"Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al-Hujuraat: 12).
Mbah Rinah, nenek berusia 81 tahun, baru saja
meninggal dunia. Ia dikubur di desa Mojotengah, Kemangkon, Purbalingga.
Tiba-tiba warga setempat geger. Belum sampai 24 jam dikubur, mayat mbah Rinah
raib. Terang saja insiden ini melahirkan spekulasi mitos yang tidak karu-karuan.
Teka-teki berakhir ketika polisi menangkap Sumanto, sang pencuri mayat.
Mula-mula Sumanto menggali kuburan dengan tangan kosong pada Sabtu,
(11/1/2003). Pada Ahad dini hari, kain kafan pembungkus mayat baru berhasil
disentuh. Mayat mbah Rinah dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam karung plastik.
Mayat diangkut ke rumah Sumanto dengan sepeda onthel. Sesampainya di rumah,
Sumanto memotong alat vital nenek itu dan membungkusnya dengan kain merah.
Selanjutnya ia memotong-motong mayat seperti memotong daging kambing. Sebagian
dagingnya dibakar, sebagian digulai, dan sebagian dimakan mentah-mentah.
Begitulah Sumanto, sang kanibal dari Purbalingga yang belakangan mencuat. Untuk
ilusi mendapatkan kekebalan dan kekayaan, ia tega melakukan ritual menjijikkan
itu. Gilanya, ia bahkan mengaku telah memakan daging tiga manusia sebelumnya.
Tak terbayang oleh akal sehat. Sebagian warga
menduga ia tidak waras. Adalah warga setempat berteriak histeris dan merasa
jijik saat Sumanto melakukan rekonstruksi. "Ini tidak lazim," kata
mereka. Rapat desa juga memutuskan hendak mengasingkan Sumanto dari kampung
mereka. Reaksi warga setempat tidaklah berlebihan. Siapa pun, dari bangsa mana
pun, dari agama apa pun, berkulit apa pun, sulit membenarkan aksi Sumanto. Tak
ada yang berkeberatan jika ia dikatakan gila segila-gilanya. Juga tak ada yang
rugi jika ia harus diasingkan. Tak ada yang sudi berkawan dan bertetangga
dengan orang semacam dia. Itulah mengapa warga setempat mengasingkannya, dan
meminta kepada aparat agar ia dihukum seberat-beratnya.
Jika kita ditanya, "Maukah kalian meniru Sumanto?" Secara koor kita akan menjawab, "Tidak!" Ei, tapi tunggu dulu. Jawaban itu bukan berarti kita tidak berperilaku seperti Sumanto. Kok bisa? Ya, di dalam Alquran, Allah menyerupakan perbuatan menggunjing terhadap muslim (ghibah) dengan memakan bangkai manusia. Persis seperti yang dilakukan Sumanto.
Jika kita ditanya, "Maukah kalian meniru Sumanto?" Secara koor kita akan menjawab, "Tidak!" Ei, tapi tunggu dulu. Jawaban itu bukan berarti kita tidak berperilaku seperti Sumanto. Kok bisa? Ya, di dalam Alquran, Allah menyerupakan perbuatan menggunjing terhadap muslim (ghibah) dengan memakan bangkai manusia. Persis seperti yang dilakukan Sumanto.
"Janganlah
sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya."
Setiap orang waras akan merasa jijik memakan bangkai
manusia, terlebih bangkai saudara sesama muslim. Namun demikian, di dalam
masyarakat gunjing-menggunjing antarsesama sudah seperti lumrah. Padahal, dalam
ayat di atas, menggunjing orang lain disetarakan dengan memakan bangkai
manusia.
Ibnu Katsir menceritakan dari Anas bin Malik bahwa
adalah tradisi bangsa Arab bila bepergian mereka saling melayani. Dalam sebuah
safar, Abu Bakar dan Umar disertai
seorang pelayan. Saat keduanya terjaga dari tidur,
sang pelayan belum menyediakan untuk mereka makanan. Beliau berdua berkata,
"Sungguh ia orang mati (kiasan)," kemudian kedua membangunkannya dan
menyeru, "Datanglah kepada Rasulullah dan sampaikan bahwa Abu Bakar dan
Umar mengirimkan salam, serta meminta lauk." Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya keduanya telah memakan
lauk." [Kontan, Abu Bakar dan Umar kaget], keduanya menghadap
Rasulullah dan bertanya, "Dengan lauk apa kami makan?" Rasulullah
menjawab, "Dengan daging saudara kalian.
Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya melihat dagingnya berada di
antara gigi seri kalian." Keduanya ra lalu berkata, "Mintakan
ampun untuk kami wahai Rasulullah!" Rasulullah menjawab, "Pergilah kepadanya dan mintalah maaf
untuk kalian."
Tentu kita tidak seperti Rasulullah di atas, yang
atas karunia Allah dapat melihat daging pada gigi seri bekas menggunjing.
Namun, meski secara hissy (materiil)
kita tidak dapat melihat, ayat di atas menegaskan bahwa secara maknawi,
perilaku ghibah diserupakan dengan
memakan daging manusia.
Lantas apakah ghibah
itu? Rasululullah pernah menjawab kepada Abu Hurairah, "Ghibah itu adalah membicarakan tentang saudaramu terhadap apa
yang ia tidak sukai." "Bagaimana jika padanya terdapat seperti
apa yang saya katakan?" tanya Abu Hurairah. "Jika ada padanya seperti yang anda katakan, maka engkau telah
menggunjingnya (ghibah). Namun, jika tidak ada padanya seperti yang anda
katakan, maka engkau telah membuat kebohongan atas dia." (Tirmizi,
hasan sahih)
Suatu ketika Aisyah ra berkata kepada Nabi saw,
"Cukuplah bagimu tentang Shafiyah itu begini dan begini." (Maksudnya
Shafiyah itu badannya pendek).
Maka Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, engkau telah mengucapkan sesuatu perkataan, yang
sekiranya dicampur dengan air laut, maka perkataan itu dapat
mencampurinya." (Abu Dawud dan Tirmidzi). Maksudnya, sekiranya
perkataan itu bercampur dengan air laut, niscaya air laut tersebut berbau busuk
semua. Padahal, air laut itu tidak akan busuk lantaran kadar garamnya banyak.
Ini menunjukkan betapa dahsyat keburukan ghibah.
Al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Adzkar, "Adapun ghibah
adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja
apakah menyangkut tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya,
hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya,
pakaiannya, cara jalannya, gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang
selainnya dari perkara yang menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah
engkau menyebut tentang orang tersebut dengan bibirmu, atau tulisanmu, isyarat
matamu, isyarat tanganmu, isyarat kepalamu atau yang semisalnya...."
Demikianlah ghibah.
Ia dapat meruntuhkan kehormatan seseorang yang digunjing. Karena, kehormatan
tidak hanya aurat, tetapi kehormatan juga berupa celaan atau pujian. Ketika
kita menggunjing seseorang, hakikatnya kita telah menggerogoti kehormatannya.
Padahal, menjaga kehormatan sesama termasuk inti wasiat Rasulullah dalam khutbatul wada': "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan
kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti halnya keharaman hari kalian
ini." Tidak hanya itu, diakhir khotbah Rasulullah menegaskan, "Ingatlah, adakah aku sampaikan?"
"Ya," jawab para Sahabat. Beliau kemudian berkata, "Ya Allah, saksikanlah!" (Bukhari
dan Muslim).
Jangan dikira bahwa keharaman zina dan riba lebih
besar daripada keharaman menginjak-nginjak harga diri dan kehormatan seorang
muslim. Dalam sebuah hadis sahih dinyatakan, "Riba itu ada tujuh lebih
cabangnya. Yang paling rendah tingkatannya ialah seperti seorang laki-laki yang
berzina (menikahi) dengan ibunya sendiri dibawah tirai Kakbah. Sedangkan yang
paling tinggi tingkatannya ialah seperti seorang muslim yang mencemarkan harga
diri saudaranya muslim." (Al-Albany, al-Jami'us
Shaghir).
Bukan berarti setiap menyebut aib sesama dilarang.
Dalam konteks tertentu, penyebutan aib seseorang dapat dibenarkan, seperti
disebutkan Imam Nawawi dalam Riyadhus
Shalihin, misalnya mengadukan kezaliman seseorang pada pihak berwenang
dalam rangka meminta fatwa (istifta'),
dalam rangka jarh wat-ta'diel, dalam
rangka musyawarah mencari jodoh, menyebut kejelakan orang yang terang-terangan
berbuat maksiyat, dan menyebut seseorang dengan gelaran yang ia masyhur
dengannya.
Jika Sumanto Purbalingga yang suka makan tubuh orang
tengah menghadapi proses hukum, "Sumanto" dalam makna lain tangah
bergentayangan di tengah kita. Semoga kita dapat menjaga lisan dari menggunjing
sesama, sehingga tidak masuk dalam kafilah "Sumanto". Nastaghfirullah al-adhim. Wallahu a'lam bish-shawab.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar