Prolog
Syariat Islam sebagai syariat Nabi dan Rasul yang terakhir; Muhammad
Saw—, memiliki kesempurnaan sistem baik ditinjau dari aspek teks (al-Qur'an dan
al-Hadist) maupun dalam implementasinya dalam bentuk konteks sosial. Diantara
ciri khas sayariat Islam menurut DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., dalam
bukunya Islam Aplikatif, antara lain menyebutkan; kompherensif dan universal.
Kompherensif beraarti syariat Islam mecakup seluruh aspek kehidupan manusia,
baik ritual (ibadah Mahdloh) maupun sosial (muamalah temasuk sosio kultural,
ekonomi dan civil scoeity ), serta Universal menyangkut segala aspek kehidupan
demikian penerapanaya tanpa batas waktu dan tempat.
Namun menurut salah satu tokoh kiri Islam yang layak kita kritisi
dalam salah satu seminarnya mengemukakan; bahwa dalam persoalan muamalah tidak
ada ketentuan yang pasti di mana Allah menentukan “otoritas kebijakan yang
permanen” terhadap bentuk hukum yang wajib dipraktikkan umat Islam. Yang ada
hanyalah nilai-nilai pokok universal dalam Islam sebagaimana juga ada dalam
semua agama. Karena itu jika ingin menetapkan suatu hukum dalam soal muamalah
di suatu masyarakat harus melalui jalan ijtihad tanpa perlu terikat pada sistem
hukum yang baku dalam Alquran maupun Sunnah, sebab dalam hal ini tidak ada
“Hukum Tuhan” dalam arti ma'na lafadznya secara mutlak dan permanen.
Dengan demikian diperlukan suatu instrumen lain untuk
menjembataninya, yaitu suatu perangkat yang menyesuaikan antara ma'na teks
dengan konteks yang selalu baru. Dalam hal inil Ushul Fiqhlah yang menjembatani
anatara ketetapan-ketetapan al-Qur'an dan as-Sunnah dalam konteks Nash yang
permanen dan prisipil dengan konteks sosial masyarakat yang selalu berubah-ubah
dan bersipat Variable. Untuk itu dalam pembahasan Syariah muamalah kita kenal
istilah Tsawabit wa Muthagoyirat (prinsip dan Variable). Dalam bidang ekonomi, misalanya yang merupakan
prinsip adalah larangan riba, pengambilan keuntungan, pengenaan Zakat, dll.
Sedangkan variable adalah instrumen untuk melaksanakan prinsip tersebut,
misalanya murabahah, mudharabah dan lain-lain yang sesuai dengan perkembangan
sosio kultural dan tuntutan zaman.
Walaupun pada dasarnya Ushul Fiqih
merupakan kodivikasi kaidah-kaidah universal yang membantu untuk
mengintisarikan pokok-pokok Syari'ah furuiyah, yang terambil dari dalil-dali
nash secara ekplisit dan terperinci, namun dari sinilah sejatinya ilmu Fiqih
terlahir sebagi produk instant dari Usuhul Fiqh.
Maka bentuk kekhawatiran para liberalis
terhadap syariah, dimana mereka menuduh syariat sebagai perangkat Islam yang
memiliki kejumudan tanpa membangun wacana kesepadanan antara teks dengan kontks
rill sosial masyarakat yang terus maju dan berubah-ubah adalah tidak benar
adanya. Begitu pula kekhawatiran mereka terhadap Bibliolatry meminjam istilah
T.H. Huxley yang dikutip Ulil Absahar Abdala dalam sebuah tulisananuya
Menghindari Bibliotary, tentang Pentingnya Menyegarkan kembali pemahaman Islam,
yaitu sebuah kecenderungan umat terhadap Holy suprame dalam hal ini (al-Qur'an)
dan al-Hadist, sebagai bentuk "penyembahan teks"—menempatkan teks
dalam kedudukan yang begitu"suprame", begitu tinggi, sehingga
mengalahkan pengalaman rill kehidupan manusia yang multi tradisi dan sosio
kultural adalah pernyataan yang sangat tidak logis dan tidak berdasar.
Demikian dengan Fiqih sebagai instrumen
syari'ah, dalam perkembanganya telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang
berisikan kodipikasi-kodipikasi syar'iah melalui berbagai kajian serta hasil
ijtihad para ulama yang tentunya memiliki cakupan sangat luas, yaitu mencakup
segala ilmu , termasuk di dalamnya akhlak, ibadah dan muamalah.
Diantara beberapa bahasan Ushulul Fiqh,
Klasifikasi lafadz merupakan salah satu pembahsan yang cukup urgen, bahkan
dapat disebut sebgai intisari bahasan. Untuk itu perlu kiranya kita mengkaji
lebih dalam lagi terkhusus dalam hal ini, karena pembahasanya sangat berkaitan
erat dengan Istinbhatil Ahkam.
Setelah sedikit berapologi dan agar tidak
keluar dari esensi bahasan, dalam pembahsaan kali ini kita masih berkutat pada
Klasifikasi Lafadz, Jika kemarin menurut pemakaianya maka kali ini
pengkalisifkasian menurut dilalahnya. Untuk lebih lanjut mari kita simak
penguraian di bawah ini dimana penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dan
kesalahan yang harus dikritisi, mudah-mudahan tidak merasa puas dengan makalah
ini dan itu yang sejatinya penulis harapkan.
1.
Klasifikasi Dilalah Wadih
Ada persamaan kategori pengkalsisfikasian
Wadihu Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Ushulul fiqh al-Islami
dengan Ilmu uhulul Fiqah karya Abdul wahab Khalaf, keduanya mengklasifikasikan
Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar 4. Muhkam.
Penulis menyimpulkan bahwa keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam
mengklsifikasikan dilalah menurut Qoidah Ushulul fiqh. Karena dalam kitab
Nuhayat ass-Sul karya imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi yang bermadzhab
Syafi'i, pengkalsifikasikan lafadz dalam kitab tersebut sangat dipengaruhi
dengan kaidah ilmu manthiq.
Sebelum memebahas Dilalalah berikut
kalsifikasinya secara lebih jauh, terlebih dahulu kita akan membahas Takwil
sebagai perangkat penting sebelum membahas dan mentafsirkan bentuk
lafadz-lafadz dalam ranah dilalah, walaupun penjabaranya hanya bersipat global
hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang
klasifikasi lafadz.
Kesimpulan Dilalah Wadih
Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, Mufassar dan
Muhkam), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i
dan yakin, aka tetapi ke-empatnya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu;
ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum
terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus
memilih dilalah mana yang paling kuat dari ke-empat macam lafadz tersebut
Karena ke-empatnya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang
berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut
tingkatanya adalah: Almuhkam, Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.
2. Klasifikasi Dilalah Ghairu Wadih
Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah
Ghairu Wadih; Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut
melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui
perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih
terbagi kepada empat bagian: Khafii, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat
bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai
dengan kategorinya.
Pandangan Umum.
Kategori peng-klasifikasian tingkatan
dilalah Ghairu Wadih berdasarkan kesamaran/ketersembunyian lafadz serta Ma'na
yang terkandung di dalamnya. Apabila kesamaranya terdapat pada ma'nanya maka
disebut: Khafa. Sedangkan apabila kesamaranya terdapat pada Lafadz terbagi
kepada tiga bagian: pertama, apabila maksud atau ma'na dari lafadz tersebut
masih dapat diketahui melalui akal disebut: Musykil, kedua, bila diketahuinya
dengan dalil Naqli dan tidak dengan akal disebut: Mujmal, ketiga, apabila
maksud lafad yang tersembunyi tidak bisa di ketahui dengan akal maupun dalil
naqli disebut; Mutasyabih. Untuk emnegtahui dalil mutaysabih lebih lanjut akan
penulis uraikan dibawah ini.
I. Khafa
Menurut terminologi para Ahli Ushul: Khafa
adalah Suatu lafadz yang menunjukan ma'nanya secara jelas, akan tetapi terdapat
beberapa hal yang samar pada sebagian tingkatan ma'nanya yang lain, sehingga
membutuhkan penela'ahan dan pengkajian yang mendalam untuk mengetahuinya.
Contohnya: Lafadz {Assariqu} dalam ayat {wassariqu
wa sarriqotu faktau' ayidiyahuma} , definisi Assariqu (mencuri) sangat jelas:
yaitu merampas hak milik orang lain berupa harta Haraz dengan jalan
sembunyi-sembunyi.
II. Musykil
Menurut para ahli Ushul, Musykil adalah:
setiap lafad yang tersembunyi ma'nanya disebabkan bentuk asal lafadznya
tersebut, oleh karenanya tidaklah mudah mengetahui ma'nanya kecuali dengan
pengkajian dan perbandingan ma'na/maksud dengan perangkat lain secara seksama.
Contohnya: {wal muthalaqatu Yatarabbasna
bi anfusihinna tsalasatu quruuin} , lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi
batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci
atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan
Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru'sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam
Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil. walupun Wahbah Zuhaili dlam kitabya
merajihkan pendapat pertama. pada dasarnya keduanya memiliki alasan yang kuat
namun penulis disini tidak bermaksud mencantumkanya semoga dapat ditemukan dalam
diskusi nanti.
III. Mujmal
Para ahli ushul mendefinisikan Mujmal;
setiap lafadz dimana sighohnya tidak menunjukan kepada ma'na asli lafadz
tersebut tanpa ada pembanding atau konteks yang menjelaskannya, sehingga dengan
kata lain sebab ke abstrakan ma'nanya dikarenakan lafadz bukan maksudnya.
Sebab-sebab dilalah Mujmal;
Pertama: al-Isytirak ma'a adamu al qorinah,
kedua: gharabtul isti'mal
ketiga: Annaqlu minal ma'na allughowi ilaa ma'na
isthilahi.
Hukum Mujmal:
Penetapan ijtihad ma'na dilalah Mujmal terbatas
hanya pada masa turunya wahyu sebab ma'nanya yang sangat mubham serta tidak ada
sighah lafadz atau dalil lain sebagai pembanding untuk menjelaskan ma'nanaya,
maka penafsiran ma'nanya langsung dari Nabi Saw., Tanpa memakai perangkat
ijtihad.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, sedikitnya dapat kita
ambil kesimpulan bahwa klasisfikasi lafadz memiliki tempat yang sangat urgen
dalam kaidah ushulul fiqh, hal ini dikarenakan keberadaanya yang menjadi titik
vokal dalam pengambilan serta isthinbatul ahkam Ushul Fiqh. Perlu pengkajian
lebih, dalam mene'laah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist terkhusus nash-nash
hukum, karena setiap lafadz tidak serta merta menunjukan ma'na serta maksud
dari konotasi lafadz tersebut, melainkan terdapat berbagai perangkat lain dalam
menentukan ma'na serta maksdunya, diantar perangkat tersebut sebagaiaman telah
di uraikan diatas; Takwil, Nasakh wal mansukh, Tarjih dll, yang semuanya
terangkum dalam ranah ijtihad para ulama dan shalafu sholeh.
Epilog
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah S.W.T, termikasih kepada teman-teman serumah dan seperjuangan yang telah menyokong, membantu serta mengorbankan ketenangannya disaat proses penulisan makalah ini. Tanpa mengurangi rasa syukur, sudah seyogyanya kita sebagai "thalib" warisan para alim ulama agar tidak merasa puas dan cukup terhadap ilmu yang kita miliki, spirit kritis dan bertanya nampaknya masih sangat perlu dibangun, keduanya adalah instrumen istimewa pembuka wawasan pemecah kebekuan dan kejumudan. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu di kritisi dan diluruskan, kurang lebihnya penulis mohon maaf, mudah-mudahan menjadi bekal di masyarakat serta menjadi amal ibadah di sisi Allah. Aminn
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah S.W.T, termikasih kepada teman-teman serumah dan seperjuangan yang telah menyokong, membantu serta mengorbankan ketenangannya disaat proses penulisan makalah ini. Tanpa mengurangi rasa syukur, sudah seyogyanya kita sebagai "thalib" warisan para alim ulama agar tidak merasa puas dan cukup terhadap ilmu yang kita miliki, spirit kritis dan bertanya nampaknya masih sangat perlu dibangun, keduanya adalah instrumen istimewa pembuka wawasan pemecah kebekuan dan kejumudan. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu di kritisi dan diluruskan, kurang lebihnya penulis mohon maaf, mudah-mudahan menjadi bekal di masyarakat serta menjadi amal ibadah di sisi Allah. Aminn
DAFTAR PUSTAKA
- Karim, Syaf’ii, 1997, Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia
- Syafe’i, Rachamt, 2007, “Ilmu Ushul Fiqih”. Bandung : CV Pustaka setia
- As-Syaukani,
Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm
al-Usul, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, t.t.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Ma’asir, Beirut, Libanon, 1416 H./ 1995 M. - A.Hanafi. 1961. Usul Fiqh. Jakarta. Wijaya.
- Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta. Sabda media.
- M. Umar, dkk. 1984. Fiqih-Ushul Fiqih-Mantiq. Jakarta. Departemen Agama RI.
- Firdaus. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta. Zikrul
- Syafe’i, Rachnat. 1999. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung.
Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar