Keputusan Hai'ah Kibarul Ulama' Kerajaan Saudi Arabia Tentang Asuransi
"Segala puji hanya milik Allah semata. Shalawat dan salam semoga
terlimpahkan kepada Nabi yang tiada nabi setelahnya, dan juga kepada
keluarga dan setiap orang yang meniti jalannya hingga hari Kiamat.
Amma ba'du:
Setelah Majelis Hai'ah Kibarul Ulama' mendengarkan seluruh
pemaparan yang telah berlalu, kemudian dilanjutkan dengan mendiskusikan
berbagai dalil orang-orang yang membolehkan asuransi secara mutlak, dan
juga berbagai dalil orang-orang yang melarangnya secara mutlak, serta
alasan orang-orang yang merincinya, yaitu dengan membolehkan sebagian
bentuk "asuransi komersial" dan melarang yang lainnya. Dan setelah
melalui diskusi dan dengar pendapat, Majelis Hai'ah Kibarul Ulama' memutuskan dengan suara terbanyak, bahwa "asuransi komersial" adalah haram hukumnya, berdasarkan dalil-dalil berikut:
Pertama: Akad "asuransi komersial" adalah salah satu
bentuk akad tukar-menukar barang yang berdasarkan pada asas
untung-untungan, sehingga sisi ketidakjelasannya/ gharar
besar, karena nasabah pada saat akad tidak dapat mengetahui jumlah
uang yang harus ia setorkan dan jumlah klaim yang akan ia terima. Bisa
saja ia menyetor sekali atau dua kali setoran, kemudian terjadi
kecelakaan, sehingga ia berhak mengajukan klaim yang menjadi komitmen
perusahaan asuransi. Dan mungkin juga sama sekali tidak pernah terjadi
kecelakaan, sehingga nasabah membayar seluruh setoran, tanpa
mendapatkan apapun. Demikian juga, perusahaan asuransi tidak dapat
menentukan jumlah klaim yang harus ia bayarkan dan jumlah setoran yang
akan ia terima, bila dicermati dari setiap akad secara terpisah.
Padahal, telah dinyatakan dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam larangan dari jual beli gharar (yang tidak jelas).
Kedua: Akad "asuransi komersial" adalah salah satu
bentuk perjudian, dikarenakan padanya terdapat unsur untung-untungan
dalam hal tukar-menukar harta benda, dan terdapat kerugian tanpa ada
kesalahan atau tindakan apapun, dan padanya juga terdapat keuntungan
tanpa ada imbal baliknya atau dengan imbal balik yang tidak seimbang.
Karena nasabah kadang kala baru membayarkan beberapa setoran
asuransinya, kemudian terjadilah kecelakaan, sehingga perusahaan
asuransi menanggung seluruh biaya yang menjadi klaimnya. Dan bisa saja
tidak terjadi kecelakaan, sehingga saat itu perusahaan berhasil
mengeruk seluruh setoran nasabah tanpa ada imbalan sedikitpun. Dan bila
pada suatu akad unsur ketidakjelasan benar-benar nyata, maka akad itu
termasuk perjudian, dan tercakup dalam keumuman larangan dari perjudian
yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala,
يَأَيُّها الَّذينَ آمَنُوا
إِنَّما الخَمْرُ والمَيْسِرُ والأَنصَابُ والأزْلاَمُ رجسٌ مِنْ عَمَل
الشَّيطَان فَاجْتَنِبُوه لَعَلَّكُم تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, perjudian,
berkurban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan." (Qs. Al Maidah: 90) dan juga tercakup dalam ayat setelah ayat tersebut.
Ketiga: Akad "asuransi komersial" mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba nasi'ah
(penundaan), karena perusahaan asuransi bila ia membayar ke nasabahnya
atau ke ahli warisnya atau kepada orang yang berhak memanfaatkan suatu
klaim yang lebih besar dari uang setoran (iuran) yang ia terima, maka
itu adalah riba fadhl, sedangkan perusahaan asuransi akan
membayar klaim tersebut kepada nasabahnya setelah berlalu tenggang
waktu dari saat terjadi akad, maka itu adalah riba nasi'ah. Dan bila perusahaan membayar klaim nasabah sebesar uang setoran yang pernah ia setorkan ke perusahaan, maka itu adalah riba nasi'ah saja, dan keduanya diharamkan menurt dalil dan ijma' (kesepakatan ulama).
Keempat: Akad "asuransi komersial" termasuk
pertaruhan yang terlarang, karena masing-masing dari asuransi ini dan
pertaruhan terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan, dan mengundi
nasib. Padahal, syariat tidak membolehkan pertaruhan selain pertaruhan
yang padanya terdapat unsur pembelaan terhadap agama Islam, dan
penegakkan benderanya dengan hujjah/ dalil dan pedang/ senjata. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatasi rukhshah (keringanan) pertaruhan dengan tebusan hanya pada tiga hal:
لاَ سَبَقَ إلاَّ فِي خُفٍّ أو حَافِرٍ أو نَصْلٍ
"Tiada hadiah selain pada unta atau kuda atau senjata tajam." Dan "asuransi" tidaklah termasuk salah satu darinya, tidak juga serupa dengannya, sehingga diharamkan.
Kelima: Akad "asuransi komersial" padanya terdapat
praktik pemungutan harta orang lain tanpa imbalan, sedangkan mengambil
harta orang lain tanpa ada imbalan dalam transaksi perniagaan adalah
diharamkan, dikarenakan tercakup oleh keumuman firman Allah Ta'ala:
يَأَيُّها الَّذين آمَنُوا لاَ
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةٍ عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta
sesama kamu dengan cara-cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagan
dengan asas suka sama suka di antara kamu." (Qs. an-Nisa': 29).
Keenam: Pada akad "asuransi komersial" terdapat
pengharusan sesuatu yang tidak diwajibkan dalam syariat, karena
perusahaan asuransi tidak pernah melakukan suatu tindakan yang
merugikan, tidak juga menjadi penyebab terjadinya kerugian. Perusahaan
asuransi hanyalah melakukan akad bersama nasabah untuk menjamin
kerugian bila hal itu terjadi, dengan imbalan iuran/ setoran yang
dibayarkan oleh nasabah kepadanya, sedangkan perusahaan asuransi tidak
pernah melakukan pekerjaan apapun untuk nasabahnya, sehingga akad ini
diharamkan.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang
membolehkan "asuransi komersial" secara mutlak atau pada sebagian
macamnya, maka bantahannya sebagai berikut:
A. Berdalil dengan kaidah "maslahah/ kemaslahatan" tidak dapat dibenarkan, karena kaidah maslahat dalam syariat Islam ada tiga bagian:
- Bagian pertama: Maslahat yang dibenarkan oleh syariat penggunaannya, dan bagian ini dapat menjadi dalil.
- Bagian kedua: Maslahat yang tidak diketahui statusnya, apakah syariat meninggalkannya atau menggunakannya, dan inilah yang disebut dengan maslahah mursalah, dan maslahah jenis ini merupakan permasalahan yang menjadi ajang ijtihad para ulama.
- Bagian ketiga: Masalahat yang telah terbukti
bahwa syariat sengaja meninggalkannya, dan akad "asuransi komersial"
padanya terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan, perjudian, dan
riba, sehingga termasuk maslahat yang ditinggalkan oleh syariat,
dikarenakan sisi kerusakannya lebih besar dibanding sisi
kemaslahatannya.
B. Hukum asal perniagaan yaitu "mubah", tidak dapat
dijadikan dalil pada permasalahan ini, karena akad "asuransi komersial"
telah terbukti bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur'an dan
as-Sunnah. Sedangkan, pengamalan kaidah "hukum asal perniagaan yaitu
mubah" disyaratkan tidak ada dalil yang mengubah hukum tersebut,
padahal dalil tersebut telah didapatkan, maka batallah pendalilan
dengan kaidah dasar tersebut.
C. Kaidah:
الضَّرورات تبيح المحظورات
"Setiap keterpaksaan (darurat) membolehkan hal yang dilarang."
Tidak dapat dijadikan dalil di sini, karena jalan-jalan mengais
penghasilan yang halal jauh lebih banyak berlipat ganda dibanding jalan
yang diharamkan atas manusia. Sehingga, tidak ada keadaan darurat yang
dibenarkan secara syariat yang memaksa seseorang untuk melakukan hal
yang telah diharamkan syariat, yaitu berupa asuransi.
D. Tidak dibenarkan berdalil dengan tradisi, karena tradisi bukan
termasuk dalil dalam mensyariatkan hukum. Tradisi hanya sebagai dasar
dalam penerapan hukum, dan memahami maksud dari teks-teks dalil dan
ungkapan manusia dalam persumpahan, gugatan dan berita masyarakat, serta
setiap hal yang memerlukan kepada penentuan maksud, baik berupa
perbuatan atau ucapan. Sehingga, tradisi tidak memiliki pengaruh dalam
hal-hal yang telah nyata, dan telah jelas maksudnya. Dan dalil-dalil
telah menunjukkan dengan nyata tentang larangan dari "asuransi",
sehingga tradisi tidak dapat dijadikan pertimbangan.
E. Beralasan bahwa akad "aasuransi komersial" termasuk salah satu akad mudharabah/
bagi hasil atau yang serupa dengannya tidak dapat dibenarkan. Karena,
kepemilikan modal dalam akad mudharabah tidak pernah keluar dari
pemiliknya, sedangkan iuran/ setoran nasabah dalam "asuransi" dengan
akad asuransi berpindah dari kepemilikan pemiliknya kepada perusahaan
asuransi, sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan asuransi. Modal
dalam akad mudharabah akan menjadi hak ahli waris bila pemodal
meninggal dunia, sedangkan dalam akad asuransi ahli waris -sesuai
dengan peraturan perusahaan- bisa saja memiliki klaim walaupun orang
tua mereka belum sempat membayar selain satu setoran saja, dan bisa
saja mereka tidak mendapatkan apa-apa, bila orang tua mereka telah
menentukan orang yang berhak menerima klaim adalah selain penyetor dan
ahli warisnya. Dan keuntungan dalam akad mudharabah dibagi antara kedua
belah pihak dengan persentase tertentu, beda halnya dengan asuransi,
keuntungan modal dan kerugiannya murni ditanggung perusahaan, sedangkan
nasabah tidak barhak apa-apa diluar klaim atau klaim dalam jumlah yang
tidak tertentu.
F. Menyamakan akad "asuransi" dengan hubungan loyalitas (al-muwalaat)
menurut ulama yang membenarkannya, tidak benar; karena penyamaan itu
merupakan suatu qiyas dengan adanya perbedaan. Dan di antara perbedaan
antara keduanya: bahwa akad "asuransi" bertujuan mencari keuntungan
materi yang sarat dengan untung-untungan, perjudian dan ketidakjelasan.
Beda halnya dengan hubungan loyalitas (al-muwalaat), tujuan
utamanya ialah menjalin persaudaraan dalam agama Islam, saling membela,
dan bahu-membahu dalam kesusahan, kesenangan dan dalam segala keadaan.
Adapun keuntungan berupa materi, maka itu merupakan tujuan sekunder.
G. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan janji yang mengikat
menurut ulama yang membenarkannya, tidak benar; karena penyamaan itu
merupakan suatu qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaan
antara keduanya ialah: bahwa janji memberi piutang atau pinjaman, atau
menanggung kerugian -misalnya- merupakan tindak sosial semata, sehingga
memenuhi janji tersebut merupakan hal yang wajib atau salah satu sikap
terpuji. Beda halnya dengan akad "asuransi", karena sesungguhnya
asuransi adalah akad tukar-menukar komersial, yang didasari oleh
keinginan mencari keuntungan materi, maka unsur ketidak-jelasan dan
untung-untungan padanya tidak dapat ditoleransi sebagaimana dalam
perbuatan sumbangan sosial.
H. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad memberikan jaminan/ garansi (dhamaan)
terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan menjamin sesuatu yang belum
terjadi, tidak benar; karena itu juga termasuk qiyas dengan adanya
perbedaan. Di antara perbedaannya ialah: akad jaminan (dhamaan)
salah satu bentuk tindak sosial dan bertujuan untuk berbuat baik/
membantu semata. Beda halnya dengan "asuransi", karena asuransi
merupakan akad tukar-menukar komersial, dan tujuan utamanya ialah
mendapatkan keuntungan materi. Dan bila di kemudian hari muncul sikap
baik, maka itu merupakan hal sekunder dan tidak disengaja. Padahal
hukum-hukum syariat senantiasa dikaitkan dengan tujuan utama, bukan
dengan hal-hal sekunder, selama hal-hal tersebut bukan merupakan
tujuan.
I. Menyamakan akad "asuransi" dengan jaminan (dhamaan)
terhadap resiko perjalanan, tidaklah benar; karena itu juga termasuk
qiyas dengan adanya perbedaan, sebagaimana halnya alasan sebelumnya.
J. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan peraturan pensiun, juga tidak benar, dan itu juga termasuk qiyas
dengan adanya perbedaan. Karena uang pensiun adalah suatu hak yang
telah menjadi komitmen pemerintah kepada rakyatnya. Dan pemerintah
dalam penyalurannya mempertimbangkan jasa setiap pegawai dalam
memberikan layanan kepada masyarakat. Dan pemerintah membuat aturan
yang mempertimbangkan orang-orang terdekat kepada setiap pegawai.
Dan karena para penerima uang pensiun biasanya adalah orang-orang
yang membutuhkan, maka aturan uang pensiun tidaklah termasuk dalam hal
tukar-menukar harta antara pemerintah dan pegawainya. Oleh karena itu,
tidak ada kesamaan antaranya dengan akad "asuransi komersial" yang
merupakan salah satu akad tukar-menukar harta secara komersial dan
perusahaan asuransi bertujuan darinya memanfaatkan keberadaan para
nasabah, dan mengeruk keuntungan dari mereka dengan cara-cara yang tidak
diizinkan dalam syariat. Karena, uang pensiun yang diterima tatkala
seorang pegawai telah pensiun merupakan hak yang telah menjadi komitmen
pemerintah kepada rakyatnya, dan diberikan kepada setiap orang yang
telah menjalankan tugas melayani masyarakat, sebagai balasan atas
jasanya, dan dalam rangka memberikan pertolongan kepadanya sebagai
imbalan atas pertolongan yang pernah ia berikan kepada pemerintah dalam
wujud badan, pikiran, dan banyak waktu luangnya dalam rangka memajukan
masyarakat.
K. Menyamakan sistem "asuransi komersial" dan akadnya dengan sistem al-'aqilah
tidak dapat dibenarkan. Karena itu adalah suatu qiyas yang disertai
dengan adanya perbedaan. Dan di antara perbedaan antara keduanya
ialah: dasar kewajiban kerabat lelaki untuk ikut andil menanggunng
beban diyat (denda) pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau sibhul 'amdi
ialah adanya jalinan tali persaudaraan dan kekerabatan yang
mengharuskan mereka semua untuk saling membela, berhubungan,
bahu-membahu, dan memberikan bantuan, walau tanpa ada imbalan.
Sedangkan akad "asuransi komersial" bersifat komersial dan menggunakan
kesempatan dalam kesempitan, yang murni berasaskan pada sistem imbal
balik, tanpa ada kaitan sedikitpun dengan kasih sayang dan amal
kebaikan.
L. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad "security" adalah tidak benar. Karena penyamaan ini juga merupakan qiyas
dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaan antara keduanya ialah:
keamanan bukanlah objek akad pada kedua permasalahan tersebut. Yang
menjadi objek akad pada asuransi ialah uang setoran dan uang asuransi
(klaim). Sedangkan pada akad sewa security, yang menjadi objek adalah
uang sewa dan kerja petugas keamanan. Adapun keamanan itu sendiri
adalah hasil dan cita-cita, sebab bila keamanan yang menjadi objek
akad, niscaya pekerja security tidaklah mendapat upah bila ada dari barang yang ia jaga yang hilang.
M. Menyamakan akad "asuransi komersial" dengan akad "penitipan barang" tidak dapat dibenarkan. Karena itu juga merupakan qiyas
dengan adanya perbedaan. Karena, upah dalam penitipan barang adalah
imbalan atas jasa penerima titipan yang telah menjaga barang di
tempatnya yang senantiasa ia rawat. Beda halnya dengan asuransi, uang
setoran yang dibayarkan oleh nasabah, bukan sebagai imbalan atas jasa
dari "perusahaan asuransi" yang pernah didapatkan oleh nasabah. Uang
tersebut tidaklah lain hanya sebagai jaminan atas rasa keamanan dan
ketentraman. Padahal, mensyaratkan upah pada akan jaminan tidak
dibenarkan (menurut syariat), bahkan menjadikan akad jaminan terlarang.
Dan bila uang klaim dianggap sebagai imbalan atas uang setoran, maka
jelaslah bahwa ini merupakan akad tukar-menukar yang bersifat
komersial, akan tetapi jumlah klaim dan masanya tidak dapat diketahui.
Dengan demikian asuransi berbeda dengan akad penitipan dengan upah.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu' Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, 14/277-286, fatwa no. 18047).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar