Kata Pengantar
Risalah kecil ini disusun oleh tiga lembaga di bawah
naungan Nahdlatul Ulama yaitu LAKPESDAM, Lembaga Bahtsul Masail dan Rabithah
Maahidil Islam Kota Malang dalam rangka Harlah NU ke-82.
Diantara kegiatan-kegiatan yang diadakan pengurus NU
Kota Malang, PC NU Kota Malang berupaya menerbitkan risalah ini agar dijadikan
pegangan dan bekal bagi para jamaahnya.
Risalah ini memuat berbagai dalil amaliah yang selama
ini sudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan social sehari-hari. Para Ulama
dahulu dengan segala kearifannya, lebih menekankan amal dari ilmu dari setiap
amaliah sehari-hari. Ketika zaman telah berubah dimana gempuran kaum wahabi
bertubi-tubi dari berbagai penjuru, mereka meracuni nahdliyin dengan berbagai pernyataan
bahwa setiap amaliah yang telah dilakukan orang NU tidak berdasar dan bid’ah.
Bahkan di daerah Jawa Tengah kelompok Wahabi dengan menggunakan baju Majelis
Qiraah al Quran, membayar beberapa stasiun radio agar mempropagandakan bahwa
amaliyah NU itu sesat dan bid’ah setiap pagi dan sore.
Apa yang dilakukan PCNU Kota Malang ini harus disambut
baik, ditindaklanjuti dan disebarluaskan ke berbagai kalangan Nahdliyin agar
mereka tidak goyah dengan amaliyahnya sehari-hari.
Untuk mempermudah cara baca, sengaja risalah ini dibuat
dengan sistem tanya jawab.
I. TAHLIL DAN DZIKIR
JAMAAH,BAGAIMANA HUKUMNYA TAHLIL?
Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu
sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah
yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung,
kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa
Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat,
ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih
ditanyakan hukumnya?
Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana
dilakukan jamaah NU?
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ
وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka…
Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang
biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah
"(Yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya
Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191)
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan
dzikir berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) jama' (plural) yaitu
yadzkuruna. Menurut kyai NU jama' berarti banyak dan banyak artinya
bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar,
karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama' harus dipahami
bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis,
penulis makalah "Adz-Dzikr al-Jama'i baina al-Ittiba' wal ibtida' (telah
dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama'
dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh
kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata'ala tanpa
kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.
Selain itu jika sighat (konteks) jama' dalam ayat
tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau
bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat
tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman),
duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir
bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir
berjama'ah dengan cara seperti ini? Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini
turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada
di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu
suara?
Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama' itu tidak
selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama' itu tidak
mungkin dimaknakan bersama-sama?
Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw
dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit)
Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan
ucapan:
"HAAMIIIM LAA
YUNSHARUUN.." (lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq).
Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku
sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua.
Karena ia adalah Tabi'in. Sehingga
akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat
membangun saat membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil
bersenandung:
"Laa 'Iesy illa
'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah"
Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera
mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:
"Laa 'Iesy illa
'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah ..." (Sirah Ibn
Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif hal 116)
Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian
diriwayatkan dalam shahihain. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan)
dan berbaring ('ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah
shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan
tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn Katsir mengutip hadits Nabi
riwayat Bukhari:
عن عِمْران بن حُصَين، رضي
الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "صَلِّ قائما، فإن لم تستطع
فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم
بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم
Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada
bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir
secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah
sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir berjamaah dengan tidur
semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu?
Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat
berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak
lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.
Sahabat Rasul radhiyallahu'anhum mengadakan shalat
tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun
shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu
menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran
ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan
dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka
masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini.
Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama' dengan
arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar
hadits dan ayat al Quran yang mana?
Kita Ahlussunnah waljama'ah berdoa, berdzikir, dengan
sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana
Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :
إِنْ ذَكَرَنِي فِي
نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي
مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ
:Bila ia (hambaKu) menyebut
namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut
namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka
dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim)”.
Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk
menyaingi panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan
dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA
manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati
sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di
rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,
Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama
Allah Yang Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak
boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir
berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي
الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ
اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ
إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ
مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ
وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ
رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ
وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ
عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا
قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ
وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ
يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ
رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ
فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ
قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا
رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا
كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ
فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ
الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ
هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى
Sabda Rasulullah saw:
"Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan
menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka
berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia,
bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit,
dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : "darimana
kalian?" mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa
padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada
Mu, dan meminta kepada Mu,
Maka Allah bertanya: "Apa
yg mereka minta", Malaikat berkata:
mereka meminta sorga, Allah berkata: apakah
mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: "Bagaimana
bila mereka melihatnya". Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata: "mereka meminta perlindungan dari apa?" Malaikat berkata:
"dari Api neraka", Allah
berkata: "apakah mereka telah
melihat nerakaku?" Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: Bagaimana
kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata: "sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan
sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya,
malaikat berkata: "wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba
pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: baginya
pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan
siapa siapa yg duduk bersama mereka.
II. BERDZIKIR, BERDOA DAN
BERSEDEKAH UNTUK MAYAT
II.a. Bagaimanakah hukum
berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa erupakah inti dari
ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh seorang mukmin itu ada
doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan pedang bagi
seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir untuk orang yang sudah
mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan
Anshar), mereka berdoa, "Ya Tuhan
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
daripada kami." (QS. Al-Hasyr)
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat
pernah berdoa untu saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal
dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak melarangnya.
Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga
disebutkan dalam ayat:
"Dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan."
(QS. Muhammad: 19)
Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan
secara terang-terangan supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur'an untuk
orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut:
Dari Mu'aqqol ibn Yassar
ra.: "barang siapa membaca surat yasin
karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka
bacakanlah surat
yasin bagi orang yang mati diantar kamu." (Al-Baihaqi, Jami'us Shogir: bab
Syu'abul Iman, Vol. 2, hal. 178, termasuk hadits shohih.)
Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga
menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas
dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia. Dari Utsman
bin Affan ra, dia berkata:
"Ketika Rasulullah
selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam diri atas mayit, lalu bersabda,
"mohon ampunlah kalian semua kepada Allah SWT.untuk saudaramu. Dan
mohonlah ketetapan untuk mayit sesungguhnya saat ini dia sedang diberi
pertanyaan." (HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu
Daud, Bulughul Maram: 115/604)
III. BAGAIMANA HUKUM
BERSEDEKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA?
Dalam islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat
dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur'an
digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri orang yang bertaqwa.
Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam kategori bertaqwa (muttaqin) manakala ia tidak mau
menyisihkan sebagian hartanya untk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah
befirman:
"Dan bersegeralah kamu
kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali- Imron: 133-134)
Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah.
Oranng yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materil maupun
spiritual. Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah
untuk dilipatgandakan. Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan
mendapatkan pahala berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh
ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara
tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang
dzalim.
"Apa saja yang kamu
nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu
tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. A-Anfal : 60).
Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih
hidup. Tetapi sedekah juga dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal
dunia. Rasulullah pernah SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk
keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada
rasulullah SAW. "Sesungguhnya ibuku
telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah.
Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?". Rasulullah SAW.
Bersabda,"ya". (Muttafaqu ‘alaih)
Perintah rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan
dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai
amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah
meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang
bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh
rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:
'Tatkala manusia meninggal
maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu
yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya." (HR.
Muslim).
IV. APA HUKUM TALQIN
(PENGAJARAN) KEPADA MAYIT?
Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada perbedaan
pendapat mengenai talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah) kepada
orang yang sedang sekarat, berdasarkan hadits:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ
بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
"Hendaklah kamu semua
mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian degan kalimat Laa ilaaha illa
Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)"
Adapun mengajari (talqin) orang yang baru dikuburkan
menurut ulama madzhab Syafi'i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan sebagian
ulama madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat At-Tabrani:
"Dari Abu Umamah ra.,
"Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah
diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu
berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan
nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab.
Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan
lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga
Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah "ingatlah apa yang kamu pertahankan
saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah
sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan Al-Qur'an
sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan
tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan
kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat
munkar dan akir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana
jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu
Hawa. (HR. At-Thabrani)
Hadits tersebut marfu', sekalipun dhoif, tetapi hadits
ini boleh diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a'mal) dan untuk
mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah SWT:
"Dan tetaplah memberi
peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman." (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh
setiap hamba adalah ketika baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam
fatwa-fatwanya menjelaskan, sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut diatas
benar-benar dari sekelompok sahabat Nabi SAW.bahwa mereka menganjurkan talqin.
Diatara mereka adalah Abu Umamah ra. Imam ibnu Taikiyah berkata,
"Hadits-hadits yang menerangkan bahwa orang yang dalam kubur itu ditanya
dan diuji dan perlu di doakan adalah sngat kuat. Oleh sebab itu talqin berguna
baginya, sebab mayat itu dapat mendengar seruan, sebagaimana disebutkan dalam
hadits yang shohih:
"Sesungguhnya Nabi
SAW. Bersabda: "Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan
sandal-sandal kamu semua."
Sementara itu, dalam hadits yang lain disebutkan:"Sesungguhnya beliau bersabda:
"kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan daripada
mereka."
V. TAWASUL
V.a. Apa arti tawasul
dengan walinya Allah?
Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya menjadikan para
kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam mencapai hajat,
karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai
keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang dijadikan
oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat. Pada
hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta hajatnya dikabulkan kecuali
kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang maha memberi dan
Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Ia menuju kepada Allah SWT.dan orang-orang
yang dicintai Allah SWT, karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima
doa mereka dan syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah SWT,mencintai orang-orang
yang baik dan orang-orang yang bertaqwa. Dalam hadits qudsi disebutkan:Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan
diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila
Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan
penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatanny yang ia
melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon
kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta perlindungan, maka Aku berinya
perlindungan." (HR. Imam al-Bukhori).
VI. APA HUKUM TAWASUL
DENGAN ORANG-ORANG YANG DIKASIHI OLEH
ALLAH?
Tawasul dengan orang-orang yang dicintai Allah, seperti
nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan ijma' ulama' kaum
muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang diridloi. Tawasul
itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.
Bagaimana halnya dengan orang yang beranggapan bahwa
tawasul itu adalah syirik dan kufur, serta pelakunya adalah musyrik dan kafir?
Tidak dapat diteladani orang yang nyleneh dan berpisah
dari jama'ah yang beranggapan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau haram,
lalu menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar dan
batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa sebagian
umat Islam telah membuat kesepakatan (ijma') atas perkara yang haram atau
kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat Muhammad ini telah
mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat,
berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti hadits:
"Saya memohon kapada Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan
umatku atas perkara sesat, dan Dia mengabulkan permohonanku itu." (HR.
Ahmad dan at-Thabrani).
"Allah tidak
menghimpunkan umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya."
(HR.Imam al-Hakim).
"Apa yang diyakini
baik oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik."
VII. APAKAH ADA DALIL
AL-QUR'AN TENTANG TAWASUL?
Ya, ada. Adapun ayat al-Qur'an yang menunjukkan
dibolehkan tawasul adalah ayat: "Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya." (QS. Al-Maidah: 35)
Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari
wasilah (perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah
sebagai sebab untuk mendekatkan kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya hajat
dari-Nya.
VIII. APAKAH TAWASUL ITU
TERBATAS PADA AMAL PERBUATAN SAJA, TIDAK PADA BENDA (DZAT)?
Tidak, karena ayat Al-Qur'an tersebut umum (‘amm)
meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang
mulia, seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.
Adapun orang yang berpendapat boleh tawasul dengan amal
perbuatan saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak boleh, dan ia
membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan amal perbuatan),
maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah mutlak. Bahkan
membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu lebih mendekati,
sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan mencari wasilah, sedang arti
taqwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Apabila kata
"Ibtighoul wasilah" (mencari wasilah) kita artikan dengan amal-amal
sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya sekedar pengulangan dan
pengukuhan. Tetapi jika lafad "al-Wasilah" ditafsirkan dzat-dzat yang
ulia, maka ia berarti yang asal, dan akna inilah yang lebih diutamakan dan
lebih didahulukan. Disamping itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal
perbuatan baik, padahal amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan,
maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat
ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan ma'rifat dzat-dzat itu kepada Allah
SWT, allah SWT.berfirman:
(QS. An-Nisa' : 64).
Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya
RAsulullah sebagai wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah "Jaa-uuka"
(mereka dating kepadamu) dan "Wastaghfaro lahumurrosuulu" (dan Rasul
memohokan ampun untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa kalimat
"Jaa-uuka".
Apakah tawasul itu dibolehkan secara umum, baik dengan
orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?
Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat tersebut juga
umum ('amm), ketika beliau masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat.
Telah dipastikan, bahwa para nabi dan para wali itu
hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT. Barangsiapa
tawasul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada
Allah dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian, maka yang
dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan lain-Nya.
Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama'ah tidak meyakini adanya
kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali milik Allah Yang Maha Esa
dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi dan para wali tidak memiliki kekuasaan
apapun. Mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena kedudukan
mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah, karena merekalah
Allah memberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan
antara mereka yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Yang
kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut hakekatnya adalah Allah, bukan mereaka
yang hidup atau yang mati.
Adapun orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang
telah meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa orang-orang yang
masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang lain sedangkan
orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil, sebab Allah-lah
pencipta segala sesuatu.
APA TAWASUL DENGAN
ORANG-ORANG YANG TELAH MENINGGAL ITU DIPERBOLEHKAN?
Dalilnya sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya jikalau
mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Ayat di atas adalah umum ('amm) mencakup pengertian
ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam
barzakh. Imam ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul ma'ad menyebutkan:
عن أبي سعيد الخضريّ قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم
إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا
أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت
اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه
لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله
عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.
"Dari Abu Sa'id
al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: "seseorang dari rumahnya
hendak sholat dan membaca do'a:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ
السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك
وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب
إلاّ أنت
Kecuali Allah menugaskan
70.000 malaikat agar memohokan ampun untk oran tersebut, dan Allah menatap
orang itu hingga selesai sholat". (HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu
Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan
shalat adalah:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ
السائلين....إلخ
Para ulama; berkata, "ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup
atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan
mebaca do'a ini. Dansemua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a
ini ketika hendak pegi sholat."
Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan
Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata:"ketika Fatimah
binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW
berbaring diatas kuburannya dan bersabda:
"Allah adalah Dzat
yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah
ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan
lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul
sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang."
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi:
بحقّ الأنبياء قبلي
"Dengan hak para nabi
sebelumku".
Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu
boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak
dengan Nabi SAW?
Para ulama'
telah menjelaskan hal ini juga, mereka berkata:
"Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah
dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar
bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan
kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa.
Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk
memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
APA DALILNYA?
Dalilnya adalah perbuatan para sahabat. Mereka selalu
dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.
Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi
Syaibah dengan sanad yang shohih:
"Sesungguhnya
orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena
kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra dating ke kuburan Rasulullah
SAW dan berkata: "Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena
mereka telah binasa." Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh
Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku
kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan.
Bilal lalu dating kepada kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar
menangis dan orang-orang dituruni hujan."
Di mana letak penggunaan dalil hadits tersebut?Letak penggunaan
dalil dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin Al-Harits, seorang sahabat
Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar maupun sahabat-sahabat Nabi
lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah hadits:
إن أهل المدينة قحطوا قحطا
شديدا فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها فقالت انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه
وسلّم فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا
مطرا شديدا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة
"Sesungguhnya penduduk
Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu
kepada Aisyah ra dan ia berkata: "lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW
lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara
kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka
melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras,
hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk."
Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik dengan amal
perbuatan yang baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh, baik yang masih
hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah berlaku sebelum
Nabi Muhammad diciptakan.
APA DALIL BAHWA TAWASUL
TERJADI SEBELUM NABI MUHAMMAD SAW DICIPTAKAN?
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob:
"Ketika Nabi Adam
terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata,
"Hai Tuhanku, aku
memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni
kesalahanku."
Allah berfirman: "Bagaimana kamu mengetahui
Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?"
Nabi Adam berkata: "Hai Tuhanku, karena Engkau
ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku
kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah.
Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU,
kecuali makhluk yang paling Engkau cintai."
Kemudian Allah berfirman: "Benar engkau hai adam.
Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku
dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad
maka Aku tidak menciptakanmu." (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula tawasul dengan
Nabi Muhammad SAW.
Imam Malik telah memberi anjuran tawasul kepada Khalifah
al-Mansur, yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid
Nabawi:Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo'a atau menghadap Nabi
SAW?"
Imam Malik berkata kepada kholifah, "Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari
beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as.kepada
Allah SWT. Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah
akan memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta."
Allah befirman:"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika
Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli ‘Iyadl dalam kitab
as-Syifa'.
BAGAIMANA CARA TAWASUL?
Para ulama telah menerangkan, bahwa tawasul dengan dzat-dzat yang mulia,
seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka.
Contoh:
اللهم إني أسألك بنبيك محمد
أو بحقه عليك أو أتوجّه به إليك في كذا....
"Ya Allah, saya
memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu
atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk..."
Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada
Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
"Ya Rasulullah,
mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau..."
Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang
dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi
permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dank arena doanya
pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.Tiga macam cara tawasul
ini semua berdasarkan nash-nash yang shahih dan dalil-dalil yang jelas. Apa
dalil tawasul dengan cara yang pertama?
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW
antara lain:
"Dari Autsman bin Hunaif ra:Sesungguhnya seorang laki-laki tuna
netra datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasululah, berdo'alah kepada
Allah agar menyembuhkan saya."
Beliau bersabda, "Jika engkau mau, berdoalah. Dan
jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik
untuk kamu."
Laki-laki itu berkata: "berdo'alah untuk saya,
karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan (merepotkan)ku."
Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar
berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa
itu adalah: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap
kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad,
sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku
ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam
urusanku."
Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan
Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat."
Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak berdoa sendiri
untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara
berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta
bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan
tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.
Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits
tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk
umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman
rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan
dalam ilmu ushul.
APA DALIL TAWASUL DENGAN
CARA KEDUA?
Dalilnya banyak, diantaranya:"Dari Anas ra.ia
berkata:Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang
laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung menghadap kepda Nabi SAW seraya
berteriak:
"Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah
putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami.
Rasulullah SAW.lalu mengangkat tangan dan berdo'a,
"Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. Anas berkata:
"Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan
begitu juga hari berikutnya.
Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan
berkata: "Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus.
"Kemudian Beliau berdoa: "Allah, turunkanlah hujan disekitar kita
bukan diatas kita," kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di
bawah sinar matahari.
Di dalam hadits yang shahih ini ada petunjuk atau dalil,
bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara
langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai
Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya.
Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya
masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa
layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui
orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga kedudukan dan
kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena
hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa kecuali
ta'at kepada-Nya.
APA DALIL TAWASUL YANG
KETIGA?
Dalilnya banyak antara lain:Dari Rabi'ah bin Malik al-Aslami ra.ia
berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: "Mintalah apa saja yang kamu
inginkan." Saya berkata: "Saya memohon kepada-Mu dapat bersama-Mu di
surga." Beliau bersabda: "Selain itu?" Saya berkata: "Hanya
itu." Kemudian beliau bersabda: "Bantulah saya untuk memenuhi
keinginanmu dengan memperbanyak sujud." (HR. Imam Muslim).
أن قتادة نعمان أصيب بسهم في
عينه عند يوم أحد فسالت على خدّه فجاء إلى رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره
بين الصبر وبين أن يدعو له فاختار الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى
موضعها فعادت كما كانت
Sesungguhnya Qotadah bin Nu'man pada waktu perang Uhud matanta
terkena panah sampai keluar ke pipinya, lalu dating kepada Nabi SAW dan
berkata: "mataku Ya Rasulullah." Beliau memberinya pilihan antara
sabar dengan sakit pada matanya itu dan beliau berdoa untuk kesembuhannya.
Qotadah memilih agar Rasulullah menyembuhkannya melalui doa. Kemudian beliau
mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula dengan mata beliau yang mulia
sehingga kembali normal seperti semula."
ZIARAH KUBUR
Apa hukum ziarah kubur?Ziarah ke kuburan untuk orang
laki-laki sunnah hukumnya. Sebelumnya, yaitu pada permulaan islam ziarah ke
kubur memang dilarang. Lalu hukum larangan ini dinasakh dengan sabda Nabi SAW
dan perbuatannya.
Ada
beberapa hadits berkaitan dengan ziarah kuburan, antara lain:
"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka
(sekarang) berziarahlah ke kuburan)." (HR. imam Muslim)
"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka
(sekarang) berziarahlah ke kuburan, sebab ziarah kubur itu dapat melunakkan
hati, mencucurkan air mata dan mengingatkan akhirat."
Para ulama menjelaskan bahwa ziarah ke kuburan itu termasuk hal yang
biasa dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat beliau juga melakukannya. Semasa
beliau belum wafat, Nabi SAW juga mengajarkan kepada sahabatnya tata cara
ziarah kubur, ntuk mengingat dan mengambil pelajaran. Sampai saat ini ziarah
kubur itu masih berlaku di berbagai daerah, kota dan pedesaan.
APA HUKUM ZIARAH KUBUR
BAGI KAUM WANITA?
Lama menerangkan, bahwa ziarah kubur bagi wanita itu
makaruh hukumya, karena dikhawatirkan jiwanya selau sedih, mengingat kaum
wanita gampang susah dan jarang yang bias menahan sabar terhadap musibah,
terkecuali ziarah ke kuburan para wali, orang-orang sholeh dan lama. Mereka
tetap disunahkan untuk mendapatkan barokah. Sebagian ulama membolehkan kaum wanita
berziarah ke kubur secara mutlak, berdasarkan hadits Nabi SAW:
أنه صلى الله عليه وسلّم
رأى امرأة بمقبرة تبكي على قبر ابنها فقال لها اتقى الله واصبري
"Sesungguhnya Nabi SAW melihat seorang wanita di atas kuburan
dengan menangis diatas kuburan anaknya, kemudian beliau bersabda kepadanya:
"Takutlah kepada Allah dan bersabarlah". HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits di atas, Rasulullah menyuruh wanita agar
bersabar dan tidak mengingkarinya ziarah kubur.
السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين
منّا والمستأخرين وإنّا إن شاء الله بكم لاحقون
"Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan Aisyah do'a ketika berziarah
ke kuburan beliau bersabda: "ucapkan:Bagaimana halnya dengan sabda Nabi
SAW Allah melaknat wanita wanta peziarah kubur?
Menurut ulama ahli tahqiq, hadits tersebut ditakwil,
jika ziarah wanita-wanita itu untuk meratapi dan menangisi yang meninggal,
seperti yang berlaku di masyarakat jahiliyah, maka ziarah kubur seperti itu
jelas haram berdasarkan ijma'. Apabila bersih dari hal-hal tersebut maka tidak
diharamkan dan tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut.
Apa hukum melakukan perjalanan ziarah ke makan
Rasulullah SAW, makam para Nabi dan para wali?Ziarah ke makam Rasulullah SAW,
merupakan salah satu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Demikian juga perjalanan menuju ke tempat beliau dan juga ke tempat-tempat para
Nabi, para wali dan para syuhada' untuk mendapatkan barokah dari Allah dan
mengambil I'tibar. Perjalanan seperti itu hukumnya mustahab dan banyak
faedahnya. Yang terpenting adalah harus dapat menjaga adab (tata cara) menurut
syari'at.
APA DALIL KESUNAHAN
PERJALANAN ZIARAH ITU?
Dalilnya adalah firman Allah SWT: "Sesungguhnya Jikalau mereka
ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).
Dalam hadits pun telah dijelaskan, bahwa Nabi SAW tetap
hidup di dalam kuburannya. Dengan demikian, berarti ziarah kepada beliau
sesudah wafat seperti ziarah kepada beliau saat hidup. Dasarnya adalah hadits:
من حجّ فزار قبري بعد وفاتى
فكأنما زارني في حياتي
"Barangsiapa menunaiakan ibadah ahji, lalu ziarah ke kuburku
sesudah aku wafat, maka ia seperti ziarah kepadaku sewaktu aku dalam keadaan
hidup." (HR. Thabrani).
"Barangsiapa menunaikan ibadah haji dan enggan berziarah
kepadaku, ia benar-benar jauh."
AL-QUR'AN DAN SHALAT
Salah satu bentuk pengagungan al-qur'an adalah larangan
menyentuhnya apabila tidak suci (hadats). Apakah dalil para ulama' terhadap
hukum ini?
Larangan berasal dari firman Allah SWT:"Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Yamg
diturunkan dari Tuhan semesta alam." (QS. Al-Waqi'ah: 79-80).
Atas dasar ini para ulama menyatakan bahwa haram
hukumnya menyentuh Al-Qur'an bila tidak punya wudlu.
Syaikh Zainudddin al-Malibari menyatakan: "Haram sebab hadats kecil, melakukan
sholat, thawaf, sujud (yakni sujud tilawah dan sujud syukur), membawa mushaf
dan menyentuh kertas yang ditulisi ayat al-Qur'an, walaupun hanya sebagian
ayat." (fath al-Mu'in, hal 10).
APAKAH MENYENTUH LAIN
JENIS DAPAT MEMBATALKAN WUDLU?
Menurut pendapat Imam Syafi'I ra, menyentuh lain jenis
yang bukan mahram itu membatalkan wudlu, baik yang menyentuh atau orang yang
disentuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Fath al-Manhaji:"Seorang lak-laki yang menyentuh
istrinya atau perempuan ajnabiyah (yang bukan mahramnya) tanpa penghalang maka
wudlu laki-laki dan perempuan itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyah
(perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi." (al-Fiqh
al-Manhaji, juz I, hal 63).
Pendapat ini didasarkan firman Allah SWT.: "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci)". (QS. An-Nisa' : 43).
Bagaimana hukum mengucapkan niat (lafal usholli dan
seterusnya) ketika hendak melakukan sholat?
Niat merupakan inti dari setiap pekerjaan. Sebab, baik
tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:"Segala perbuatan hanyalah tergantung
niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa yang diniatkan." (Shohih
al-Bukhori, no 1).
Demikian juga dalam sholat. Niat adalah rukun yang
pertama. Akan tetapi, karena niat tempatnya di dalam hati maka disunnahkan
mengucapkan niat tersebut dengan lisan untuk membantu gerakan hati (niat).
Imam Ramli (wafat tahun 1004 H.) dalam kitabnya Nihayah
al-Muhtaj mengatakan: "Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati
(kalimatusholli) sebelum takbir, agar supaya lisan bias membantu hati, sehingga
bias terhindar dari was-was (keragu-raguan) hati akibat bisikan syetan). Dan
agar bias keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan.
Dalam beberapa kessempatan Nabi SAW pernah melafalkan
niat. Misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عن أنس رضي الله عنه قال
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول لبّيك عمرة وحجا
"Dari sahabat Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah SAW
mengucapkan, Labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji." (Shahih Muslim,
no 2168).
Ketika melakukan ruku' dan sujud, disunahkan membaca
tasbih (kalimat subhanallah).Hanya saja banyak orang yang menambah dengan
tahmid (yaitu bacaan wa bihamdihi).
BAGAIMANA HUKUM MENAMBAH
BACAAN TAHMID TERSEBUT?
Membaca tasbih ketika ruku' dan sujud memang sudah
menjadi kebiasaan Rasulullah SAW dalam shalat. Banyak hadits beliau yang
menerangkan hal tersebut. Antara lain hadits beliau yang diriwayatkan dari
‘Aisyah ra:
عن عائشة رضي الله عنها
قالت أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبّوح قدّوس ربّ
الملائكة والروح.
"Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, beliau berkata bahwa Rasulullah
membaca subbuh quddus rab al-malaikat wa al-ruh ketika ruku' dan sujud."
(Musnad Ahmad bin Hambal, no 24877)
Dalam hadits lain disebutkan: "Diriwayatkan dari Hudzaifah ra,
beliau berkata, "aku pernah shalat bersama Nabi SAW. Lalu beliau membaca
subhana robbiyal adzimi dalam ruku'nya. Dan ketka sujud membaca subhana rab
al-a'la. Dan setiap beliau membaca ayat rahmat, Nabi SAW diam lalu berdo'a
(agar rahmat tersebut diberikan kepadanya), sedangkan pada saat membaca ayat
tentang siksa Allah SWT (adzab) beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah
SWT." (Sunan al-Darimi, no 1273).
Kedua hadits ini tidak menyebutkan kata-kata
wabihamdihi. Apakah lalu membaca wabihamdihi termasuk bid'ah. Karena tidak
pernah dilakukan Rasulullah SAW? Tentu saja tidak, sebab dalam hadits lain
disebutkan: "Rabi' bin Nafi' menceritakan kepada kami, dari Uqbah bin Amir
ra, beliau berkata: Bertasbihlah kamu kepada Tuhanmu Yang Maha Agung,"
Rasulullah SAW lalu bersabda, "Jadikanlah bacaan itu dalam setiap
ruku'mu." Manakala turun ayat "Bertasbihlah kepada Tuhanmu Yang Maha
Tinggi," Rasulullah kemudian bersabda, kerjakanlah perintah itu dalam
setiap sujudmu." (ada riwayat lain) bahwa ahmad bin Yunus menceritakan
kepada kami sebuah hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra dengan
kandungan yang sama, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW kalau ruku' beiau
mengucapkan subhana robbi al- adzimi wa bihamdihi tiga kali." (Sunan Abi
Dawud, no 736).
Dari sini menjadi jelas bahwa Rasulullah SAW juga
menambahkan wabihamdihi di dalam ruku' dan sujudnya.
Bagaimana hukum membaca basmalah
(bismillahirrohmaanirrohiim) dalam surat
al-Fatihah ketika sholat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?
Membaca surat
al-Fatihah merupakan rukun sholat, baik dalam sholat fardlu maupun shalat
sunnah, hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن عبادة بن الصامت يبلغ به
النبي صلى الله عليه وسلّم لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
"Dari ‘Ubadah bin as-Sholit, Nabi SAW menyampaikan padanya
bahwa tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah". (Shohih Muslim, no
595).
Sementara basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka tidak sah jika
seseorang shalat tanpa membaca basmalah berdasarkan firman Allah SWT.:"Dan
Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang[814] dan Al Quran yang agung." (QS. Al-Hijr: 87).
Yang dimaksud tujuh yang berulang-ulang adalah surat al-Fatihah. Karena
al-Fatihah itu terdiri dari ayat-ayat yang dibaca secara berulang-ulang pada
tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama adalah basmalah.
Dalam sebuah hadits disebutkan: "Dari Abi Hurairah
beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, "al-hadulillahi robbil ‘alamiin
merupakan induk al-Qur'an, pokoknya al-Kitab serta surat al-Sab'u al-Matsani." (Sunan Abi
Dawud, no 1245).
Berdasarkan dalil ini, imam Syafi'I ra mengatakan bahwa
basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah, jika ditinggalkan baik
seluruhnya maupun sebagian, maka raka'at shalatnya tidak sah.
BAGAIMANA HUKUMNYA
MELAFALKAN SAYYIDINA KETIKA MEMBACA TASYAHUD?
Kata-kata sayyidina sering kali digunakan oleh kaum muslimin,
baik ketika shalat maupun diluar shalat. Hal itu termasuk hal yang sangat
utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi SAW. Syaikh
Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan: "Yang lebih utama adalah
mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW) karena yang lebih utama (dengan
menggunakan sayyidina itu) adalah cara beradab (bersopan santun pada Nabi
SAW)." (Hasyiyah al-Bajuri, juz I hal 156).
Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن ابي هريرة قال، قال رسول
الله صلى الله عليه وسلّم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وأوّل من ينشق منه القبر
وأوّل شافع وأوّل مشفع
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda, "Saya gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang yang
pertama bangkit dari kuburan, orang yang pertama memberikan syafa'at dan orang
yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa'at." (Shohih Muslim,
no 4223).
Hadits ini menyatakan bahwa Nabi SAW menjadi Sayyid di
akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya di hari
kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi tuan (sayyid) manusia di dunia dan
akhirat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin
‘Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush
bain al-Nadzariyat wa al-Tatthbiq:
"Kata Sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk NAbi Muhammad
SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari
beberapa riwayat hadits. "Saya adalah sayyid-nya anak cucu Adam di hari
kiamat. Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan Adam di dunia dan akhirat".
(Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al- Nadzoriyat wa Tathbiq, 169)
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan
memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu,. Nabi
Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati
sepanjang masa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina
katika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW bole-boleh saja, bahkan
dianjurkan. Demikian pula ketika tasyahud di dalam shalat.
Ada sebagian kalangan yang beranggapan kalangan yang beranggapan bahwa
qunut subuh tidak sunnah.
Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah SAW tidak
melakukannya. Bagaimanakah sebenarnya hokum membaca qunut dalam shalat subuh?
Apakah benar Rsulullah tidak melakukannya?
Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut
pada sholat shubuh termasuh sunnah ab'ad. Sebagaimana dikatakan oleh Imam
Nawawi dalam kitabnya al-Majnu':"Dalam madzhab kita (madzhab Syafi'i)
disunnahkan membaca qunut dalam sholat shubuh, baik ada bala' (cobaan, bencana,
adzhab dll) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama' salaf dan
setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khottob,
Utsman bin Affan, Ali bin Abbas dan al-Barro' bin ‘Azib ra." (al-Maju',juz
1 hal 504).
Dalil yang bisa dijadikan acuan adalah hadits Nabi SAW:
"Diriwayatakan dari Anas bin Malik ra beliau berkata, "Rasulullah SAW
senantiasa membaca qunut ketika sholat shubuh sehingga beliau wafat."
(Musnad Ahmad bin Hambal, no 12196).
Sedangkan do'a qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi SAW
adalah:
اللهمّ اهدنا فيمن هديت،
وعافنا فيمن عافيت، وتولّنا فيمن تولّيت، وبارك لنا فيما أعطيت، وقنا شرّ ما قضيت،
فإنك تقضى ولايقضى عليك، وإنه لايذلّ من واليت، ولايعزّ من عاديت، تباركت ربنا
وتعاليت، فلك الحمد على ما قضيت، أستغفرك وأتوب إليك
"Ya Allah berilah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah
Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang telah
Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan sebagaimana orang-orang yang
Engkau beri perlindungan. Berilah berkah kepada segala yang telah Engkau
berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segaa kejahatan yang Engkau pastikan.
Sesunggunya Engkau Dzat Yang Maha Menentukan dan Egkau tidak dapat ditentukan.
Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang
Kamu musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala
yang Engkau pastikan. Kami mohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu."
Dengan demikian membaca qunut shubuh dalam segala
keadaan itu hukumnya sunnah. Karena Nabi Besar Muhammad SAW selalu melakukannya
hingga beliau wafat.
Dalam tahiyat ketika membaca illallah, biasanya orang yang sholat
mengangkat jari telunjuknya. Adakah dasar hukumnya? Lalu apa hikmah yang
dikandung?
Ulama' Syafi'iyah menganjurkan untuk meletakkan kedua
tangn diatas paha ketika sedang duduk tasyahud. Sementara jari-jari tangan
kanan digenggam, kecuali jari-jari telunjuk dan ketika membaca illallah jari
telunjuk tersebut sunnah diangkat tanpa digerak-gerakkan, dalam sebuah hadits
dijelaskan: "Diriwayatkan dari Ali bin Abdirrohman al-Mu'awi, beliau
bercerita bahwa pada suatu saat Ibnu Umar ra melihat saya sedang mempermainkan
kerikil ketika shoat. Ketika saya selesai shalat, beliau menegur saya lalu
berkata, "(Apabila kamu sholat) maka kerjakan sebagaimana yang dilaksanakan
Rasulullah SAW (dalam shalatnya). Ibnu Umar berkata, "Apabila Nabi
Muhammad SAW duduk ketika melaksanakan sholat, beliau meletakkan telapak tangan
kanannya dan menggenggam semua jarinya. Kemudian berisyarah dengan
(menganggkat) jari telunjukknya (ketika mengucapkan illallah), dan meletakkan
telapak tangan kirinya diatas paha kirinya". (Shahih Muslim, no 193).
Hadits inilah yang dijadikan dasar para ulama tentang
kesunahan mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud. Sedangkan dari hikmah
tersebut adalah supaya kita meng-esakan Allah SWT. Seluruh tubuh kita
men-tauhidkan-Nya dipandu oleh jari telunjuk itu.
Syeikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubadnya mendendangkan sebuah syair:
"Ketika mengucapkan illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu
untuk mengesakan Dzat yang engkau sembah."(Matan az-Zubad, hal 24).
Jadi, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud itu
disunnahkan karena merupakan teladan Nabi Muhammad SAW. Perbuatan itu
dimaksudkan sebagai symbol sarana untuk mentauhidkan Allah SWT.
Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap
selesai dalam shalat, orang-orang mengusap wajah dengan tangan kanannya.
Bagaimana hukumnya?
Setelah berdoa Rasulullullah SAW selalu mengusap
wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عن السائب بن يزيد عن أبيه أنّ
النبي صلّى الله عليه وسلّم كان إذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده
"Dari Sa'ib bin Zayid dari ayahnya, "Apabila Rasulullah
SAW berdoa beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya
dengan kedua tangnnya." (Sunan Abu Dawud, no 1275).
Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan
shalat, ia juga disunahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Sebab sholat
secara bahasa berarti berdoa, karena didalamnya terkandung doa-doa kepada Allah
SWT sang Kholik. Sehingga oaring yang mengerjakan sholat juga sedang berdoa.
Maka wajar jika setelah sholat ia juga disunahkan mengusap muka.
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW selalu
mengusap wajah dengan tangan, sekaligus tentang doa yang beliau baca setelah
salam:
عن عِمران بن حُصَين رضي
الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا
فإن لم تستطع فعلى جنبك أى: لاتقطعون ذِكره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم
وألسنتهم
"Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni dari
sahabat Anas ra bahwa Rasulullah SAW apabila setelah selesai melaksanakan
sholat beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya.. lalu berdoa,
"saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan."
(al-Adzkar, hal 69).
Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah sholat
memang dianjurkan dalam agama. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka
setelah shalat.
Sudah berlaku di masyarakat, setiap selesai sholat, satu
jamaah dengan yang lainnya saling bersalaman. Itu dilaksanakan pada sholat yang
lima waktu.
Adakah dasar ukumnya?
Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan
oleh Nabi SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan islam semakin kuat dan persatuan
umat islam semakin kokoh.
Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman
apabila bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang dating dari bepergian
jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunahkan berangkulan
(mu'anaqoh). Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bbersabda:"Diriwayatkan
dari al-Barro' bin ‘Azib, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda
"Tidakkah dua orang laki-laki bertemu, kemudian keduannya bersalaman,
kecuali diampuni dosanya sebelum mereka berpisah." (Sunan ibn Majah, no
3693).
Berdasarkan hadits inilah ulama' Syafi'iyah mengatakan
bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu
dikatakan bid'ah, tetapi termasuk dalam kategori bid'ah mubahah. Imam Nawawi
menganggap bahwa hal itu adalah perbuatan yang baik untuk dilakukan.
"(Soal) apakah berjabat tangan setekah sholat Ashar dan Shubuh
memiliki keutamaan ataukah tidak? (jawab) berjabat tangan itu sunnah dilakukan
ketiak bertemu. Adapun orang-orang yang mengkhususkan diri untuk melakukannya
setelah dua sholat itu (Ashar dan Shubuh) maka dianggap bid'ah mubahah.
(pendapat yang dipilih), sesungguhnya kalua seseorang sudah berkumpul dan
bertemu sebelum sholat, maka berjabat tnagn tersebut adalah bid'ah mubahah
sebagaimana diatas. Tapi jika sebelumnya belum pernah bertemu maka sunnah
(bersalaman). Karena seperti itu (dianggap) baru bertemu." (Fatwa al-Imam
al-Nawawi, hal 61).
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang sholat
itu sama dengan orang yag ghoib (tidak
ada ditempat karena berpergian atau yang lainnya). Setelah sholat ia seakan
akan baru datang dan bertemu dengan saudaranya yang muslim. Maka ketika tu
dianjurkan untuk berjabat tangan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Bughyah
al-Mustarsydin: "Bersalaman itu termasuk bid'ah yang muah, dan Imam
al-Nawawi menganggapnya sesuatu yang baik. Tapi hendaknya di tafshil
(diperinci), antara orang yang sebelum sholat sudah bertemu, maka salaman itu
hukumnya ubah (boleh). Dan jika memang sebelumnya tidak bersama (tidak bertemu)
maka dianjurkan (untuk salaman setelah salam). Karena salaman itu disunahkan
ketika bertemu menurut ujma' ulama'. Sebagian ulama berpendapat bahwa
orang-orang yang sholat seperti orang-orang yang ghoib (tidak ada/tidak
bertemu). Maka baginya disunahkan bersalaman setiap selesai sholat lima waktu secara mutlak
(baik sudah bertemu sebelumnya atau tidak)." Bughyah al-Mustarsyidin, hal
50-51).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum
bersalaman setelah selesai sholat adalah boleh bahkan sunnah jika sebelum
sholat memang belum pernah bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar