Cari Blog Ini

Jumat, 13 Januari 2012

DILALAH WADIH WA GHAIRU WADIH DAN MUJMAL


Prolog
Syariat Islam sebagai syariat Nabi dan Rasul yang terakhir; Muhammad Saw—, memiliki kesempurnaan sistem baik ditinjau dari aspek teks (al-Qur'an dan al-Hadist) maupun dalam implementasinya dalam bentuk konteks sosial. Diantara ciri khas sayariat Islam menurut DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., dalam bukunya Islam Aplikatif, antara lain menyebutkan; kompherensif dan universal. Kompherensif beraarti syariat Islam mecakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik ritual (ibadah Mahdloh) maupun sosial (muamalah temasuk sosio kultural, ekonomi dan civil scoeity ), serta Universal menyangkut segala aspek kehidupan demikian penerapanaya tanpa batas waktu dan tempat.
Namun menurut salah satu tokoh kiri Islam yang layak kita kritisi dalam salah satu seminarnya mengemukakan; bahwa dalam persoalan muamalah tidak ada ketentuan yang pasti di mana Allah menentukan “otoritas kebijakan yang permanen” terhadap bentuk hukum yang wajib dipraktikkan umat Islam. Yang ada hanyalah nilai-nilai pokok universal dalam Islam sebagaimana juga ada dalam semua agama. Karena itu jika ingin menetapkan suatu hukum dalam soal muamalah di suatu masyarakat harus melalui jalan ijtihad tanpa perlu terikat pada sistem hukum yang baku dalam Alquran maupun Sunnah, sebab dalam hal ini tidak ada “Hukum Tuhan” dalam arti ma'na lafadznya secara mutlak dan permanen.

Dengan demikian diperlukan suatu instrumen lain untuk menjembataninya, yaitu suatu perangkat yang menyesuaikan antara ma'na teks dengan konteks yang selalu baru. Dalam hal inil Ushul Fiqhlah yang menjembatani anatara ketetapan-ketetapan al-Qur'an dan as-Sunnah dalam konteks Nash yang permanen dan prisipil dengan konteks sosial masyarakat yang selalu berubah-ubah dan bersipat Variable. Untuk itu dalam pembahasan Syariah muamalah kita kenal istilah Tsawabit wa Muthagoyirat (prinsip dan Variable). Dalam bidang ekonomi, misalanya yang merupakan prinsip adalah larangan riba, pengambilan keuntungan, pengenaan Zakat, dll. Sedangkan variable adalah instrumen untuk melaksanakan prinsip tersebut, misalanya murabahah, mudharabah dan lain-lain yang sesuai dengan perkembangan sosio kultural dan tuntutan zaman.
Walaupun pada dasarnya Ushul Fiqih merupakan kodivikasi kaidah-kaidah universal yang membantu untuk mengintisarikan pokok-pokok Syari'ah furuiyah, yang terambil dari dalil-dali nash secara ekplisit dan terperinci, namun dari sinilah sejatinya ilmu Fiqih terlahir sebagi produk instant dari Usuhul Fiqh.
Maka bentuk kekhawatiran para liberalis terhadap syariah, dimana mereka menuduh syariat sebagai perangkat Islam yang memiliki kejumudan tanpa membangun wacana kesepadanan antara teks dengan kontks rill sosial masyarakat yang terus maju dan berubah-ubah adalah tidak benar adanya. Begitu pula kekhawatiran mereka terhadap Bibliolatry meminjam istilah T.H. Huxley yang dikutip Ulil Absahar Abdala dalam sebuah tulisananuya Menghindari Bibliotary, tentang Pentingnya Menyegarkan kembali pemahaman Islam, yaitu sebuah kecenderungan umat terhadap Holy suprame dalam hal ini (al-Qur'an) dan al-Hadist, sebagai bentuk "penyembahan teks"—menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu"suprame", begitu tinggi, sehingga mengalahkan pengalaman rill kehidupan manusia yang multi tradisi dan sosio kultural adalah pernyataan yang sangat tidak logis dan tidak berdasar.
Demikian dengan Fiqih sebagai instrumen syari'ah, dalam perkembanganya telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang berisikan kodipikasi-kodipikasi syar'iah melalui berbagai kajian serta hasil ijtihad para ulama yang tentunya memiliki cakupan sangat luas, yaitu mencakup segala ilmu , termasuk di dalamnya akhlak, ibadah dan muamalah.
Diantara beberapa bahasan Ushulul Fiqh, Klasifikasi lafadz merupakan salah satu pembahsan yang cukup urgen, bahkan dapat disebut sebgai intisari bahasan. Untuk itu perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam lagi terkhusus dalam hal ini, karena pembahasanya sangat berkaitan erat dengan Istinbhatil Ahkam.
Setelah sedikit berapologi dan agar tidak keluar dari esensi bahasan, dalam pembahsaan kali ini kita masih berkutat pada Klasifikasi Lafadz, Jika kemarin menurut pemakaianya maka kali ini pengkalisifkasian menurut dilalahnya. Untuk lebih lanjut mari kita simak penguraian di bawah ini dimana penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan yang harus dikritisi, mudah-mudahan tidak merasa puas dengan makalah ini dan itu yang sejatinya penulis harapkan.
1.      Klasifikasi Dilalah Wadih
Ada persamaan kategori pengkalsisfikasian Wadihu Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu uhulul Fiqah karya Abdul wahab Khalaf, keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar 4. Muhkam. Penulis menyimpulkan bahwa keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengklsifikasikan dilalah menurut Qoidah Ushulul fiqh. Karena dalam kitab Nuhayat ass-Sul karya imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi yang bermadzhab Syafi'i, pengkalsifikasikan lafadz dalam kitab tersebut sangat dipengaruhi dengan kaidah ilmu manthiq.
Sebelum memebahas Dilalalah berikut kalsifikasinya secara lebih jauh, terlebih dahulu kita akan membahas Takwil sebagai perangkat penting sebelum membahas dan mentafsirkan bentuk lafadz-lafadz dalam ranah dilalah, walaupun penjabaranya hanya bersipat global hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang klasifikasi lafadz.

Kesimpulan Dilalah Wadih
Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, Mufassar dan Muhkam), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, aka tetapi ke-empatnya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang paling kuat dari ke-empat macam lafadz tersebut Karena ke-empatnya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah: Almuhkam, Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.

2.   Klasifikasi Dilalah Ghairu Wadih
Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih; Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafii, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai dengan kategorinya.

Pandangan Umum.
Kategori peng-klasifikasian tingkatan dilalah Ghairu Wadih berdasarkan kesamaran/ketersembunyian lafadz serta Ma'na yang terkandung di dalamnya. Apabila kesamaranya terdapat pada ma'nanya maka disebut: Khafa. Sedangkan apabila kesamaranya terdapat pada Lafadz terbagi kepada tiga bagian: pertama, apabila maksud atau ma'na dari lafadz tersebut masih dapat diketahui melalui akal disebut: Musykil, kedua, bila diketahuinya dengan dalil Naqli dan tidak dengan akal disebut: Mujmal, ketiga, apabila maksud lafad yang tersembunyi tidak bisa di ketahui dengan akal maupun dalil naqli disebut; Mutasyabih. Untuk emnegtahui dalil mutaysabih lebih lanjut akan penulis uraikan dibawah ini.

I. Khafa
Menurut terminologi para Ahli Ushul: Khafa adalah Suatu lafadz yang menunjukan ma'nanya secara jelas, akan tetapi terdapat beberapa hal yang samar pada sebagian tingkatan ma'nanya yang lain, sehingga membutuhkan penela'ahan dan pengkajian yang mendalam untuk mengetahuinya.
Contohnya: Lafadz {Assariqu} dalam ayat {wassariqu wa sarriqotu faktau' ayidiyahuma} , definisi Assariqu (mencuri) sangat jelas: yaitu merampas hak milik orang lain berupa harta Haraz dengan jalan sembunyi-sembunyi.

II. Musykil
Menurut para ahli Ushul, Musykil adalah: setiap lafad yang tersembunyi ma'nanya disebabkan bentuk asal lafadznya tersebut, oleh karenanya tidaklah mudah mengetahui ma'nanya kecuali dengan pengkajian dan perbandingan ma'na/maksud dengan perangkat lain secara seksama.
Contohnya: {wal muthalaqatu Yatarabbasna bi anfusihinna tsalasatu quruuin} , lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru'sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil. walupun Wahbah Zuhaili dlam kitabya merajihkan pendapat pertama. pada dasarnya keduanya memiliki alasan yang kuat namun penulis disini tidak bermaksud mencantumkanya semoga dapat ditemukan dalam diskusi nanti.

III. Mujmal
Para ahli ushul mendefinisikan Mujmal; setiap lafadz dimana sighohnya tidak menunjukan kepada ma'na asli lafadz tersebut tanpa ada pembanding atau konteks yang menjelaskannya, sehingga dengan kata lain sebab ke abstrakan ma'nanya dikarenakan lafadz bukan maksudnya.
Sebab-sebab dilalah Mujmal;
Pertama: al-Isytirak ma'a adamu al qorinah,
kedua: gharabtul isti'mal
ketiga: Annaqlu minal ma'na allughowi ilaa ma'na isthilahi.

Hukum Mujmal:
Penetapan ijtihad ma'na dilalah Mujmal terbatas hanya pada masa turunya wahyu sebab ma'nanya yang sangat mubham serta tidak ada sighah lafadz atau dalil lain sebagai pembanding untuk menjelaskan ma'nanaya, maka penafsiran ma'nanya langsung dari Nabi Saw., Tanpa memakai perangkat ijtihad.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, sedikitnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa klasisfikasi lafadz memiliki tempat yang sangat urgen dalam kaidah ushulul fiqh, hal ini dikarenakan keberadaanya yang menjadi titik vokal dalam pengambilan serta isthinbatul ahkam Ushul Fiqh. Perlu pengkajian lebih, dalam mene'laah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist terkhusus nash-nash hukum, karena setiap lafadz tidak serta merta menunjukan ma'na serta maksud dari konotasi lafadz tersebut, melainkan terdapat berbagai perangkat lain dalam menentukan ma'na serta maksdunya, diantar perangkat tersebut sebagaiaman telah di uraikan diatas; Takwil, Nasakh wal mansukh, Tarjih dll, yang semuanya terangkum dalam ranah ijtihad para ulama dan shalafu sholeh.

Epilog

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah S.W.T, termikasih kepada teman-teman serumah dan seperjuangan yang telah menyokong, membantu serta mengorbankan ketenangannya disaat proses penulisan makalah ini. Tanpa mengurangi rasa syukur, sudah seyogyanya kita sebagai "thalib" warisan para alim ulama agar tidak merasa puas dan cukup terhadap ilmu yang kita miliki, spirit kritis dan bertanya nampaknya masih sangat perlu dibangun, keduanya adalah instrumen istimewa pembuka wawasan pemecah kebekuan dan kejumudan. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu di kritisi dan diluruskan, kurang lebihnya penulis mohon maaf, mudah-mudahan menjadi bekal di masyarakat serta menjadi amal ibadah di sisi Allah.
Aminn










DAFTAR PUSTAKA

  • Karim, Syaf’ii, 1997, Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia
  • Syafe’i, Rachamt, 2007, “Ilmu Ushul Fiqih”. Bandung : CV Pustaka setia
  • As-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, t.t.
    Az-Zuhaili, Wahbah, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Ma’asir, Beirut, Libanon, 1416 H./ 1995 M.
  • A.Hanafi. 1961. Usul Fiqh. Jakarta. Wijaya.
  • Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta. Sabda media.
  • M. Umar, dkk. 1984. Fiqih-Ushul Fiqih-Mantiq. Jakarta. Departemen Agama RI.
  • Firdaus. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta. Zikrul
  • Syafe’i, Rachnat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. Pustaka Setia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar