.net/mk-anam.html,akses: 12/8/2003.
Muhmmad al-Nauquib al-Attas, 1984, Konsep Pendidikan
dlam Islam, Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Mizan,
Bandung.
Onno W. Purbo, Tantangan Bagi Pendidikan Indonesia,
From: http:// www. detik. com/net/ onno/ jurnal/ 20004/ aplikasi/
pendidikan/p-19.shtml. 2000.
Winarno Surakhmad, Profesionalisme Dunia Pendidikan,
From: http://www. Bpk penabur.or.id / kps-jkt/berita/200006/ artikel2.htm ,
Jakarta, 27 Mei 2002
Zamroni, 2000, Paradigma
Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing,Yogyakarta.
copy paste ya gan... hehe..
BalasHapus